Berguru Kepada Warga: Episode siang

Matahari semakin menunjukkan legalitasnya sebagai penguasa siang. Kami tardampar di sebuah tempat peristirahatan di dekat loket wahana kereta keliling. Dengan Bu Is, pedagang nasi rames yang selalu mengundang tawa saya.

Bu Is sudah berjualan di bawah atap tempat peristirahatan pengunjung –yang tampak seperti halte bis- ini selama lebih kurang 2 tahun. “Ya sebenarnya saya tahu kalau di area ini dilarang berjualan, tapi ya tetep aja saya mau jualan di sini”, kata Bu Is dengan lugunya ketika saya tanyakan apakah di area ini dilarang berjualan atau tidak. Sontak saya langsung tertawa, teringat acara John Pantau. Hak…hak… hak….

Langganan tetap Bu Is adalah para fotografer dan pedagang asongan yang beroperasi di dalam Taman Wisata Candi Borobudur. Bu Is sebenarnya mempunyai warung di dalam pasar “ular”. Tapi warung tersebut dibuka jika ada orang yang menunggu saja. Jika tidak ada yang menunggu, Bu Is lebih memilih berjualan di “halte” ini. “Disini lebih untung mbak. Ramai pembelinya ketimbang di dalam”, tutur Bu Is yang merupakan satu-satunya pedagang makanan “berat” di area loket wahana kereta ini.

Selama berjualan Bu Is tidak pernah ditarik uang sewa. Satu hal yang membuatnya betah berjualan disini. Biasanya Bu Is menggelar dagangannya mulai pukul 11.00 siang dan akan kembali ke rumah begitu dagangannya terjual habis.

Di sela-sela percakapan dengan Bu Is, seorang fotografer –langganan Bu Is- memulai perbincangan ringan. Sebagian besar adalah curhat. Sang fotografer berkelana di kawasan Candi Borobudur sejak 1979. Menjual jasa pemotretan kepada pengunjung. Si bapak mengaku pendapatannya berkurang ketimbang dahulu. Sebab musababnya adalah kemajuan teknologi. Orang-orang sudah memiliki kamera digital dan kamera hp sendiri. Mereka tak butuh lagi jasa fotografer untuk mengabadikan momen kunjungan ke Borobudur.

Saat ini si Bapak sudah mengganti kamera analognya dengan kamera digital lewat bantuan KOPARI Borobudur. Sistem kerjanya pun semakin efisien dengan turut melibatkan sang istri sebagai pencetak foto. Sistem ini sudah dianut sejak 3 tahun yang lalu. “Lebih praktis. Saya tidak harus menunggu foto dicetak. Dengan begitu saya hanya menyetorkan gambar ke istri dan kembali lagi ke candi untuk mencari konsumen”, tuturnya.

Siang ini kami lengkapi dengan menyaksikan pertunjukan Jathilan. Tidak banyak yang saya ketahui tentang hal ini. Para penari dengan make up seperti topeng menarikan tarian dengan iringan musik tradisional. Pertunjukan ini tak banyak menyedot perhatian pengunjung yang lebih memilih untuk langsung naik ke candi.

Di loket masuk, pengkerdilan bangsa sendiri terlihat jelas. Saya tak hendak membahasnya terlalu jauh di sini. Lebih menyenangkan membicarakan sampah yang mengkoloni di area parkir. Sampah-sampah tersebut kebanyakan adalah sampah dari bis pariwisata. Dibuang dengan kenyamanan hati tanpa rasa bersalah. Menganggap lahan parkir adalah berfungsi ganda yaitu sebagai tempat sampah juga. Di selokan sampah dari steroform berjejalan berebut tempat.

Comments

Popular Posts