Wacana Segelas Wedang Jahe

Ketika seorang calon arkeolog dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang terkadang berbenturan dengan nilai logika. Tunduk patuh pada sistem perkuliahan yang telah dirancang oleh jurusan. Terkurung kaku di dalam ruangan sempit tak menyisakan celah untuk bernafas. Terkungkung pada teori-teori lama yang sangat tradisional. Mengetahui gerakan peduli heritage namun pura-pura buta dan tuli hingga tidak peduli. Tapi dengan itu bisa lulus cepat tanpa hambatan.
Atau duduk pada kursi-kursi di ruang kuliah. Mengikuti perkuliahan dengan menciptakan atmosfer diskusi walau terkadang dan sangat sering menjadi “garing”. Mencoba mendobrak pakem tradisional teori-teori yang usang dan dianggap “nyleneh” karena terlalu berani dan sok tahu. Mengunjungi situs Arkeologi atas inisiatif sendiri. Mengamati fenomena-fenomena dan isu-isu terbaru dari setiap BCB dan situs atau kawasan Arkeologi. Mengikuti diskusi-diskusi lintas ilmu. Mengaktifkan diri pada kegiatan-kegiatan berwawasan pelestarian heritage. Terpaksa mengabsenkan diri dari perkuliahan hingga terkadang tidak bisa mengikuti ujian akhir karena presensi yang tidak mencukupi kuota yang telah ditentukan Fakultas dan Universitas. Akhirnya harus mengulang kuliah yang sama dengan materi-materi yang tak bergeser sesenti pun pada semester berikutnya. Kata lulus cepat pun semakin jauh dari pikiran.
Atau alergi dengan bangku-bangku di dalam ruang sempit. Mendapatkan sentiment tersendiri dari staf pengajar sehingga memilih untuk kuliah di tempat lain. Di ruang yang lebih terbuka. Sekedar hunting foto, traveling atau tidur di kos dan malamnya ngopi sambil diskusi. Merasa diri tahu dan peka terhadap isu-isu heritage namun enggan masuk secara total ke dalam dunianya. Dapat segera hengkang dari jurusan Arkeologi nampaknya hanya sebuah ilusi, mimpi.
Atau gandrung dengan ruangan sempit ajang transfer informasi sistem kolonial. Mengutip pernyataan sebuah iklan, “belum tua belum boleh bicara”. Manusia yang berada di tipe ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Bolak-balik kampus tanpa tahu maksud dan tujuannya. Malas untuk bersosialisasi. Menghabiskan waktu di mall, kos, rental komik dan tempat-tempat yang membikin hati senang. Secara general tahu akan keberadaan tinggalan Arkeologi dan arti heritage namun tetap menutup mata dan telinga. Masih gamang dengan jurusan Arkeologi. Jurusan yang dipilih setelah menanggalkan seragam putih abu-abu. Jurusan yang dipilih entah karena sengaja, tidak sengaja, alasan jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, alasan yang asal-asalan, dan motif-motif perjalanan serta petualangan di balik disiplin ilmu Arkeologi.
Sebenarnya masih banyak atau-atau yang lain yang merupakan tipe-tipe mahasiswa Arkeologi saat ini. Muara dari semua tipe secara garis besar adalah sebuah pertanyaan mendasar: “Akan kemana setelah lulus dari sini?”.
Fenomena yang terjadi pada sebagian besar calon arkeolog saat ini adalah perubahan zaman yang semakin mengkerdilkan pikiran. Dituntut untuk cepat lulus namun dengan pemahaman ilmu yang dangkal. Setiap tahunnya lembaga ilmu pengetahuan Arkeologi mencetak sarjana-sarjana yang didedikasikan untuk mengabdi pada Negara. Pada lembaga-lembaga bentukan pemerintah.
Lalu apa hakekatnya menjadi seorang mahasiswa Arkeologi? Itulah wacana yang terlempar sesaat ketika nongkrong di sebuah angkringan di pinggir Jl. Tentara Pelajar Jogja.
Mahasiswa Arkeologi mempunyai sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi mereka yang telah membayar mahal pada institusi pendidikan tersohor di Indonesia ini. HIMA yang merupakan akronim dari Himpunan Mahasiswa Arkeologi adalah wadah itu. Tempayan yang diharapkan dapat menampung semua keluh kesah anggotanya. Memfasilitasi bakat dan minat warga mahasiswa Arkeologi. Namun kondisi HIMA saat ini sedang kritis, sekarat, dan hampir “lewat”. Pasalnya tak jauh dari minimnya sumber daya yang peduli akan kaderisasi organisasi level mahasiswa ini. Tuntutan pendidikan yang mewajibkan mahasiswa untuk dapat cepat lulus juga salah satu simpton dari sakitnya HIMA sekarang.
Keluhan membanjiri setiap sesi curhat yang diam-diam digelar warga HIMA di belakang mukanya. Rata-rata mereka mengeluh karena HIMA minim kegiatan. Sepi atraksi dan miskin apresiasi. Bahkan untuk taraf diskusi yang memakan biaya kecil pun tak sempat digelar oleh payung mahasiswa Arkeologi ini. Sekarang alasan yang paling kuat untuk itu semua adalah hilangnya tempat atau ruang berkumpul para pengurus harian dan warga HIMA. Ya..mereka telah kehilangan loker yang dibongkar dan tak tahu hendak dipindah kemana. Memang untuk sementara pihak dekanat menyediakan satu ruangan bersama atau sekber untuk mengantisipasi berhentinya putaran roda organisasi mahasiswa.
Sebenarnya apa yang salah dengan wadah ini. Apakah sudah tidak ada lagi orang-orang yang peduli dengan eksistensinya? Masa jaya memang tinggal romantisme belaka. Tak ada lagi ekspedisi, tak ada lagi diskusi. Semua seperti mati suri. Pun bingung hendak mengkritisi dari mana. Karena kita berada bersisian.
Segala upaya untuk tetap bernafas dan bernyawa mungkin telah dioptimalkan. Walaupun hasilnya belum tampak. Tapi percakapan malam ini mengarah pada sebuah kesimpulan tentang sepinya orang-orang yang peduli akan keberlangsungan organisasi yang terbilang paling gaek diantara organisasi mahasiswa lainnya di kampus ini.
Jika begitu keadaannya yang harus dilakukan adalah menyebar virus peduli ke dalam pikiran bahkan jiwa mereka. Bekerja seperti amuba yang selalu membelah diri. Hingga lelah dan akhirnya pun harus mati. Merancang konsep sendiri. Mencari sumber primer dan sekunder untuk sebuah perjalanan. Membuka diskusi di sela-sela percakapan lepas yang tak tentu arah. Membisikkan hasutan untuk peduli. Memasukkan virus peduli ke jaringan otak mereka. Mungkin dengan begitu semuanya dapat berjalan. Tapi sekarang siapa yang akan mencoba? Aku, kamu, dia, kalian, mereka?

Kamar Q, Bantul, Yogyakarta
5 November 2008
11:39 PM

Comments

Popular Posts