Bunker Jepang terakhir hari ini: Hore!!!!!




Hari ini cuaca sedikit mendung. Masih dengan hidung tersumbat aku bersama teman surveyor membelah sumbu imajiner. Dari utara menuju arah selatan, kembali lagi mencari bunker Jepang seperti dua hari yang lalu.
Rupanya medan yang harus kami lalui hari ini lebih berat ketimbang yang kemarin. Hari ini kami mencari bunker yang tersembunyi. Naik turun bukit, crossing, membuka jalan sendiri, tertusuk tanaman berduri, melipir punggungan bukit, berjalan di atas igir. Perut lebih cepat keroncongan mengingat tenaga yang dikeluarkan pun lebih besar. Kami lebih cerdas hari ini dengan langsung membawa ransum makan siang.
Bunker pertama yang kami temukan berada di punggung bukit yang tidak jauh dari bunker logistik. Tempatnya sungguh terpencil. Jika kami tidak berniat untuk menerbas semak belukar setinggi kepala mungkin kami tidak akan jumpa dengan bunker ini. Bunker ini merupakan tempat pengintaian dengan sebuah lubang intai dan sebuah lubang ventilasi. Daerah di sekitar bunker sepertinya sudah pernah mengalami pengolahan tanah walapun sekarang tidak tampak lagi tanaman kacang atau jagung. Sisa-sisanya dapat dilihat dari keberadaan talud-talud yang membentuk sistem terasering seperti sawah-sawah di Bali. Adaptasi lahan di area perbukitan kapur seperti ini.
Masih penasaran dengan daerah di sekitar bunker, kami turun ke dasar lembah dan tetap tak menjumpai apa pun selain tegalan dengan jagung yang masih kanak-kanak. Kami naik bukit lagi, berjalan di igir, dan turun untuk melanjutkan perjalanan ke bunker selanjutnya.
Telah kami putari beberapa jalan yang menghubungkan antara bukit yang satu dengan bukit yang lain, tapi yang terlihat hanyalah onggokan batu hitam dan sudah tentu sekali bukan sebuah bunker. Sampai pada akhirnya ada sebuah jalan hijau berkarpet rerumputan. Dan motor pun harus terhenti di depan ladang kacang yang menghalangi jalan. Pilboks sudah terlihat dari kejauhan. Kami menemukan pilboks berbentuk segidelapan dan juga bunker di bawahnya. Ruangan di dalam bunker dibagi menjadi tiga ruangan yang disekat dinding walaupun sekat itu sudah tidak dapat dijumpai lagi. Lantai ruangan sudah tersedimentasi oleh tanah. Lembab dan penuh vandalisme. Mengapa orang-orang jahat yang telah menatokan tato yang tidak diinginkan ini tidak membuat sesuatu yang lebih kreatif? Bergabung dengan apotek komik atau menyelamkan diri pada forum mural. Tak bosan untuk berbangga diri dengan meninggalkan jejak tak pantas di setiap tempat bersejarah yang didatangi. Generasi tanpa otak.
Selesai memfoto, selesai mengukur, selesai merekam, selesai menyeket, waktunya mengisi amunisi. Lingkungan teduh di sekitar pilboks dan bunker mempengaruhi keputusan kami untuk makan di sini. Nikmat ketika mengisi amunisi di saat yang tepat.
Pencarian kami lanjutkan untuk menemukan bunker ke-17 dari 18 bunker yang ada. Jalan setapak yang terlihat dari tempat kami berada sekarang menerbitkan rasa curiga. Langkah cepat kaki yang telah teramunisi mengantarkan kami pada sebuah bunker lagi. Di sini kami sempat meributkan soal mata angin. Walaupun sudah membawa alat secanggih GPS versi 76 CSX, tapi pepatah yang mengatakan jangan terlalu percaya pada kekuatan teknologi terjawab di sini. Secara logika kami membaca arah dari jatuhnya baying-bayang. Dan hasilnya berbeda dengan akurasi arah yang ditunjukkan GPS kepada kami.
Selusur setapak kami lakukan lagi. Kali ini kami mendaki dan takjub pada apa yang kami lihat di atas sini. Hamparan pemandangan berwarna hijau. Indah. Berjalan terbata diantara ladang jagung dengan mata yang selalu siaga membaca keberadan bunker. Namun masih nihil. Akhirnya kami turun dan mencoba jalur yang belum pernah kami lalui. Bertemu dengan pemukiman penduduk dan bertanya tentang keberadaan bunker terakhir, bunker ke-18. Sedikit percakapan mengantarkan kami pada juru pelihara bunker. Suguhan es teh diantara dera hidung tersumbat mau tak mau harus disambut. Keramahan orang desa. Ketulusan yang menggetarkan di tengah himpitan krisis ekonomi saat ini.
Kami pun sampai di titik bunker terakhir, bunker ke-18. Bersama dua orang juru pelihara. Dengan napak tilas rute yang sama. Rute yang membuat motorku meriang karena tergigit runcingnya bebatuan jalanan. Akhirnya, selesai. Dan aku ingin menjadi burung. Terbang mengitari perbukitan ini dan mencium wangi awan.
Tuntas segala tugas di Ngreco, Bantul, kami langsung meluncur menuju sebuah tempat yang tidak ada didaftar tunggu Budpar. Cukup jauh dari jalan raya. Masuk dari gerbang Blok O, berkelak kelok, bertanya pada orang-orang, dan kembali lagi memasuki sebuah bukit. Dengan jalan perkerasan yang agak kurang logis jika mobil bisa masuk ke area ini. Gua Jepang buatan dengan empat pintu masuk menyambut kami. Bersama deru tawa anak-anak yang sedang bermain bola. Gua ini berbentuk lorong-lorong yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Pintu masuk terbuat dari material bata merah dengan spesi semen dan finishing plester. Lorong terpanjang berukuran 23 meter. Aroma lembab hampir sama dengan bunker. Saat ini Gua Jepang yang berada di Dusun Blambangan, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini merupakan objek wisata. Objek wisata tanpa papan penunjuk jalan. Jadi, bila berminat untuk kesini persiapkanlah mulut untuk bertanya. Tidak jauh dari gua Jepang tersebut ditemukan lagi gua Jepang dengan satu pintu masuk. Gua Jepang ini dalam kondidi yang tidak terawat. Pintu masuknya dipenuhi semak belukar. Apakah karena yang satu mempunyai empat pintu dan yang satu hanya satu pintu dengan kondisi yang kurang menarik menjadikan “perbedaan” itu berlaku? Entahlah, namun aku sudah lelah hari ini. Saatnya untuk pulang, mencuci muka, membasuh tubuh dengan lulur aromatik.

6 Desember 2008

Comments

Popular Posts