Sisi Lain Borobudur: Sejarah Tua Dusun Maitan

Di Maitan Kami Berkumpul

Akhir minggu ini benar-benar menyenangkan bagiku. Walaupun harus dibayar dengan jatah tidur yang berkurang banyak. Aku bersama teman-teman Tim Peta Hijau Mandala Borobudur kembali berkumpul di Desa Borobudur. Lebih tepatnya di Dusun Maitan. Dusun dengan perjalanan sejarah yang sangat tua.


Malam menyambut kedatangan kami di Borobudur. Seperti biasa kami berkumpul dulu di kediaman Pak Jack. Kemudian makan di warung “biasa” –penyebutan untuk warung dengan nasi rebusnya yang selalu ngangenin-. Selanjutnya menuju Maitan.

Suasana pedesaan merangkul dengan hangat. Rumah-rumah dengan halaman yang luas memperkuat karakter khas pedesaan. Pohon-pohon rindang menambah pekat malam dalam remang cahayanya. Mungkin esok baru ku tahu tanaman apa saja yang meramaikan lingkungan di sekitar rumah ini.

Yang mencolok pertama kali dari rumah ini –tempat kami menginap malam ini- adalah pagar kayu dengan ukuran pendek yang diletakkan diantara dua pagar bata yang juga pendek. Unik dan lucu mungkin adalah alasan yang utama hingga kami berkomentar terlalu banyak tentang benda yang kecil itu.


Ruangan pertama yang kami akrabi adalah ruang tamu. Bentuknya persegi panjang dengan dua set kursi di dalamnya. Aku dan teman-teman bebas memilih untuk duduk di hangatnya kursi atau lesehan di dinginnya lantai yang menentramkan. Di ruang ini kami mengevaluasi kegiatan Peta Hijau Mandala Borobudur Tahap I dari awal hingga peluncuran beberapa waktu yang lalu.

Malam kian pekat. Suasana semakin hangat hingga mengirimkan sinyal-sinyal untuk ”mendarat” di kasur yang telah disediakan untuk kami. Diskusi pun diakhiri sekitar pukul 01.30 pagi. Semua bergegas tidur karena besok pagi kami berniat menyaksikan sunrise dari bukit Bakal di Maitan.

Akhirnya Sunrise-an Juga


Percaya atau tidak, rencana untuk sunrise-an ini terbilang wacana lawas. Sudah sejak lama kami ingin sekali menyaksikan terbitnya matahari dari Bukit Bakal. Namun apa daya, niat kami sedari dulu hanyalah kemauan tanpa usaha. Selalu kalah dengan hangatnya selimut yang membalut tubuh dalam dinginnya pagi.

Pagi ini kami patahkan niat sebatas niat itu. Rembulan masih di peraduannya ketika langkah-langkah kami menyapu sejuknya embun di rerumputan Maitan. Tanpa penerangan yang memadai akhirnya kami pun sampai di tempat yang selama ini hanya kami dengar lewat cerita teman-teman Desa Borobudur saja.


Bukit Bakal tidak terlalu sulit untuk didaki. Sudah ada anak tangga untuk mempermudah sampai ke atas. Di puncak Bukit Bakal terdapat sebuah pondok sederhana. Sengaja dibuat untuk pengunjung yang ingin menyaksikan Borobudur dari sudut pandang lain. Pondok berukuran sekitar 6 x5 meter ini menjadi saksi bisu kekaguman orang-orang yang menyaksikan terbitnya sumber kehidupan dari Bukit Bakal. Sebagian besar dari kami pun duduk larut dengan pikiran masing-masing, di atas pondok di Bukit Bakal.

Perlahan langit merah bercampur kabut. Samar-samar puncak Borobudur –dengan lampu yang sangat kentara- mulai terlihat. Tampak kecil di samping Merapi yang agung. Kepulan asap dari cawan gunung api itu membentuk garis tipis di hamparan merahnya cakrawala. Sungguh pemandangan yang tak akan terlupakan. Bukan karena keindahan terbitnya matahari, namun perpaduan monumen Buddha terbesar dunia itu dengan lingkungannya yang menawan hati.


Detik-detik munculnya Sang Surya pun menjadi momen paling dinanti pagi ini. Sebagian besar dari kami terkesima lewat decak kagum. Sebagian lagi terdiam tak mampu berkata-kata. Sisanya sibuk mengabadikan lewat kamera seadanya. Kini, aku baru benar-benar yakin bahwa sangat banyak sisi lain dari Borobudur yang belum ”tersentuh” oleh pengunjung. Sisi lain yang sangat eksotik. Jika seorang pengusung aliran romantisme ke tempat ini, pastinya akan pulang dengan sebuah puisi yang sangat elok. Begitu pula kami –yang bukan pengusung aliran apa pun- akan pulang dengan memori yang akan awet puluhan tahun ke depan.

Keliling Maitan, Sejarah Tua Sebuah Dusun

Dari cerita teman-teman Borobudur yang sudah melakukan survey Peta Hijau di Dusun Maitan, aku banyak mendapatkan informasi tentang sejarah dusun ini. Sejarah Maitan ternyata tak bisa dilepaskan dari peristiwa Maha Pralaya yang terjadi sekitar seribu tahun yang lalu di kawasan Jawa Tengah.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pusat ibukota Mataram Kuno dipindahkan ke daerah Jawa Timur saat Maha Pralaya itu terjadi. Hingga satu titik dimana masyarakat yang dahulunya –mungkin nenek moyang mereka- menjadi pendukung kehidupan sosial di Borobudur pun hijrah kembali ke kampung halaman. Tingkat perpindahan penduduk semakin meningkat sejak terjadinya kekacauan internal dan eksternal Majapahit.

Raden Patah, anak dari Brawijaya V yang sudah mendirikan kerajaan Demak berniat menyebarkan Islam di Majapahit. Sebagian masyarakat yang masih memeluk agama Hindu-Buddha kemudian merasa terdesak dan pindah ke daerah Jawa Tengah. Akhirnya mereka kembali menempati tanah nenek moyang mereka, Borobudur.

Para pendatang yang menjadi cikal bakal beberapa Dusun di Borobudur diantaranya Singogati yang membuka Dusun Gejagan, Jogo Wedono membuka Dusun Kujon, Cipto Roso dan Joyo Widodo membuka Dusun Maitan, Suryo Hudoyo dan Sri Sarjono membuka Dusun Tanjungan, serta Yudo Kusumo. Pagi ini juga kami tetirah ke makam para leluhur Borobudur ini. Makam sederhana dengan lumut yang selalu stagnan –baik di musim kemarau maupun musim hujan tetap hijau- sebagai penanda.

Cerita sejarah Dusun Maitan diperoleh dari Mbah Sukir. Suatu hari Mbah Sukir mendapatkan sebagian dari Gunung Bakal longsor. Dia menemukan mayat dengan kain kafan yang masih utuh. Sebelumnya Mbah Sukir tidak tahu menahu tentang sejarah dusun. Namun sejak penemuan itu Mbah Sukir mendapat semacam mimpi dan akhirnya bisa bercerita banyak tentang sejarah Dusun Maitan.

Gunung Bakal yang ada di Maitan berasal dari kata bakal yang berarti pawitan/modal. Dari kata bakal itu pula muncul ajaran dari Kyai Joyo Widodo untuk hidup prihatin walaupun mempunyai modal yang cukup. Ajaran bernama Maitan berasal dari sebutan warga untuk Kyai Joyo Widodo. Ajaran Kyai Widodo untuk hidup prihatin walaupun memiliki banyak modal menyebabkan beliau dipanggil dengan nama Kyai Maitan.


Ulat Bambu, Kembang yang Layu, Perajin Pandan dan Sumur Senggot

Sebelum kembali ke jalan dusun, Mas Tri –seorang teman dari Dusun Tanjungan, Desa Borobudur- memberitahuku perihal ulat bambu. Dia bercerita tentang bambu-bambu yang dilubangi. Menurut Mas Tri dari dalam bambu itu sering diperoleh ulat bambu yang akan digunakan untuk memancing. Entah dari mana orang-orang yang mengambil ulat bambu tahu bahwa para ulat bermukim di ruas tertentu. Hasil lubang bambu yang ditinggalkan menjadi sarang burung dengan suara yang merdu. Menyemarakkan hutan di sekitar Bukit Bakal.


Menuju jalan pulang ke home stay kami diantarkan melihat-lihat sisa kejayaan ”gelombang cinta”. Di dalam lahan berukuran lebih kurang 20 x 20 m ini puluhan tanaman hias teronggok sia-sia. Seperti pepatah “Mati Segan Hidup Tak Mau”. Anjloknya harga jual tanaman hias ini mengakibatkan nasibnya seperti habis manis sepah dibuang. Sebagian besar tampak masih menunggu keajaiban pasar hingga harga ekstrensik mereka kembali melambung.

Puas melihat sisa aroma kejayaan sebuah kembang kini atraksi membuat kerajinan pandan yang kami saksikan. Seorang wanita tua menganyam tikar pandan dengan cekatan. “Ini terbilang sudah sangat lambat Mbak Inu”, begitu jawab Pak Pudin ketika aku terkagum-kagum dengan kecepatan tangan si Mbah menganyam tikar pandan. Rupanya ada yang lebih cepat dari si Mbah di Dusun ini dalam menganyam tikar pandan. Sambil terus menganyam, Mbah Qodri –begitu si Mbah dikenal oleh orang Dusun- bercerita banyak kepadaku. Dengan bahasa yang tak kumengerti tentunya. Yang aku ingat ada satuan mata uang yang sangat aneh di dengar, seperti uang Gobang –tak kira sejenis brand salah satu makanan jenis mie di Indonesia-.

Penutup perjalanan pagi ini adalah sumur senggot. Sumur senggot adalah sumur tradisional yang jumlahnya sangat langka di Borobudur. Sumur senggot menggunakan sistem tuas dalam mengambil air di dalam sumur. Tiang pancang dari bambu menjulang tinggi berjarak sekitar 15 m dari sumur. Sebuah ruas bambu yang panjang dan telah dilubangi menjadi timbanya. Cukup ditarik hingga ruas bambu menyentuh air dan membawanya ke atas. Kemudian dialirkan ke dalam sebuah bambu panjang untuk dikonsumsi airnya. Keberadaan sumur senggot yang semakin langka ini tak kusia-siakan dengan terus mencobanya setiap berkunjung ke Maitan.


Dusun Maitan, salah satu dusun di Desa Borobudur bisa jadi tak pernah terdengar di dunia luar Borobudur. Namun begitu, keeksotikan dusun ini bersama dengan keragaman hayati, sejarah dan tinggalan materinya suatu saat nanti pasti mampu menyihir para pengunjung untuk berkunjung dan berkunjung lagi ke Dusun Maitan. Dusun tua dengan sejarah yang tua.

Sleman, Yogyakarta.
Pagi Buta di kontrakan Nglempong Sari
15 Juni 2009

Comments

adex said…
trus kapan ne maen k maitan lg? mgkn aq bs ikt he.....he.......
Maitan village said…
kapan berkunjung ke dusun kami lagi?..kami tungguuuu,,,,,
KWA Wardani said…
secepatnya....sehabis lebaran jika memungkinkan....huwa....dah kangen betul menginap di sana lagi...:D
adjieirawady said…
maitan maju terus desa wisatanya,aku dukung,hehehe...
cah kujon said…
jangan lupa kalo ke maitan beli oleh-oleh keripik singkongnya Mas Naim (NGUDI ROSO) yang sangat gurih dan wuenak,hehehe....
KWA Wardani said…
Iya...pengen deh beli kripik singkongnya. Sepertinya kripik bayam juga ada. :D
Unknown said…
Thanks ya sob udah share , blog ini sangat bermanfaat sekali .............




bisnistiket.co.id

Popular Posts