Wacana Arkeologi Swasta: Dari Souvenir hingga Arupadhatu

Impian itu lahir sejak awal. Sejak belum mengetahui sisi buruk dan baik dari jurusan pencetak ahli purbakala ini. Impian untuk mendirikan sebuah badan bertajuk “Arkeologi Swasta”. Terdengar sangat keren pada saat itu. Ketika kami tahu mimpi-mimpi untuk mempelajari piramida dan Machupichu harus dikubur sejenak. Ketika percakapan demi percakapan dilontarkan untuk menghalau gegap kecewa itu. Sengatan listrik di kepala sama seperti ketika Thomas Alfa Edison menemukan pijar lampu pertamanya. Seperti itulah aku empat tahun yang lalu.
Bermimpi untuk mempunyai Arkeologi swasta di sebuah negara yang enggan menghargai masa lalu ini, apakah mungkin? Terdengar sebagai pepatah “pungguk merindukan bulan”, mungkin. Aku mengawalinya bersama teman-teman satu visi dan misi. Orang-orang yang mengharamkan sebisa mungkin untuk mengabdi pada institusi pegawai negeri milik pemerintah. Orang-orang yang berfikir bahwa idealisme akan mati ketika terjun ke dalam sebuah sistem bernama birokrasi. Orang-orang yang miris melihat nasib tinggalan masa lalu, yang dulu sangat jaya namun sekarang teronggok di sudut jalan berteman sampah. Maka orang-orang tersebut mengandung, melahirkan, dan membesarkan sebuah komunitas berjudul “Souvenir” yang bergerak di bidang tulis menulis. Itulah kali pertama aku mengisi dahaga idealisme yang selama ini kering.
Kami berhasil menerbitkan tiga edisi selama hampir dua tahun. Konsep “gratis” yang kami usung mau tak mau harus bebenturan dengan kebutuhan zaman. Lebam dihantam pukulan kanan dan kiri, namun kami berusaha untuk tetap berdiri. Hingga akhirnya kami sampai di satu titik ketika kaki kami tak lagi dapat bergerak bahkan untuk menggeser badan yang tak lagi tertopang. Kami mati. Tak ada lagi edisi selanjutnya. Edisi yang kami impikan di awal ketika mengandung dulu.
Malam ini bersama seorang kawan menunggu printer mencetak berlembar-lembar peta untuk kebutuhan survey esok hari. Wacana berawal dari kegiatan inisiasi jurusan, abhiseka ratri 2008, yang dilakukan seminggu yang lalu. Kami mulai mengkritisi kegiatan yang semakin minim esensi kearkeologian di dalamnya. Bukan pada tataran akademisi. Sama sekali bukan. Lebih kepada pembentukan jiwa kritis mahasiswa baru terhadap hak dan kewajiban mereka selaku mahasiswa Arkeologi yang tergabung dalam wadah HIMA. Terpuruk dan parah akut kalau kami bisa simpulkan dari panjang dan lebarnya percakapan malam ini. Pergeseran persepsi yang sangat besar untuk memaknai identitas diri sebagai mahasiswa Arkeologi semakin memperburuk tubuh organisasi mahasiswa bernama HIMA saat ini.
Wacana kemudian melompat pada kinerjaku sebagai SC dalam sebuah kegiatan HIMA tahun ini. Kegiatan akbar mahasiswa Arkeologi se-Indonesia yang telah sohor dalam dunia Arkeologi Indonesia. Keluh kesah mengalir bukan sebagai sebuah curhatan namun lebih kepada pencarian solusi atau alternatif. Sangat sulit untuk bisa profesional di tengah status sukarelawan. Aku ataupun kami tak bisa menuntut terlalu banyak terhadap orang-orang yang tidak dibayar ini. Aku seharusnya sudah sangat bersyukur mereka masih mau meluangkan waktu, tenaga dan pikiran mereka untuk kegiatan yang berbasis kerelawanan ini. Percakapan berujung pada sebuah sms kepada petinggi HIMA untuk segera menyelesaikan semua urusan yang masih terkait dengan kegiatan kemarin.
Malam semakin larut, semakin mengerucutkan wacana malam ini. Arkeologi swasta pun meluncur deras dari pikiranku ketika kawan tersebut bertanya trend yang sedang in saat ini di dunia kami. Panjang dan lebar juga kami bercakap malam ini. Tenyata kami satu visi satu misi. Keluarlah sebuah nama, Arupadhatu, sebuah komunitas Arkeologi yang lahir pada 1999 dan telah berbadan hukum. Ini adalah malam penuh anugerah bagiku. Gayung bersambut, aku pun menjemput bola. Awalnya aku berpikir akan sangat sulit sekali untuk dapat membuat sebuah badan Arkeologi swasta karena urusan hukum di awal tentunya akan merogoh kocek yang dalam. Sekarang lahan kosong telah tersedia dan kami tinggal bergerak. Kawanku akan membangun pondasi dari rumah yang kami impikan. Sebuah rumah untuk Arkeologi swasta. Sebuah rumah yang kami impikan bersama. Para calon arkeolog yang ingin membuat perubahan.

Comments

jaimok said…
mantab nu!!

teruskan perjuangan kalian...

maap aku sekarang dah g bisa bantu lagi..

aku merasa emang bukan jalanku untuk berdiri di dunia ke-arkeologian lagi...

aku sekarang lebih menatap sesuatu yang bisa berguna buat diriku nanti..

aku juga pelan2 dah mulai menatap masa depan, dan realistis menghadapi kenyataan...

jadi aku sangat senang mendengar optimisme dari kawan2...

mari kita berjuang, meskipun kita sudah tidak lagi satu jalan...
KWA Wardani said…
SIAP Im. Aku merasa di sini jalanku. Berarti aku harus total disini. Moga kita sukses. Amin..

Popular Posts