Bunker Jepang Banyuwangi yang Merepotkan

Pagi ini agenda kami adalah mendokumentasikan benteng Utrecht Banyuwangi dan beberapa bunker Jepang yang seperti saya ceritakan dulu, sangat merepotkan. Kebetulan hotel tempat kami menginap tidak jauh dari lokasi yang dulunya dijadikan benteng oleh Belanda. Tapi jujur saja saya terkejut sekali melihat kondisi di lapangan. Saya hanya melihat tembok bata dengan ketebalan tak lebih dari 20 cm memanjang sekitar 30 m dan telah dijejali oleh rumah warga. What?? Mana bentengnya? Di bagian dalam benteng terdapat sebuah bangunan turutan beratap perisai. Daerah yang kami dan warga duga sebagai benteng ini saat ini sedah sulit bernafas. Bagian belakang dari bangunan turutan dijadikan rumah oleh warga. Sejenak saya berpikir kenapa aset militer di negeri ini selalu terbengkalai dan tidak diperhatikan. Padahal mereka adalah saksi sejarah bagaimana pejuang bangsa ini mengorbankan harta benda untuk Negara. Patriotik sekali kedengarannya.
Jujur saya sedikit kecewa dengan survey pembuka hari ini. Seolah berlalu kami pura-pura tidak tahu dan langsung menuju Inggrisan. Bangunan yang berada di sisi barat alun-alun saat ini dijadikan tempat hunian oleh pegawai KODIM. Lagi-lagi tempatnya sedikit tidak terawat. Seolah-olah mereka hanya mau menggunakan tanpa merawatnya. Sebelum jalan kami ngopi-ngopi dulu dan bercakap dengan beberapa orang di warung tersebut. Adat seperti ini memang harus dibiasakan bagi petualang berbujet minim seperti kami. Tanya sana sini akhirnya kami dirujuk ke Pantai Boom untuk mendata bunker Jepang yang ada disana.
Perjalanan sekitar 20 menit kami tempuh dengan jalan kaki. Sehat juga kalau setiap hari seperti. Saya sakin hari ini kami akan melangkah lebih dari 10.000 langkah. Ada sebuah pos polisi di pintu masuk pantai ini. Beberapa meter kemudian kami dihadang oleh petugas pelabuhan. Dengan alasan birokrasi, seorang teman akhirnya ikut menghadap pimpinan pelabuhan untuk menjelaskan detail kegiatan. Heran, seandainya kami turis apakah kami juga harus menjalani ritual seperti ini demi sebuah rekaman gambar?
Negosiasi berjalan lumayan lama. Kami diposkan di pos polisi. Diberi penjelasan sana sini tentang kebradaan bunker-bunker Jepang di Banyuwangi. Dan, God…bangunan tempat kami berdiri saat ini dahulunya juga bunker Jepang namun telah diuruk. Wow…keren juga pemikiran orang Indonesia. Dianggap tak berguna dan ada kepentingan yang lebih berguna, hancurkan saja apapun tinggalannya.
Di pos polisi pantai Boom kami mendapatkan sederetan data tentang keberadaan bunker Jepang di Bwnyuwangi. Dimulai dari pantai Nafo, Karangbendo, pakem, pantai Santen, Watu Dodol, Bajul Mati, Lampon, Alas Purwo, dan sederet tempat lainnya. Kami disarankan untuk memulai perjalanan dari tempat yang paling utara. Tapi kami putuskan untuk memulainya dari pantai Nafo.
Dengan menyewa becak –harga per becak Rp 10.000,00- kami pun diantarkan ke pantai Nafo. Sebelumnya kami bertanya ke serombongan tukang becak yang sedang berkumpul. Maksud hati ingin sekalian diantar ke pantai tersebut. Tapi yang kami dapatkan adalah penolakan. Baru pertama seumur hidup saya ditolak oleh tukang becak. Apakah tampang kami sangat gembel sehingga tak dipercaya dapat membayar becak ini?
Kami pun diantar oleh tukang-tukang becak yang lumayan baik hati. Tempat ini dijadikan hunian oleh pegawai KODIM. Tampaknya semua peninggalan militer adalah aset KODIM. Kami langsung disambut oleh seorang ibu dan beberapa orang lainnya dengan cara tak biasa. Si ibu sibuk mempromosikan tempatnya sebagai tempat syuting Panji si Penakluk Ular. Sementara beberapa yang lainnya hanya memandang kami dengan pandangan aneh. Hi..hi..hi….
Setelah mendengar keterangan panjang lebar dari si ibu, kami pun melepas becak kami. Di sisi barat dan timur ada beberapa rumah kolonial yang dari segi arsitektur baru kali ini saya lihat. Ada gorong-gorong berbentuk setengah lingkaran sebagai pondasi rumah. Jadi kita melihat rumah-rumah itu seperti tidak mempunyai kaki. Kakinya berbentuk setengah lingkaran yang mempunyai lobang. Kami menyusuri kebun-kebun dan selalu awas dengan lingkungan karena daerah ini terkenal dengan ularnya. Ketika sampai di tempat tujuan, dreng…deng…..mana bunker Jepangnya? Bekasnya pun bahkan tak ada. Yeah…inilah hasil dari oper sana per sini omongan dan persepsi orang Banyuwangi tentang tinggalan Jepang yang sungguh merepotkan kami.
Setelah ngaso dan menyempatkan untuk menjemur handuk, kami meluncur ke Watu Dodol. Karena dibawa oleh orang lokal, kami tidak dipentung masalah pembayaran angkot. Senang. Di Watu Dodol ada sebuah bunker di pinggir jalan. Bunker itu ditutup oleh pintu dari gedhek. Ketika kami bertanya pada seorang mas yang sedang bekerja disana apakah kami bisa masuk ke dalam bunker atau tidak, God, jawabannya adalah: “bisa masuk asalkan ada uang rokok”. Shit…tempat bernama apa ini? Karena kami tak hendak kehilangan uang kami pun memutuskan untuk mendokumentasikan bunker dari luar saja.
Pemandangan di bunker Jepang ini sangat indah. Air laut yang bersih menampakkan karang-karang dan pasir putih di dalamnya. Dua orang tengah bersnokling ria di tengah sana. Di depannya adalah selat Bali dan Bali. Bali????? Mengapa kita sudah begitu dekat tapi kami tetap tak bisa menyentuhmu hanya karena tak punya KTP??
Kami juga mendatangi bunker Jepang yang terletak di kawasan Wana Wisata Watu Dodol milik perhutani. Ternyata di kawasan ini terdapat 7 bunker Jepang. 4 diantaranya telah wafat dan tersisa tinggal tersisa 3. perjalanan menuju bunker Jepang adalah perjalanan berat sejauh 1,5 km dengan jalur yang tidak pernah datar dan menurun.
Tapak-tapak kami menuju ke bunker Jepang pun terbayar dengan pemandangan yang sangat indah. Di bunker Jepang yang pertama, selat Bali tampak indah sekali. Jepang niat sekali membuat bunker di tempat seperti ini. Dan bunker ini adalah bunker Jepang terlogis yang saya lihat. Diletakkan tepat menghadap ke laut. Pas untuk mengintai musuh yang datang dari arah timur. Cocok untuk melepaskan meriam ke kapal-kapal sekutu.
Ruangan bunker cukup luas dengan pilboks di bagian atasnya. Tangga besi yang menghubungkan bunker dengan pilboks sudah habis dipotong orang yang melihat sinyal uang dari keberadaan tangga besi tersebut.
Di bunker kedua tak kalah indah pemandangan yang kami saksikan. Bunker ini juga terlihat lebih indah dengan talud tinggi di kanan dan kiri menuju pintu masuk. Saat naik ke atas kami juga menjumpai satu lubang intai pada pilboks. Mmmm……yummy…
Karena ada 3 bunker yang tersisa maka kami pun mencari bunker ynag terakhir. Tapi kami malah menjumpai parit-parit tanah di dekat menara SUTET. Benar-benar kompleks bunker yang menakjubkan. Parit-parit itu sengaja dibuat oleh Jepang untuk tempat jalan para prajurit sekaligus juga sebagai tempat mengintai sekutu. Mengingatkan saya pada sepotong bagian film Letters from Iwojima.
Hujan melengkapi perjalanan kami hari ini. Kami tidak bisa langsung turun dan harus berteduh sejenak di bunker Jepang yang pertama. Perjalanan turun membutuhkan perjuangan yang sama besarnya saat naik tadi. Beberapa teman terpeleset beberapa kali karena jalan yang dilalui sangat licin.
Misi survey hari ini komplit 80 persen karena kami tak sempat mengecek bunker di Bajul Mati. Semangkuk indomie telur menemani kami sembari menunggu bis AKAS menuju terminal Sri Tanjung di Ketapang.
Perjalanan dari terminal Ketapang menuju kota adalah perjalanan biasa yang diiringi dengan canda tawa lelah kami. Yang membahgiakan adalah kami tidak dipentung lagi. Namun, jalan kaki menuju hotel tempat kami menginap jauh sekali. Terlengkapilah 10.000 langkah lebih untuk hari ini. Dan mencari hotel SLAMET sama dengan mencari jarum ditumpukkan jerami. Susah banget. Di peta lokasi ditunjukkan di Jalan Wakhid Hasyim tapi pada kenyataan berada di Jalan Pierre Tendean.
Hari ini semakin disempurnakan oleh santap malam kami. Hidangan Telur Mata Setan telah membutakan kantong kami semua. Arghhhhhhhh….bentuk makanan yang serupa Fu Yung Hai ini menguras kocek kami sedalam-dalamnya. Padahal bentuknya super biasa begitu juga rasanya. Dan, menu makam hari ini dirubah. Telur Mata Setan menjadi nasinya dan nasi menjadi lauknya. Hue..hue…Lain kali perlu dicek juga ukuran dari makanan yang kita pesan.

13 Desember 2008

Comments

Unknown said…
salut utk usaha n hasil pencariannya...sayang foto2 bunkernya gak ditampilkan !
Pakai foto dong, kakak .. Pasti lebih asik bacanya .. :D
Unknown said…
Mantap jiwa saya setuju buat menjaga aset militer selama perang dunia ke dua dan zaman kolonial Belanda Jagan sampai musnah

Popular Posts