Belajar menjadi Surveyor


Menggapai langit

Kembali lagi ke dunia lapangan seperti mendapatkan ruh yang telah lama hilang. Terik matahari membakar kulit dan angin yang enggan menyapa menjadikan sempurna dalam penyatuan dengan alam. Langkah demi langkah mengantarkan kami pada lorong waktu. Peradaban masa silam yang enggan lagi untuk dilirik. Dilirik??? Bahkan dilirik pun manusia tak hendak lagi melakukannya. Kasihan sekali benda-benda itu. Terjerang surya, terkelupas kulitnya, semakin banyak keriput, juga bintil-bintil jamur yang kian hobi menempel ditubuhnya. Orang bilang sekarang hanya sebuah benteng. Benteng kota Kerajaan Mataram Islam. Masih tercium sisa-sisa kejayaan, meski kian luntur.
Benteng kota berbentuk kurang lebih seperti segi empat. Hampir dua pertiga darinya telah direnggut oleh kebutuhan ruang yang tak pernah mengnal kata cukup. Alibi khas manusia. Sisa-sisa di sisi timur, utara, dan barat kini sesak tak dapat udara. Susah bernafas karena terhimpit oleh bangunan baru yang memunggungi tiap sisinya. Tanpa malu langsung menempel padanya. Kian luntur kegagahan, sisa sejarah menahan perlawanan Daendels.
Kami semakin jauh masuk ke masa lalu. Meski terpanggang matahari. Yang tak mau kompromi siang ini. Merekam, mengukur, mengamati, seperti itulah surveyor. Garda terendah namun kunci dari sebuah perjalanan ilmiah. Di atas baluwarti sisi selatan, kami berlari berlombaan menuju pojok beteng wetan atau jokteng wetan, sapaan hangat warga Jogja kepadanya.

Comments

Dilirik??
Bah! Mereka aja gak tau yang mana benteng gitu loh...
Pikir mereka itu cuma onggokan batu yang gak berguna...
dan mereka semena2 make itu jadi bahan bangunan rumah mereka, digempur dan ditelantarkan gitu aja...
Ya, itu tadi...
Karena mereka gak tau kalo itu dinding yang bernilai sejarah...

Popular Posts