Jalan-jalan Kota Tua Jakarta

Hari ini saya bangun lebih awal karena hendak menjelajahi kota tua Jakarta. Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Batavia. Sebelumnya, pada 2006 saya pernah kemari namun tidak sempat berkeliling. Hanya mampir ke Museum Sejarah Jakarta dan Museum Keramik. Kali ini, saya tidak akan membuang kesempatan cuma-cuma. Awalnya hanya sekedar ingin membantu untuk urusan tugas akhir seorang teman tentang kanal kuno Batavia. Dia membutuhkan beberapa foto kanal-kanal tersebut masa kini. Saya pun menawarkan diri untuk mengambil gambar dengan kamera pocket yang saya miliki. Itung-itung sekalian keliling kota tua.

Cuaca hari ini tidak begitu mendukung untuk pengambilan gambar. Dikatakan mendung namun matahari masih tampak menyengat. Tidak dapat juga dikatakan berawan karena tidak terlihat satupun rombongan awan di langit Jakarta hari ini. Alhasil gambar yang diambil pun hasilnya tidak begitu memuaskan.
Kanal adalah salah satu objek foto saya. Saya yakin kanal-kanal lain juga mengalami nasib seperti ini. Warna airnya hitam dengan endapan yang sangat tebal. Bau yang dihasilkan juga lumayan membuat saya menahan nafas untuk beberapa saat.

Lalu lintas cukup padat untuk ukuran waktu yang menunjukkan pukul 09.00 pagi. Tidak seperti lalu lintas Jogja yang kepadatan pengguna jalan rayanya termasuk konstan. Bunyi klakson bersahut-sahutan bak kampanye partai politik di jalan raya. Lampu hijau belum menyala pun para pengendara sudah menarik gas sekencang-kencangnya seolah lampu-lampu lalu lintas itu lupa untuk berganti giliran.

Wajah kota tua setelah dua tahun sedikit banyak telah mengalami perubahan. Saat ini akses menuju Museum Sejarah ditutup dari arah Museum Bank Indonesia. Hanya kendaraan pengunjung yang boleh masuk. Jadi, sepanjang jalur menuju kafe Batavia sekarang tidak semrawut seperti dua tahun yang lalu.

Deretan bajai tampak tenang menunggu penumpang di depan Museum Bank Mandiri. Terkadang sang pemilik juga terlelap di jok sopir. Walaupun harus ditemani dengan sayup-sayup suara kendaraan yang tidak pernah berhenti, mereka tampak tidak terganggu. Beberapa ojek sepeda juga telah siap menjemput penumpang yang ingin bernostalgia dengan menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan ini.

Saya tidak langsung menuju ke Museum Bank Mandiri karena harus memarkir motor di depan Museum Wayang terlebih dahulu. Di pertigaan Museum Bank Indonesia, saya disuruh memotret Jalan Bank. Menurutnya, dahulu Jalan Bank ini adalah termasuk jaringan kanal kuno Batavia. Oww…jika benar begitu berarti jalan yang sekarang dikenal sebagai Jalan Bank ini dahulunya mempunyai kedalaman kira-kira dua sampai tiga meter karena dijadikan saluran air. Sekarang, jalan ini ramai dilalui orang-orang dengan kendaraan roda empat maupun roda dua.

Bangunan Museum Bank Indonesia membuat saya terkagum sesaat. Tampak anggun dengan tiang-tiang Corinthia yang menempel di dinding bangunan. Saya teringat dengan tiang-tiang semu di beberapa candi yang pernah saya kunjungi. Hampir mirip, hanya saja pilar Corinthia ini lebih menonjol sehingga terlihat sangat nyata sebagai sebuah penopang bangunan.

Suasana di depan Museum Sejarah Jakarta tampak senggang pagi ini. Ternyata aturan untuk menutup akses ke kota tua dari pertigaan Museum Bank BI membawa kenyamanan tersendiri bagi saya. Entah kenapa pikiran langsung melayang ke kota lama Semarang. Tiba-tiba pikiran saya tersedot ke Gereja Blenduk. Jalan ini mengingatkan saya dengan kota lama Semarang. Hue..hue..hue..

Ada bangunan yang menarik perhatian saya. Bangunan dengan dua kata yang ditempatkan sejajar, “BAR___BAR”. Mungkin adalah bar yang bersebelahan. Namun karena saya tidak begitu mengerti sejarah bangunan-bangunan di kota tua Batavia jadi deskripsi bangunan ini pun belum bisa saya ceritakan lebih detail. Saya pun mengabadikan fasad bangunan dengan nama yang unik tersebut.

Dengan berjalan kaki kami memulai petualangan di kota tua Jakarta hari ini. Ada perubahan signifikan di Stasiun Beos atau Stasiun Kota. Saat ini tengah berlangsung pembangunan jalan bawah tanah yang akan menghubungkan daerah di depan Museum Bank Mandiri dengan Stasiun Beos. Mungkin ditujukan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas manusia dan kendaraan umum & pribadi di area ini. Saya belum mendapatkan informasi apakah sebelum membuat jalur bawah tanah ini telah dilakukan ekskavasi terlebih dahulu atau tidak. Ketika memasuki jalur ini, semua masih tampak baru. Saya menyimpan sedikit rasa khawatir ketika jalur ini sudah benar-benar selesai dan siap digunakan. Gambaran kekumuhan tempat-tempat umum di Indonesia menggelantungi pikiran saya saat ini. Kondisi kotor dengan kesan kriminal yang tidak dapat lepas tentunya sesuatu yang tidak diharapkan dari pemotongan akses lalu lintas ini.

Jalur bawah tanah menuju stasiun Beos mengingatkan saya pada isu yang diangkat dalam novel E.S. Ito, “Rahasia Meede Misteri Harta Karun VOC”. Di dalam novel tersebut disebutkan bahwa dahulu di Batavia terdapat sebuah kota bawah tanah atau De Ondergrondse Stad. He..he.. fiksi sekali sih, namun cukup menghibur bagi pencinta bangunan tua seperti saya. Dalam novel tersebut dikisahkan mengenai pencarian harta karun VOC yang terpendam. Pencarian dimulai dari ruang bawah tanah Museum Sejarah Jakarta. Mengenai lorong atau terowongan bawah tanah seudah sering saya dengar. Sewaktu mengambil gambar di Malang, konon ada ruangan bawah tanah yang menghubungkan beberapa bangunan di Kota Malang, seperti antara stasiun Malang dengan SMA 1. Begitu juga ketika ke Lawang Sewu. Diceritakan ada sebuah lorong atau akses bawah tanah yang menghubungkan bangunan tersebut dengan bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Kembali lagi ke Jakarta, beberapa teman juga bercerita bahwa lorong bawah tanah juga terdapat di bawah istana Negara yang kemudian terhubung ke beberapa tempat lain di Jakarta. Lagi-lagi saya belum bisa membuktikan cerita-cerita tersebut. Jadi, saat ini saya lebih memilih posisi manggut-manggut saja sembari berniat semoga saya bisa membuktikan kebenaran cerita tersebut.

Saya harap intermezzo mengenai novel E.S. Ito tidak mengacaukan monolog saya tentang kota tua Jakarta. Tempat yang saya yakini memiliki keeksotisan yang luar biasa saat dulu. Andai saja semuanya masih terjaga dengan baik.
Anyway…saya tidak langsung menuju ke jantung Kota Tua Jakarta. Menyusuri Jalan Bank saya menuju Jalan Kali Besar Barat. Bangunan megah bercat putih kusam menyambut saya. Bangunan tersebut pernah digunakan oleh Chartered Bank. Pada 1994 hampir semua bangunan di Jalan Kali Besar Barat dipugar, sehingga tamlpak bersih lagi. Pada abad ke-18 bangunan ini dapat dilihat dengan leluasa tanpa penghalang melalui Jalan Kali Besar Timur. Sekarang sudah berdiri beberapa bangunan rumah yang merusak citra visual bangunan ini.

Tidak jauh dari Chartered Bank, beberapa meter ke utara terdapat sebuah bangunan yang mencolok mata karena bercat merah. Bangunan tersebut dikenal sebagai Toko Merah. Nah, ingatan saya kembali ke Jogja. Disana juga ada lho yang namanya Toko Merah –di Jl. Affandi (dulu Gejayan) dan di Jl. Kaliuran KM 5 kalo ga salah-. Kembali lagi ke topik, Toko Merah merupakan rumah orang kaya yang dibangun setelah peristiwa pembantaian etnis Cina pada 1740.

Nama Toko Merah diperoleh dari kusen jendela dan pintu yang dicat merah tua dengan sedikit cat emas. Tentu saja Toko Merah ini sangat kental dengan nuansa Tionghoa. Konon, dulu sekali mebel yang digunakan di rumah ini juga berwarna merah. Bata merah baru ditambahkan saat pemugaran rumah ini pada 1923 oleh direksi Bank voor Indie. Sebelumnya tembok rumah diplester putih. Seluruh perabot dan lapisan dinding kayu dari salah satu kamar rumah ini diangkat ke Museum Nasional pada 1901 untuk mengisi Compagnie’s Kamer.

Baron Friederich von Wurm, seorang bangsawan Jerman pernah menempati rumah ini. Beliau adalah salah satu pemrakarsa dan promotor Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau PerhimpunanSeni dan Ilmu Pengetahuan Batavia. Ia juga pendiri Perpustakaan Nasional. Melalui tulisannya dapat diketahui bahwa untuk dapat naik pangkat di Batavia kita harus mempunyai koneksi kuat. Hue..hue…budaya KKN memang telah tumbuh subur di bangsa ini sejak dulu kala.

Saat saya berkunjung ke daerah Kali Besar Barat sedang ada proyek di Kali Besar. Saya kurang tahu proyek apa, yang jelas Kali Besar sepertinya dibersihkan dan akan ditanamkan beton-beton di kiri kanan tubuhnya. Entahlah. Melewati Hotel Omni Batavia, tidak banyak momen yang saya pakai. Bangunan di sebelah utara hotel ini hampir ambruk. Entah disengaja atau tidak. Yang jelas melahirkan kekontrasan yang lumayan besar.

Ini dia yang saya tunggu. Narsis di atas Jembatan Ayam. Beberapa orang tampak asyik dengan ‘judi’ ecek-eceknya. Sempat deg-degan juga. Tapi saya malah disamperin buat diajak foto bareng. Hue..hue..hue…saya juga tidak tahu kenapa saya begitu suka dengan jembatan ini. Mungkin bentuknya yang jarang saya jumpai di tempat lain. Dahulu, Jembatan Ayam atau Hoenderpasarbrug ini perlu diangkat ketika kapal-kapal layar akan lewat membawa barang dari pedalaman ke pelabuhan atau dari pelabuhan ke gudang dan pasar. Jembatan ini adalah jembatan jungkat terakhir di Jakarta. Beberapa lampu dipasang di kiri kanan lantai bawah jembatan. Mungkin untuk keeksotikan malam hari bila diperlukan. Kayunya pun terlihat baru –kurang tahu juga apakah baru atau masih asli-.

Semakin lama perjalanan saya semakin ke utara. Mengarah ke Museum Bahari dan Pasar Ikan. Sebelum ke area itu, saya melewati bangunan tua yang sudah direvitalisasi menjadi restoran untuk kalangan atas tentunya. Terlihat dari eksterior bangunan serta aroma makanan yang dikirimkan udara ke indra penciuman saya.

Rupanya aroma makanan yang mengusik penghuni perut saya itu berasal dari gedung bekas Galangan Kapal VOC. Tidak ada perhatian khusus untuk gedung bekas Galangan Kapal VOC ini. Lambat laun kerusakan yang harus dialami gedung ini pun bertambah parah. Naiknya permukaan air tanah yang merupakan dampak dari timbunan sampah yang menutup Kali Besar di Pasar Ikan serta penggalian Kali Pakin pada 1985. Pencemaran udara dan tanah di Jakarta Utara tentunya juga merupakan ancaman serius bagi gedung-gedung yang sudah berusia ratusan tahun di kawasan ini.

Cukup banyak data sejarah yang memuat gedung bekas Galangan Kapal VOC ini. Hal yang wajar karena gedung ini memegang fungsi yang sangat krusial pada masa kolonial dulu. Compagnies Timmer-en Scheepswerf dalam bahasa kromo inggilnya atau Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni dalam bahasa ngokonya berdiri sejak 1632 di atas tanah urukan di tepi barat Kali Besar. Galangan Kapal digunakan sebagai tempat untuk memperbaiki kapal-kapal besar yang telah berbulan lamanya berlayar. Selain itu, kapal-kapal kecil juga dibuat di tempat ini.

Orang yang hidup dan bekerja di dalam Gedung Galangan Kapal ini pun terbilang sangat heterogen. Pegawai administrasi dan pembukuan serta pembuat peta, kompas dan jam pasir bekerja dan sebagian tinggal di Gedung Utama bersama dengan pejabat tertinggi equipagemeester atau commandeur. Lalu ada juga tukang kayu yang khusus membuat dan memperbaiki kapal, pandai besi yang membuat jangkar, huk dan ban besi, tukang tambang, para awak kapal yang sering berbuat kisruh, dan tentunya kaum yang paling menderita penyeimbang unsur kehidupan di Galangan Kapal ini, kaum budak belian.
Kebakaran besar pernah terjadi pada 1721. Namun, sejarah Galangan Kapal tidak putus sampai disitu. Pembangunan kembali dilakukan. Rekonstruksi mengenai letak-letak komponen bangunan yang pernah mengisi komplek Galangan Kapal VOC ini didapatkan dari lukisan-lukisan, seperti lukisan B.J. Vonk (1727), J.W. Heydt (1744), dan Jahannes Rach (1770-an). Sementara itu, saya mengutip nasib Galangan Kapal pada abad ke-19 dalam bukunya Adolf Heuken SJ & Grace Pamungkas sebagai berikut:
1809: Kasteel Batavia (1627) yang berada di seberang Galangan Kapal dibongkar atas perintah Gubernur Jenderal Daendels.
1809: Gubernur Jenderal Daendels tidak bersedia memelihara Galangan Kapal lagi; tukang Tionghoa mengambil alih pekerjaan di tempat itu.
1812: Kantor dan tempat tinggal equipagemeester di Gedung Utama (yang sudah agak lama ditinggalkan) dijual oleh pemerintah.
1812: Serambi sekarang, baik tingkat atas maupun bawah, rupanya ditambahkan sekitar tahun ini.
1826-1859: Galangan Kapal digunakan oleh orang yang datang dan pergi dengan kapal laut: baik orang biasa maupun pejabat-pejabat tinggi. Di tempat ini mereka naik atau turun dari sampan yang membawa mereka ke atau dari kapal-kapal besar, yang terpaksa berlabuh lepas pantai karena pelabuhan terlalu kecil.
1826: Pada tahun ini atau tidak lama sesudahnya Tiang Bendera dibongkar dan diganti dengan Menara Syahbandar (Uitkijk, 1839) di Culemborg.
1834: Ankerwerf menjadi tempat pabean/douane dan kantor pusat pelabuhan (havenkantoor).
1839: Equipagewerf masih disebut sebagai tempat kerja.
1879: J.C. Rappard melukis tempat para penumpang mendarat dari kapal: pada gambar ini terdapat atap equipagepakhuizen dan Menara Syahbandar.
Abad ke-19 Galangan Kapal menjadi milik Pensioensfonds voor de Europeese en voor gelijkgestelde militairen beneden de opsier in N.I.
Sebelum 1920 Equipagepakhuizen diganti dengan gudang lain (yang beratap tiga dan lebih rendah.

Begitulah sejarah Galangan Kapal menurut Heuken dan Pamungkas. Saat melewati depan gedung ini saya tidak berani untuk masuk. Karena memang menjadi sebuah larangan bagi orang yang tidak berkepentingan –untuk makan dan pesta tentunya- untuk bisa mengakses gedung ini secara bebas.

Asyik bernostalgia dengan bekas gedung Galangan Kapal VOC yang tidak mungkin saya jambangi dalam waktu dekat, kami pun menuju Museum Bahari. Lalu lintas cukup padat hari ini. Banyak kendaraan besar yang melaju di jalan sekecil ini. Ditambah dengan panasnya Jakarta cukup untuk melengkapi petualangan hari ini. Namun, apa boleh buat. Niat telah ditambatkan untuk mengupas sebagian kota tua Jakarta hari ini. Saya pun tidak bisa mundur. Hue..hue…Mungkin orang bilang, “Ngapain neng panas-panas kayak gini jalan ke kota tua? Ga ada kerjaan ato emang pengangguran??? Ngapain juga ngeliat bangunan-bangunan tua ga keurus? Belum lagi banyak premannya. Mending ke mall neng!!! Ngadem..”, hue…hue…saya pun hanya bisa manggut-manggut kalo sampai bertemu dengan manusia sekritis itu. Hue..hue…

Museum Bahari merupakan bagian dari Westzijdsche Pakhuizen atau “Gudang di tepi barat”. Persediaan pala dan lada serta kopi, teh dan kain disimpan dalam jumlah yang sangat besar di sini. Di beberapa pintu museum dijumpai angka tahun yang berbeda-beda, antara lain 1718, 1719, atau 1771. Angka-angka tersebut menunjuk pada peristiwa perbaikan, perluasan, atau penambahan gudang.

Suasana museum tampak sepi saat kami datang. Ini kali pertama saya kemari. Disini dipamerkan berbagai macam miniatur kapal-kapal tradisional bangsa Indonesia. Terdapat juga display yang memamerkan alat-alat yang digunakan untuk membuat sebuah kapal. Hampir sama dengan yang saya temui di Museum Samudera Raksa Borobudur. Tersaji pula beberapa peta dan foto yang memperlihatkan tahap perkembangan. Namun, entah mengapa saya merasa kurang nyaman berada di museum ini. Tampilan display yang monoton, serta koleksi yang tampak tidak terawat mempercepat kunjungan saya di museum ini. Saya tidak mendapatkan guide untuk menjelajahi museum yang cukup luas ini. Keadaan di dalam museum pun mencitrakan kesan horor, kumuh, dan tidak terawat. Sepertinya museum ini akan dihancurkan esok harinya. Saya tidak ingin berlama-lama di dalam museum. Berjalan-jalan di luar museum sedikit memberikan kesegaran bagi otak saya yang tiba-tiba mampet selama berada di museum tadi.

Mumpung di Museum Bahari, saya pun tidak melewatkan kesempatan untuk jalan-jalan ke Pasar Ikan. Konon, di sinilah benih-benih kota Metropolitan Jakarta Raya disemai. Jl. Pasar Ikan mengantarkan pikiran saya ke sebuah kawasan yang banyak menjual ikan. Dreng…deng…kok saya hampir tidak menjumpai pedagang ikan yak???? Ternyata kawasan ini cukup kecil. Kemudian saya ketahui bahwa sejak 1730-an seluruh daerah Pasar Ikan, termasuk Kasteel dan Galangan Kapal, menjadi sangat tidak sehat. Keadaan itu membuat orang yang bekerja di sini jatuh sakit dan banyak di antara mereka yang dijemput maut. Hal ini disebabkan antara lain air minum yang tidak sehat dan tercemar oleh kotoran yang dibuang orang ke Ciliwung, bahkan kotoran dari pasien-pasien rumah sakit yang berpenyakit menular, disalurkan dari bagian atas sungai ini. Maka banyak tukang, tentara dan budak mati karena disentri. Selain itu banyak empang yang digali di sebelah utara Kota Lama menjadi sarang nyamuk yang menyebarkan malaria (Anopheles sundaicus). Orang kaya mulai meninggalkan Kota dan para pejabat membangun rumah di Molenvliet (sekarang Jl. Hayam Wuruk dan Gadjah Mada). Namun demikian, bengkel kayu dan Galangan Kapal di Pasar Ikan dan di pulau Onrust tetap berfungsi terus. Kota semakin dikosongkan waktu pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1810) dan Sir St. Raffles (1811-1816).

Sewaktu akan beranjak dari Pasar Ikan menuju Menara Syahbandar kami berpapasan dengan dua orang bule. Sepertinya mereka backpacker. Owww……seru sekali tampaknya. Seharusnya kawasan ini tetap hidup seperti ini tanpa embel-embel pembangunan apapun. Karena di belakang gedung Museum Bahari sekarang menjulang sebuah apartemen yang tentunya merusak citra kawasan ini.

Menara Syahbandar didirikan Pada 1839 di dalam kasteel atau benteng. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809 dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala serta lada dan kemudian juga kopi serta teh.

Karena kami mengunjungi Museum Bahari terlebih dahulu maka kami tidak dipungut biaya lagi untuk dapat naik ke Menara Syahbandar ini. Perjalanan ke puncak menara ini ternyata menguras tenaga ekstra. Seperti naik ke puncak mercusuar di Pandansimo, Yogyakarta. Di puncak saya dapat memandang dengan leluasa kawasan tertua di Jakarta. Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, Pasar Ikan, Kali Besar, Galangan Kapal VOC, semuanya tidak ada yang terlewatkan dari jepretan kamera saya.

Menara Syahbandar atau Uitkijk dibangun untuk mengganti tiang bendera lama pada galangan kapal. Dari sini kapal-kapal yang ingin mencumbu Sunda Kelapa diamati dan diberi tanda-tanda. Rupanya menara Syahbandar didirikan di dalam sebuah kubu pertahanan. Kubu yang dikenal sebagai Culemborg ini merupakan bagian dari tembok kota Batavia. Dibangun dari batu karang pada 1645, Culemborg diambil dari nama sebuah kota kecil, tempat kelahiran Gubernur Jenderal van Diemen.

Pyuh……agak dredeg juga berada di puncak menara. Terlebih menara ini sudah mengalami kemiringan sekian derajat. Angin yang berhembus kencang akhirnya menamatkan petualangan saya di menara ini. Tujuan saya selanjutnya adalah pelabuhan Sunda Kelapa. Sepanjang Jalan Pakin yang sempit kendaraan melaju seperti di sirkuit balap. Ga ada yang mau mengalah untuk satu detik waktu. Sunda Kelapa nampak senggang. Mungkin mendekati waktu Jumatan. Tampak beberapa kapal tradisional berukuran besar bersandar dengan anggunnya. Mencoba mencuri ketampanan nenek moyangnya yang telah merapat dalam bilangan yang tak terhitung ratusan tahun silam di tempat ini.

Jauh sebelum Belanda menancapkan kuku-kuku kolonialisme di Indonesia, Sunda Kelapa rupanya menjadi pelabuhan utama kerajaan Padjajaran. Kapal Belanda pertama kali berlabuh di Sunda Kelapa –pada saat itu sudah menjadi Jayakarta- pada 1596. Dari tempat inilah sifat-sifat rakus kumpeni mulai terlihat jelas. Pada 1610 mereka telah mengantongi izin untuk membangun sebuah gudang dan rumah-rumah dari kayu di tepi timur mulut sungai. Bekas-bekas kota Sunda Kelapa atau Jayakarta tidak dapat disaksikan lagi sekarang. Kasteel atau benteng besar Batavia pun telah punah. Namun, kawasan ini tetap merupakan cikal bakal dari kota Jakarta Raya saat ini.

Dari semua tampat yang kami kunjungi di kawasan Pasar Ikan dan sekitarnya ini, gedung yang paling tua adalah Gedung Galangan Kapal yang sudah mulai beroperasi pada 1632. Ada satu hal yang saya ingat mengenai kawasan ini. Ternyata bercermin dari sejarah sangat penting. Jika tidak ya..hasilnya pun dapat kita rasakan sekarang. Contohnya adalah pembuatan Kali Pakin pada 1985. Jelas pembuatan kali tersebut tidak didasari dengan pembacaan sejarah yang cermat. Air yang sebelumnya mengalir jauh lebih lancar melewati kali yang lama di muka dan belakang Museum Bahari dan terus mengalir ke Muara Baru, lalu ke Teluk Jakarta kini menjadi terhambat. Penutupan saluran air di antara Museum Bahari dan bekas ‘pulau’ Pasar Ikan ini menyebabkan antara lain permukaan air tanah naik, sehingga tembok-tembok museum yang tebal itu selalu lembab dan balok kayu semakin rusak. Kali Besar di sebelah selatan Pintu Air pelabuhan Sunda Kelapa tidak bergerak lagi dan menimbulkan bau busuk. Inilah bukti bahwa pemikiran sebagian besar orang Indonesia –terutama para pejabat- sifatnya instan dan tidak mau susah. Inginnya cepat selesai dan menguntungkan dengan pengeluaran yang seminim mungkin. Pantesan saja bangsa ini semakin terperosok ke dalam lembah kebodohan.

Saya pikir sudah cukup belajar di kawasan Pasar Ikan dan sekitarnya. Saatnya mencicipi ojek sepeda ke kota tua Jakarta. Enak juga rasanya naik ojek sepeda ke jantung Kota Tua, Museum Sejarah Jakarta yang dulunya adalah Stadhuis atau Balai Kota. Cukup merogoh kocek Rp 5.000,00 dijamin kita akan merasakan nostalgia kota tua yang sebenarnya –selain juga kampanye kendaraan ramah lingkungan-.

Balai Kota mengalami berkali-kali tahap pembangunan. Pertama kali tempat ini dibangun pada 1620 dan hanya bertahan selama enam tahun. Untuk pembangunan Balai Kota tahap kedua saya kurang mengetahui angka tahunnya. Hanya saja Balai Kota tersebut sudah aktif digunakan sejak 1627 hingga 1707. Bangunan ini kemudian dirombak karena dianggap terlalu kecil dan sederhana untuk ukuran Batavia yang kaya dan tersohor. Tahap ketiga pembangunan Balai Kota dimulai atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn pada 23 Januari 1707. Kemudian diresmikan pada 10 Juli 1710 saat pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck. Gedung ini baru selesai pada 1712.

Bangunan dengan gaya klasistik bercampur unsur-unsur barok ini rancang bangunnya dikerjakan oleh kepala tukang VOC, W.J. van de Velde (1707-1710). Dahulu di atas atap pintu masuk terdapat patung wanita yang katanya lambang keadilan. Namun, sayang sekali patung ini hilang sejak masa penjajahan Jepang (1942-1945). Kali ini saya tidak masuk ke dalam gedung karena menunggu seornag teman. Tulisan mengenai Balai Kota atawa Museum Sejarah Jakarta akan saya buat tersendiri.

Menunjuk pukul 15.00 suasana masih tampak sepi. Setelah itu serombongan anak SMA datang –mungkin untuk kepentingan tugas sekolah- dan langsung makan-makan di halaman gedung ini. Sementara itu, seorang yang saya tidak kenal tengah asyik dalam tidurnya di salah satu meriam yang ditempatkan di depan gedung ini. Gedung Museum Sejarah Jakarta dan gedung-gedung disekitarnya banyak dijadikan tempat untuk bernarsis ria alias foto-foto. Tidak jarang foto pre-wedding pun memilih kawasan ini sebagai lokasi pemotretan.

Pukul 15.30 ketika museum-museum sudah tutup, barulah teman yang saya nantikan tiba. Hue..hue..apa boleh buat. Beruntung karena dia mempunyai kenalan yang akhirnya mengantarkan kami ke Museum Bank Mandiri. Untuk dapat masuk ke museum ini kami tidak dipungut biaya karena berstatus mahasiswa. Nyamannya berada di museum yang dikelola oleh pihak swasta. Dahulunya museum ini adalah bekas Gedung NHM –Nederlandsche Handel Maatschappij. Gedung ini dirancang oleh J.J.J de Bruyn, A.P. Smits, dan C. van de Linde. Bangunan bergaya Niew Zakelijk ini mulai dibuat pada 1929 yang dikerjakan oleh biro Nederlandsche Aanemings Maatschappij dan diresmikan pada 14 Januari 1933.

Gedung ini mempunyai sejarah panjang hingga menjadi Museum Bank Mandiri seperti sekarang. Sejarah sejak 1826 masih dimiliki oleh orang Belanda sampai 1959/60 milik republik Indonesia tercinta yaitu; gedung ini dijadikan kantor Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij (NIEM), Nederlandsche Indische Handel Bank (NIHB), dan Bank Industri Negara (BIN). Bank-bank yang kemudian bergabung antara 1959-Juli 1999 antara lain, Bank Bumi Daya (BBD), Bank dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Kemudian dari keempat bank tersebut muncullah Bank Mandiri.

Sebelum berkeliling kami diajak untuk bersantai dulu di kantin museum. Sekaleng coca cola zero pun tandas mengobati dahaga saya. Perjalanan keliling museum pun kemudian dimulai. Kami melihat koleksi mata uang dari berbagai periode. Memasuki ruang direksi. Rata-rata sebagian besar ruang-ruang direkonstruksi melalui foto yang terkadang lebih banyak didatangkan langsung dari Belanda. Pokoknya keren lah. Kalau dikelola swasta memang total jadinya. Hue..hue..hue…Saat berkunjung ke sini sedang ada pameran foto bertema tujuh belasan. Rata-rata foto tersebut diambil di daerah Universitas Borobudur. Pada saat hari H saya terjebak macet disana hampir 2,5 jam.
Keadaan gedung pun diupayakan maksimal mendekati kondisi dahulu ketika gedung ini pertama kali beroperasi sebagai Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Semua itu berkat tinggalan foto-foto lama. Saya juga sempat melihat bentuk kulkas tempo dulu lho…Ternyata sangat sederhana karena tidak dilengkapi pendingin yang menghasilkan Freon seperti saat ini. Hanya seperti cool box saja. Ada juga kipas angin yang guede banget. Selain itu furniture yang masih ada disini rata-rata masih asli.

Tidak terasa hari kian senja. Kepuasan pun telah saya dapatkan hari ini. Perjalanan yang ditutup di Museum Bank Mandiri merupakan rangkaian petualangan sempurna di Kota Tua. Saya berharap masih bisa bertualang di kota ini. Dengan cakupan area yang lebih besar tentunya. Yang saya impikan saat ini adalah ke Petak Sembilan sembari manikmati makanan khas daerah itu.

Referensi tulisan ini:
“Galangan Kapal Batavia selama tiga ratus tahun” oleh Adolf Heuken SJ dan Grace Pamungkas.
“Tempat-tempat beresjarah di Jakarta” oleh Adolf Heuken SJ.
Sedikit terinspirasi dengan petualangan seru novel “Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC” oleh E.S. Ito.

Jakarta, 22 Agustus 2008

Comments

Edi said…
Kisah perjalanan yg menarik krn sangat deskriftip. Selamat ya. Hehehe....
KWA Wardani said…
Terimaksih Mas Edi Ginting. Saya hanya iseng aja kok. Udah sering jalan ke kota tua tapi ga pernah mencoret-coret buku harian. he he he
Ega says... said…
waw...selalu terpikir untuk reka ulang adegan di rahasia meedee. Ga sangka klo ternyata gw ga sendirian..
Nice article btw.. ^^
KWA Wardani said…
sepertinya masih banyak kok di luar sana yang terpikir buat reka ulang...:D (mungkin belum dipertemukan aja).
Philuff said…
perjalanan di kota tua seru. pengen kesana lagi >w<

Popular Posts