Cinta Lama Bersemi Kembali

“Muarajambi masih seperti dulu. Sama seperti dua tahun yang lalu ketika kujejakkan kaki setelah bertahun-tahun tak pernah hinggap di sini. Momen perjalanan itu kudapatkan dari seorang teman yang berbaik hati mengajakku menjadi LO sebuah acara Temu Sastrawan Indonesia I di Jambi 7-11 Juli yang lalu. Salah satu agenda dari para sastrawan adalah kunjungan ke situs Muarajambi pada 10 Juli 2008”.


Kami berangkat dari Grand Hotel menuju Ancol untuk kemudian naik ketek menuju kawasan Candi Muarajambi. Perjalanan ditempuh kurang lebih dalam waktu satu jam. Ketek yang kami tumpangi tak ubahnya seperti ketek VIP karena hanya dinaiki oleh beberapa orang saja termasuk pak sopir. Perjalanan ini membangkitkan kembali memori masa lalu. Memori dua tahun yang lalu ketika hampir sebagian besar wilayah Jambi terkena kabut asap. Saat itu jarak pandang tak lebih dari lima meter saja. Mataku saat itu tak mampu menembus relief tebing-tebing Sungai Batanghari. Keadaan 180 derajad berbeda saat ini. Cuaca hari ini tergolong cerah berawan mendekati panas menyengat. Gaya khas di dalam ketek yang tak pernah bisa aku lupakan. Hempasan-hempasan lembut dari riak-riak yang kami lewati pun mampu menyeret memori ke masa lima atau enam tahun yang lalu ketika aku masih menjadi anak ingusan yang sok ingin menaklukkan sebuah pulau bernama Berhala. Kini, relief di tebing Batanghari pun dapat puas aku nikmati. Aku pandangi sampai ke pedalamannya. Sesekali kurekam lewat digital pocket yang selalu kubawa kemana pun aku pergi.

Batanghari tampak lebih surut saat ini. Mungkin karena pengaruh cuaca. Karenanya pula diisukan pasokan bahan bakar dari Palembang terganggu pendaratannya akibat turunnya muka air sungai. Apapun itu, Batanghari tetap menarik hati. Menyihir tiap anak manusia yang angkuh menari di atas tubuhnya.

Di beberapa bagian tertentu, masih di kanan kiri sepanjang tubuh Batanghari, terlihat kepulan asap pertanda Jambi turut menyumbang sebagian kecil gas rumah kaca dunia. Dengan polos aku mengira bahwa itu adalah pabrik makanan yang aku taksir adalah pabrik dodol nanas atau sejenisnya. Aku salah besar. Disanalah berputar uang dalam hitungan tustus juta per harinya. Di tabung-tabung dengan sembulan asap yang kian kencang tersebut kelapa sawit diolah dan diekstrak menjadi minyak kelapa sawit. Wangi sekali uang yang satu ini, berbeda dengan tumpukan karet yang masih juga sliweran di tengah kota.

Kami terus melaju dalam kebisuan masing-masing. Dengan pikiran yang bergulat menentang atau mempertanyakan ide-ide yang baru menetas. Ketek yang kami tumpangi pun –walau kecil- menghasilkan riak yang cukup ‘menggoyang’ sampan-sampan kecil di kanan kirinya. Di sampan-sampan itu seorang wanita dengan dayungnya tetap setia pada Batanghari demi menyambung hidup hari ini. Pemandangan lain yang kujumpai adalah penambangan pasir di tengah dan pinggir Batanghari. Terheran-heran aku melihatnya. Kemungkinan baru sekali juga aku melihat sebuah perahu –ketek mungkin- diparkir di tengah atau pinggir sungai. Dicangkokkan sebuah mesin penghisap dan pemilah pasir di tubuhnya untuk kemudian diangkut hasilnya ke daratan. Aku kira mereka menambang emas. Tapi informasi yang pasti belum kudapatkan hingga tulisan ini aku buat.

Selebihnya, Batanghari tetap diam. Kemudian hanya suara ketek saja yang menemani sepi pikiran kami setelah fenomena-fenomena unik tak lagi kami lihat. Nun jauh di sana, sebuah dermaga kecil telah siap menyambut kami. Dermaga Muarajambi, masih sama ketika dua tahun yang lalu kujejakkan kaki di sini.

Nyaris tak ada yang berubah menurutku. Sedikit heran dengan banyaknya wacana yang beredar bahwa Muarajambi dipoles terus tiap tahunnya. Didatangkan ahli kecantikan terbaik untuk menggarapnya. Mungkin ada benarnya, dan salahlah asumsi yang telah aku bangun hingga detik ini. Aku pun belum menggerayangi Muarajambi lebih jauh. Belum mengambil sudut visual menggunakan lensa makro dari Muarajambi.

Lapangan parkir masih sama seperti dulu dengan arela konblok yang tak berubah, masih hancur. Membuat diri bertanya-tanya mengapa orang Indonesia begitu menyukai konblok dan tak tahu harus menggunakannya di tempat yang seperti apa. Warung-warung tempat menjual cenderamata masih sepi sendiri. Mungkin umurnya tinggal menunggu hari saja. Bangunan berdinding papan tersebut masih diam dalam gemboknya.

Dari kejauhan telah tampak Gumpung dalam diamnya. Entah senang, entah marah, entah tertawa, entah geram, entah sedih, dan entah entah yang lain. Semakin dekat, kurasakan ada beberapa bangunan tambahan yang dulu mungkin sudah ada namun luput dari penglihatanku. Sebuah toilet dan mushola berdiri di seberang pos jaga. Aku tak mau lagi memusingkan ini masuk ke dalam zona berapa karena akan percuma memusingkan hal tersebut. Mendekati gedung koleksi, ingatanku mandek. Tak dapat menarik lebih dari dua tahun yang lalu. Aku memang pernah berkunjung ke gedung koleksi ini sewaktu SD dulu. Tapi apa-apa saja yang tersimpan di dalamnya atau bagaimana bentuk display dari koleksi-koleksi sudah pasti aku tak bisa mengingatnya.

Suasana tampak sangat meriah di luar gedung koleksi. Rupa-rupanya selain kunjungan para sastrawan, di Muarajambi sedang dilangsungkan festival band yang mungkin juga termasuk ke dalam rangkaian Festival Candi Muarajambi. Akh…..makin tenar saja Muarajambi. Kulihat lapak-lapak non permanen didirikan di dekat Kolam Telago Rajo. Tidak terlalu dekat memang, namun kemunculannya sedikit memeberi kontraksi di pedalaman hatiku. Miris namun bingung harus menyikapinya. Ada bangunan baru yang kujumpai di sini. Sebuah bangunan panggung dengan arsitektur tradisional Jambi –kemungkinan besar-. Mobil-mobil pun telah parkir dengan sangat tenang karena dinaungi oleh rimbun pepohonan. Di dekat panggung hiburan tempat festival band diadakan ada semacam mini museum tampaknya. Namun aku tidak begitu tertarik untuk mengetahui lebih lanjut.

Secara kebetulan, Pak Wahyu dan Pak Tan, dua orang sastrawan yang aku pandu lebih memilih berjalan-jalan di candi ketimbang mengikuti acara di panggung utama. Kurasakan benar dengan hati tiap langkah yang kujejakkan di halaman Candi Gumpung. Selain langit yang lumayan biru, tak ada lagi perubahan berarti dari bangunan dan lingkungan Candi Gumpung. Ekskavasi terhadap sebagian pagar keliling masih menyisakan bentuk yang sama dengan dua tahun yang lalu.

Kemudian aku arahkan mereka untuk bertandang ke Candi Tinggi. Tampak beberapa bocah sedang berada di atas Candi Tinggi. Bercengkerama dan bercanda dalam dunia mereka sendiri. Mereka terpaksa turun dengna sedikit usiran halus dari Pak Wahyu yang memang ingin memfoto Candi Tinggi bersih tanpa objek pendukung. Dari atas sini, pemandangan pedagang kaki lima yang memenuhi areal candi semakin memperkeruh pikiran tentang Muarajambi.

Setiap kali pikiran itu datang aku harus segera mengantisipasinya dengan pemikiran bahwa aku hanyalah ‘bocah’ di antara ratusan bahkan ribuan ganesha yang telah khatam segala hal dan perihal tentang Muarajambi. Asumsi-asumsi yang mengalir deras dari kepalaku aku anggap hanyalah argumen tanpa dasar ilmiah yang kuat. Terkesan sembrono dan ngawur. Apa yang aku lihat saat ini, hanyalah sebagian kecil kasus yang akan aku hadapi esok hari. Mungkin penataan kawasan Muarajambi sudah sangat bagus dan terencana dengan sangat apik. Pedagang-pedagang dengan tenda-tendanya, mobil-mobil yang terparkir dengan nyaman, pangung-panggung hiburan, promosi gencar tingkat internasional, penunjukkan secara tidak langsung Candi Muarajambi sebagai salah satu daerah yang harus dikunjungi setiap ada acara besar ataupun hanya kunjungan biasa, dan masih banyak hal baru yang belum aku ketahui lagi. Kesemuanya merupakan gerak yang sinergis antara pemerintah, pihak akademisi, dan masyarakat setempat di dalam mengembangkan kawasan Candi Muarajambi sebagai objek dan daya tarik wisata sekaligus sebagai suatu peninggalan sejarah yang sangat berharga. Betapapun teori-teori brilian yang telah lahir dari ide-ide sang kreator, namun dalam pandanganku Muarajambi tetaplah Angkhor Wattnya Indonesia. Semoga polesan itu tidak terlalu berlebihan seperti yang dilakukan kebanyakan wanita Indonesia saat ini. Semoga pemoles atau perias Muarajambi merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga tidak salah dalam menuliskan resep untuk pemolesannya. Yang terakhir, semoga tulisan ini dapat dikembangkan lagi sembari menunggu survey minggu depan. Semangat!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Viva arkeologi Indonesia…..


-diboyong dari blog lama, 10 Juli 2008, tak sempat memberi warna-

Comments

Popular Posts