Aku di Gresik: Memburu Lodewijk

Subuh ini kami tiba di Surabaya. Setelah perjalanan super kilat dengan sebuah moda transportasi ekonomi andalan bangsa ini, Sumber Kencono. Kaki tak bisa selonjor dan harus sedikit ditekuk dengan formasi terbuka karena harus diselipi barang bawaan lainnya. Sementara itu tas laptop berisi pakaian nyaman di atas pangkuanku. Hampir tengah malam, Sumber Kencono dilihat orang-orang di luar sana pasti secepat kilat. Walaupun kami yang berada di atasnya merasa sangat biasa-biasa saja. Belum semua bangku terisi oleh penumpang. Namun, gelagat untuk ngetem lama di Solo akan jauh dari perkiraan semula.
Di Solo kami hanya beberapa menit. Semua bangku tiba-tiba terisi penuh. Usaha untuk tidur yang sedari awal telah kurintis begitu meletakka tubuh di kursinya yang super biasa kembali kulakukan. Kali ini sedikit kesusahan karena volume bis yang bertambah. Membuat mata sesak dan nafas terbata.
Memang benar ada plesetan yang mengatakan bahwa Sumber Kencono itu bis Jawa yang disopiri orang Medan. Tak sampai lima jam kami sudah berada di bumi Jawa bagian timur. Kurang sedikit lagi untuk sampai ke tempat tujuan. Bis mengangkut tuntas apapun yang dilewatinya. Orang-orang menggantungkan tangan mereka pada besi di atas kepala. Rapat dan padat seperti penduduk ibukota. Yang tua yang muda, yang laki-laki yang wanita, yang anak-anak yang orang tua, semua rapat berdiri bersesak-sesakan. Aku masih bersyukur karena mendapatkan tempat duduk.
Pukul 4 pagi kami tiba di terminal Surabaya. Potret muramnya pelayanan fasilitas publik bernama terminal pun semakin jelas. Budaya bangsa ini mengajarkan untuk “mengeroyok” habis apapun yang bisa dijadikan sumber penghidupan. Seakan takut tidak kebagian. Mengapa tidak membangun budaya: biarlah yang membutuhkan yang datang pada kita. Sehingga adegan tarik menarik, ancam mengancam, serta tindakan berbau intimidasi yang lain dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
Sopir-sopir taksi mulai membuka harga, memaksa kami untuk menjadi pelanggannya yang nomor wahid subuh ini. Aku tak tertarik dengan model sedikit pemaksaan seperti itu. Suasana memang sedikit membingungkan. Belum jelas juga akan dilanjutkan kemana perjalanan kami selanjutnya. Mencari penginapan ataukah langsung menuju tempat tujuan awal kami, Fort Lodewijk.
Terminal Osowilangun menjadi tujuan kami selanjutnya. Memori menarik lagi masa dua tahun yang silam saat pertama kali kuinjakkan kaki di terminal ini. Tidak ada banyak perubahan. Dari sini kami menyambung naik bis Musataka Sakti tujuan Bungah. Bis ini berjalan dengan kekuatan minim dan berputar-putar. Kami diturunkan di Andil, dekat dengan pangkalan ojek. Suasana pelayanan transportasi publik yang menyebalkan kembali lagi kutemui di pangkalan ojek ini.
Dengan tarif 15.000 rupiah per kepala mereka, para sopir ojek, mengantarkan kami menuju Pelabuhan Tanjung Widoro. Suasana kembali sedikit tidak mengenakkan. Kali soal makan. Baru pertama aku dipaksa secara halus oleh pemilik warung untuk tidak makan di warung makan tersebut. Padahal aku lah yang memegang uang dan aku berhak menentukan untuk memakan makanan yang telah kubeli dimanapun aku mau. Lucu sekali pagi ini. Akhirnya mau tak mau kami pun harus mengalah dan membungkus makanan kami ke Tanjung Widoro.
Dua tahun kutinggalkan, jalan menuju benteng Lodewijk saat ini deperbaiki dengan sistem konblok. Entah tak tahu akan awet dalam jangka waktu berapa tahun. Tapi suasana tambak yang getir tak pernah berubah. Masih sama, hanya saja dengan penambahan volume air karena ini adalah musim hujan.
Jauhnya perjalanan –sekitar 20 menit dengan ojek- dari pangkalan ojek Andil menuju Pelabuhan Tanjung Widoro kurasakan tak ada perubahan. Masih tetap jauh dan getir. Hari ini kulihat lagi rumah tempat ku menginap selama seminggu dua tahun yang lalu. Masih sama dengan pintu tertutup. Ibu haji menyambut kami sumringah. Tak lupa rupanya beliau denganku, walaupun kuyakin memori otaknya berlompatan menghitung waktu dan menepatkan ingatan tentangku. Tentang salah seorang tim ekskavasi Benteng Lodewijk. Tentang kenangan makan banding setiap hari selama seminggu dua tahun yang lalu.
Tak banyak cerita yang kami hasilkan dalam pertemuan singkat itu. Ibu haji juga lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Timuran yang tak banyak kumengerti artinya. Hanya senyum-senyum, jurus terbaikku pun keluar. Cak Khalid yang awalnya menyambut kami langsung menghubungkan kami dengan Cak Son yang akan mengantarkan kami sampai ke Lodewijk. Cak Son masih seperti dulu. Masih sama dengan senyum di sudut bibirnya sembari memegang dayung untuk kendali perahu yang akan menepi.
Perjalanan dari pelabuhan menuju Lodewijk dengan perahu Cak Son kami tempuh selama 15 menit. Kami tak bertatap muka dengan ombak pantai utara pagi ini. Perahu cukup santai berjalan dengan 6 orang termasuk Cak Son di atasnya. Masing-masing kami hanya membawa apa yang diperlukan saja. Jadi, tak ada cangkul, ember, meteran, parang, cetok, seperti biasanya ketika kami pergi menggali.
Dari kejauhan Lodewijk tampak susah bernafas. Tubuhnya dilumat hijaunya pepohonan yang tumbuh subur di musim hujan tahun ini. Benteng hasil pemikiran Daendels ini sekarang tinggal sisa/reruntuhan saja. Aku kembali mengingat-ingat lokasi kota galiku bersama Mas Heli dulu. Kotak gali yang berdekatan dengan bangkai lumba-lumba kecil. Kotak gali dengan aroma parfum meneer-meneer di waktu makan siang. Kotak gali yang mungkin menjadi salah satu benang merah aku kembali lagi kemari, setelah dua tahun berselang.
Deretan pohon bakau rapi membentengi Lodewijk kali ini. Talud yang dibuat belakangan sudah mulai runtuh terkena kerasnya abrasi air laut. Aku buta arah utara disini. Dari dulu selalu seperti itu. Kami menyusur jejak-jejak dinding benteng yang masih bisa diamati. Tersusun atas batu putih dengan spesi semen bercampur pecahan kerang yang sekarang telah berlumut. Menyusuri sisa dinding ini mengantarkan kami pada gapura bentar yang terbuat dari bata merah spesi semen dan finishing dengan spesi. Talud atau dinding tersebut memang dibuat tinggi dari tempat yang lain.
Jika melempar pandang ke arah pantai maka akan terlihat runtuhan dinding benteng. Bermaterial bata merah spesi semen bercampur pecahan kerang. Masih di tempat yang sama seperti dua tahun yang lalu. Masih sering juga ditemukan fragmen-fragmen keramik asing dan botol-botol masa kolonial. Aku berpikir kenapa fragmen ini seolah tak pernah ada habisnya. Selalu muncul dan muncul lagi.
Terus menyisir dinding benteng yang masih dapat terlihat. Aku ingat lokasi kotak galiku bersama Mas Heli. Sekarang sudah menjadi hutan dengan pohon berduri. Runtuhan bangunan turutannya pun masih sama seperti dulu. Hanya dengan lingkungan yang lebih hijau saja. Tak tampak lagi struktur bata yang kami temukan dulu. Sudah ditimbun kembali dan akan sangat sulit jika aku kekeh ingin sungkem ke kotak galiku. Sudah rimbun oleh pohon berduri.
Seperti pemandu saja aku hari ini. Kutunjukkan kepada teman-teman sebuah sumur dengan diameter hampir dua meter. Sumur tersebut masih ada dengan air di dalamnya. Lapis pertama dinding sumur menggunakan material bata merah dengan spesi semen bercampur pecahan kerang sementara lapis selanjutnya adalah batu-batu pantai/batu putih yang dibentuk asal dengan spesi yang sama. Lingkungan di sekitar sumur pun sudah rimbun dengan pepohonan.
Terus berjalan, maksud hati ingin mengajak berputar dan melihat dinding benteng di sisi yang berlawanan dan akhirnya bisa keluar di pintu masuk. Namun, daerah tempatku dulu berjalan saat ini sudah menjadi tambak. Niat untuk kesana pun harus dibatalkan. Kami menemukan sebuah bangunan turutan lagi di sini. Dengan pohon besar yang menjebol ujung dinding bangunan. Material dari bangunan ini adalah batu putih spesi semen bercampur pecahan kerang dan sesekali diselingi oleh bata merah.
Mungkin ada yang terlewat. Kami memulai menyusuri Lodewijk pagi ini dengan disambut oleh koloni nyamuk pulau yang teramat girang melihat darah manusia. Lancip mulut nyamuk pun menjadi musuh utama kami pagi ini. Mungkin bisa dicatat pembunuhanku terbesar terhadap nyamuk aku lakukan hari ini. Kami semua lupa untuk membawa lotion anti nyamuk. Jadilah, tampar sana tampar sini untuk menghalau serangan nyamuk tersebut.
Ukur mengukur, foto memfoto, rekam mereka, ternyata kami selesaikan lebih awal. Sementara kami meminta Cak Son untuk menjemput pukul 1 siang. Jadilah kami seperti film Cash Away. Kami terdampar di pulau sarang koloni nyamuk yang dikelilingi oleh tambak. Untuk mengisi waktu luang kami membuat api. Tidak dengan bebatuan atau kayu-kayu kering. Tapi langsung dari alat bernama lighter kami melakukan bersih pantai Mengare. Sungguh mulia perbuatan kami siang ini.
Ternyata membakar sampah tak bisa membunuh rasa menunggu. Pukul 1 masih jauh lagi. Masih sangat lama. Satu persatu dari kami langsung memasang posisi tidur yang paling oke. Muka ditamengi dengan jaket, kaki selonjor, dan kami bermandikan matahari Mengare siang ini. Cak Son datang membuyarkan kepenatan kami. Kami pun pulang.

Gresik, 9 Desember 2008

Comments

mbak, mainlah ke blog saya,saya juga menulis tempat2 bersejarah, diantaranya juga lodewijk :)
KWA Wardani said…
Salam kenal Mas Roode Brug (keren ni nick name-nya...:D). Iya, saya langsung maen ke blognya mas begitu baca komen ini. Seru banget yak....bisa donk kalo saya maen ke Surabaya, dapet pemandu gratis...:D:D:D.

Popular Posts