Berguru Kepada Warga: Episode Pagi

Malam tadi kami menginap di rumah Pak Maladi, Lurah Desa Borobudur. Pak Maladi adalah profil tuan rumah yang sangat welcome kepada para tamunya. Kami mengawali pagi ini dengan sarapan pagi di cafeteria milik Pak Maladi. Memasok energi untuk berkeliling Candi Borobudur untuk kembali melakukan pemetaan.

Bertolak belakang dengan cuaca di hari sebelumnya, mentari tersenyum lebar pagi ini. Sinarnya mulai menyilaukan mata untuk hari yang masih muda.

Pemetaan hari ini lebih difokuskan untuk mengumpulkan data foto yang masih belum lengkap. Kami tidak membelah diri. Hari ini Mas Joyo, Mas Thomas, dan Mbak Hani bergabung bersama kami.

Bersama-sama kami kembali ke titik awal pemetaan, yaitu ke Candi Borobudur. Merekam sejumlah perilaku pengunjung yang tak pernah malu “menyiksa” candi entah dengan kesadaran penuh atau tidak.

Candi tampak sesak hari ini –hari minggu- oleh para wisatawan yang datang dari seluruh penjuru bumi. Teriknya matahari tak jadi penghalang. Persewaan payung laris manis. Para fotografer sibuk menawarkan jasa pemotretan. Para pengunjung yang membawa kamera digital melenggang masa bodoh. Sedikit orang berhenti di depan papan informasi. Berbanyak orang langsung menyerbu tangga naik ke Candi Borobudur.

Kepala saya langsung dikelilingi bintang-bintang kecil menyaksikan pemandangan di area zona 1. Saya belum lagi naik ke atas. Arus naik dan turun pengunjung campur aduk. Bukti dari malasnya manusia Indonesia untuk membaca. Membaca sebuah peraturan. Kemudian memahaminya dan mengikutinya. Bukan hanya mengikuti trend an insting semata.

Manusia-manusia berjejal-jejalan di jalur naik ke atas candi. Mereka tak ingin kenal tata cara naik ke Candi Borobudur. Esensi yang telah lama hilang. Mereka lebih senang menihilkan kesakralan pradaksina –mengkanankan candi-. Berebut untuk naik ke atas lebih dahulu. Seakan ada undian berhadiah milyaran rupiah di atas sana. Salah satu bukti betapa manusia Indonesia mencintai segala sesuatu yang berbau instant.

Pengunjung yang turun lewat jalur naik bagi saya terlihat menyedihkan. Seperti tidak mempunyai pandangan hidup dan selalu mengekor orang lain.

Sesampainya di atas candi, di lingkaran rupadhatu dan arupadhatu pemandangan menggelikan kembali memancing mata saya. Beberapa orang tampak memasukkan tangan mereka sedalam mungkin dan berusaha merogoh “sesuatu” di dalam stupa tersebut. Orang-orang bilang itu –arca di dalam stupa- adalah Punto Bimo. Arca penuh daya magis. Konon, apabila berhasil menyentuh “sesuatu” dari arca tersebut niscaya semua keinginan akan terwujud. Siapa yang memunculkan mitos tersebut juga masih tanda tanya dalam pikiran saya.

Lagi-lagi entah dengan kesadaran penuh atau tidak, para pengunjung tanpa malu memanjat dinding stupa. Tanpa sempat berkaca seruncing apa hak sepatu/sandal yang mereka gunakan. Tanpa sempat berpikir berapa banyak kadar garama yang mereka tinggalkan lewat keringat yang menempel di “sesuatu” pada Punto Bimo. Hampir semua usia mempraktekkan paradoks ini pada arca “yang patut dikasihani” di Candi Borobudur. Mungkin sekali bila sang arca pun selalu berkeringat karena geli “sesuatu” nya selalu dipegang-pegang oleh pengunjung yang terkadang terlalu ambisius. Sang arca hanya bisa meratap kenapa cobaan itu jatuh kepada dirinya.

Di lingkar arupadhatu, beberapa pengunjung masih gagap membaca. Peringatan untuk tidak memanjat stupa hanya menjadi hiasan di mata mereka. Entah agar tampak keren atau agar diakui pernah ke Borobudur, para pengunjung yang gagap aksara tersebut memanjat stupa dan berpose di atasnya. Hal tersebut terjadi setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik.

Comments

Anonymous said…
ah.. kenapa kamu g pernah post tulisan-tulisan kamu ke milis Green Map? Publikasikan lebih jauh tulisan-tulisan kamu agar bisa menjadi bahan diskusi lebih dalam; biar ngga dibikin sendiri n dibaca sendiri hee.. ^^

ayo menulis :p

Popular Posts