Terapi karang di Bangkalan



Pagi sekali kami sudah bangun. Kami tak boleh ketinggalan perahu ke Madura. Perahu yang pergi membawa ikan dan pulang mengantar orang. Sarapan pagi yang disediakan Bu Haji harus kami tandaskan dalam waktu singkat. Kami meninggalkan Gresik pagi ini. Kembali berpisah dengan ketulusan hati orang-orang baik di desa bernama Tanjung Widoro.

Perahu untuk mengangkut ikan itu telah penuh sesak. Sudah ada 5 orang di dalamnya. Ditambah lagi dengan kami berlima dan 5 orang lagi yang akan memasuki perahu kecil yang padat penduduk ini. Lambung perahu kurasakan semakin tenggelam saja. Dalam hati aku berdoa agar kami tak bertatap muka dengan ombak yang ganas. Jangan sampai, karena jika itu terjadi maka tuntaslah hidup kami hari ini. Untungnya cuaca sangat bersahabat pagi ini. Gresik, Pulau Mengare semakin menjauh dari pandangan berganti sebuah pulau bernama Madura. Kurang lebih 30 menit kami sampai di Pulau Karapan Sapi ini.

Air laut masih surut pagi ini. Resikonya perahu tak dapat menepi. Lagipula pelayaran kami lebih terlihat sebagai sebuah pelayaran ilegal karena kami tak berlabuh di dermaga. Tak ada dermaga atau pelabuhan yang kulihat di sini. Mau tak mau kami harus turun dan berjalan sendiri menuju pulau. Kedalaman air yang harus dilalui sekitar sedengkul orang dewasa. Yang paling membuatku terkesan adalah sensasi luar biasa pada telapak kakiku. Rasanya seperti terapi kaki. Dasar yang kami injak adalah karang-karang dan juga kerang-kerang yang berproses menjadi fosil. Yeah…terapi karang di Bangkalan menjadi pembuka perjalanan hari ini.

Sebuah mobil tua mengingatkanku pada sistem omprengan saat di Kamal dulu. Penumpangnya hanya kami berlima ditambah dengan tiga orang penduduk lokal. Dengan tarif 5000 rupiah kami diantarkan sampai ke terminal Bangkalan. Terminal??? Mungkin tak layak disebut terminal. Lebih enak menyembutnya dengan pasar Bangkalan. Buta orientasi sudah hal yang dimaklumi bagi pendatang seperti kami. Maka bertanya adalah solusi yang terbaik. Kantor kecamatan pun menjadi tampat singgah kami yang pertama. Semoga prosedur untuk sekedar bertanya tidak serumit saat survey di Pleret tempo hari. Dan ternyata benar, informasi tentang lokasi Benteng Bangkalan pun mengalir lancer dari seorang pegawai muda kecamatan Bangkalan. Tak perlu mempertanyakan soal perijinan.

Dengan berjalan kaki santai lebih kurang 20 menit kami tiba di Benteng Bangkalan. Letaknya di daerah perkotaan membuat orang yang mencari pun tidak dibikin pusing. Saat ini benteng menjadi tempat hunian keluarga polisi. Semua bangunan turutan di dalam benteng digunakan untuk tempat tinggal. Kami langsung diantarkan kepada Pak RT, Pak Sunari yang juga seorang polisi untuk membicarakan mengenai izin pendokumentasian benteng. Tanpa basa basi yang terlalu panjang kami pun langsung berkeliling benteng seperti biasa.

Benteng yang mempunyai pintu masuk dari arah selatan ini kondisinya sangat memprihatinkan. Walaupun secara arsitektural dapat dikatakan bangunan masih utuh namun kualitas kekuatan struktur tampaknya masih dipertanyakan. Aku memulai menyusuri benteng dari anak tangga-anak tangga pada bastion sisi Barat Daya. Pohon jati, pohon pisang, tanaman merambat dan tanaman-tanaman lain yang tak kutahu nama dan jenisnya berlomba untuk dapat hidup di sini. Di bastion sisi Barat Daya terdapat sebuah menara intai dengan tiga lubang intai. Ceruk bidik dapat dilihat di muka dan sayap bastion, masing-masing 3 dan 2 buah. Material utama pembentuk benteng adalah batu putih dengan spesi campuran semen dan pecahan batu gamping/batu kapur. Sebagian dinding benteng di bastion ini sudah runtuh dan sisanya digerogoti oleh lumut.



Terus berjalan ke utara kutemukan lagi sebuah menara intai. Tepatnya berada di bastion sisi Barat Laut. Kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan bastion yang pertama kali kutemui. Di atas bastion ini sudah dijadikan peternakan ayam. Semakin tak karuan bau yang diterima oleh jaringan syaraf penciumanku. Segala pohon, mulai dari kelapa, pisang, papaya, jati, mangga, tumbuh subur di atas bastion ini. Lingkungan di sekitar juga merupakan perumahan yang menempel langsung pada dinding benteng.

Karena tak kujumpai jalan menuju bastion selanjutnya, aku pun turun dan melihat-lihat bangunan turutan di dalam benteng. Masih ada WC yang sedari dulu mempunyai fungsi yang sama. Kemudian ada bangunan turutan memanjang utara-selatan di sisi barat dan timur. Simetris. Di tengahnya ada sebuah rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga. Dan penelusuranku pun harus terhenti sesaat ketika kami harus berbincang dengan juru pelihara benteng, Pak Salari.

Pak Salari lancar bercerita tentang benteng Bangkalan. Namun lebih banyak ke urusan konflik hak milik, hak guna atau hak pakai. Jika ditarik dari akar rumput persoalan situs yang posisinya seperti benteng ini memang rumit. Menurut Undang Undang Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah jelas bahwa benteng ini masuk ke dalam kategori Benda Cagar Budaya. Namun yang menjadi permasalahan, saat ini benteng yang seyogyanya adalah aset dari pemerintah Kabupaten Bangkalan dijadikan asrama polisi. Benteng dan militer, dua hal yang saling berkaitan dari dahulu hingga sekarang.



Hak milik, hak pakai, hak guna adalah sederetan hak-hak yang masih samar aku mengerti. Jika niatan dari pemerintah ingin menjadikan benteng sebagai museum atau publik area untuk berkesenian maka seluruh penghuni harus direlokasi ke tempat yang lain. Inilah yang masih kabur di benteng Bangkalan. Menurut keterangan Pak Salari, hingga saat ini belum ada tindakan tegas atau ketetapan dari pemerintah kabupaten khususnya bupati dalam hal ini terhadap kepastian nasib benteng Bangkalan dan penghuninya.

Koordinasi dan komunikasi yang baik dari pihak-pihak yang terkait langsung dengan nasib keberlangsungan benteng Bangkalan mungkin dapat menjadi solusi dari semua kegamangan yang terjadi. Pak Salari pun tak ingin terus dicurigai oleh para tetangga jika seawaktu-waktu ada tamu-tamu yang datang berkungjung ke benteng Bangkalan. “Saya itu serba salah, setiap ada tamu datang berkunjung kesini, setelahnya saya pasti selalu ditanya-tanya. Dan selalu dikaitkan dengan dugaan-dugaan tentang penggusuran. Padahal kalau tamunya seperti anak-anak sekalian, apa ya kita mau ngobrolin soal gusur menggusur?”, begitulah cerita dari Pak Salari di sela-sela jamuan makan pagi yang kedua hari ini. Ho..ho…ho..:P

Bangkalan, Pulau Madura
10 Desember 2008

Comments

Popular Posts