Memoir Onrust, Cipir, dan Kelor –dikotomi wilayah pengetahuan arkeologi-

23 Agustus 2008

Akhirnya saya ke Onrust juga. Secara harafiah berdasarkan rumpun kata Belanda Onrust berarti ‘tanpa istirahat’. Saya beruntung karena mendapatkan pemandu gratis untuk dapat menjelajahi Pulau Onrust. Teman-teman Arkeologi UI berbaik hati untuk mengantar saya ke pulau yang sudah lama ingin saya kunjungi itu. Kami bertolak dari kota tua, tepatnya di titik Museum Sejarah Jakarta. Dengan kendaraan umum kami menuju Muara Kamal, pelabuhan kecil tempat kapal-kapal yang akan mengantar kami ke Onrust bersandar. Yoki, salah seorang rekan yang memimpin jelajah Onrust hari ini langsung menuju kediaman sang pemilik kapal. Sementara itu, teman-teman yang lain membeli bekal makan siang hari –jaga-jaga karena biasanya makanan di Onrust harganya bisa berkali-kali lipa dari harga pasaran-. Setelah urusan lobi melobi kapal selesai, maka pelayaran ke Pulau Onrust pun dimulai.

Air laut masih tampak pekat. Tidak terbayang warnanya akan menjadi seperti apa lima atau sepuluh tahun mendatang. Semakin jauh meninggalkan Muara Kamal, yang terlihat kini hanyalah hamparan laut luas. Banyak juga dijumpai semacam tempat peternakan kerang, saya tidak dapat mendeskripsikan bentuknya, tapi kira-kira seperti tempat mendulang pasir di Sungai Batanghari namun tanpa kapal. Suara mesin kapal yang menderu-deru menyebabkan tidak banyak percakapan diantara penumpang. Semuanya tampak hanyut dalam lamunan masing-masing. Lambat laun muncul beberapa buah pulau di hadapan kami. Salah satu dari pulau-pulau itu adalah Onrust, si pulau ‘tanpa istirahat’. Kapal semakin merapat ke dermaga Onrust. Menurut Yoki, warna air laut di sekitar Onrust tidak sejernih dahulu. Dahulu kita masih dapat melihat karang-karang di balik riak air pulau Onrust. Sekarang yang ada hanyalah warna hijau yang mulai pekat dan menjurus ke warna coklat. Banyak juga dijumpai sampah-sampah anorganik yang nyangkut di tiang-tiang dermaga.

Bermodal background Arkeologi dan Yoki, kami masuk tanpa membayar apapun. Onrust belum begitu ramai saat kami tiba. Hanya ada beberapa keluarga yang tengah asyik diantara debur ombak Onrust yang lembut. Pemandangan lain adalah para pemancing yang berkonsentrasi dengan sasaran mereka. Kelak kami ketahui bahwa ukuran ikan yang mereka dapat pun sudah tidak sespektakuler beberapa tahun belakangan. Apakah ini salah satu dampak global warming?? Lho…..

Kesan pertama yang hinggap di pikiran saya adalah ‘kok Onrust cuman begini aja ya??’. He..he..he.. maklum saja. Semula saya berpikir akan menemukan benteng dan bangunan-bangunan penunjang lainnya di Onrust. Namun, kemudian saya ketahui bahwa bangunan-bangunan di Pulau Onrust mengalami beberapa tahap pembangunan. Bangunan Belanda yang masih asli dihancurkan kemudian dibangun bangunan baru dengan fungsi yang berbeda. Kebanyakan yang dapat dijumpai adalah reruntuhan bangunan. Oh, ya..di sini banyak sekali closet dan septick tank jaman dulu lho. Hampir dijumpai di setiap sisi sepertinya.

Jalur-jalur yang menghubungkan antara area di dalam Pulau Onrust sebagian besar telah dikonblok. Hal yang sangat saya sayangkan. Kenapa bangsa ini terlalu tergila-gila dengan benda bernama konblok, hingga semua tanah yang ada di semua tempat harus dikonblok. Hanya sekedar mengkritisi saja sebenarnya, karena saya termasuk orang yang tidak begitu menyukai konblok yang dipasang di situs-situs Arkeologis. Beberapa bangunan yang masih berdiri walaupun tanpa menggunakan atap sebagian besar merupakan bekas barak bagi para jamaah haji Indonesia jaman juadul ketika ingin menyempurnakan rukun Islam.

Walaupun tidak banyak bangunan utuh yang dapat dijumpai di Onrust, namun di dalam sejarah Onrust memainkan peranan yang sangat penting. Setelah saya membaca sekilas mengenai Pulau Onrust dalam “Kasino Bernama Kepulauan Seribu” karya Alwi Shahab, barulah saya mengerti bahwa dari pulau inilah Belanda menancapkan kuku-kuku kolonialisme di Indonesia hingga tiga setengah abad lamanya. Rupanya pulau yang brejarak 14 km dari pantai Jakarta ini dijadikan tempat konsentrasi armada perang Belanda sebelum merebut Jayakarta pada Mei 1619.

Pada abad 17-18 pulau ini sangat sibuk disinggahi kapal-kapal VOC. Oleh karena itu penduduk setempat menyebut Onrust dengan sebutan Pulau Kapal. Pulau ini juga digunakan sebagai tempat perbaikan dan pembuatan kapal sehingga kesibukan sudah menjadi pemandangan tetap di pulau ini. Pulau dengan luas 7, 5 Ha –semula seluas 12 Ha, namun berkurang karena abrasi- ini juga sempat ditempati oleh Inggris pada saat melakukan blokade terhadap Batavia pada 1800. Karena berfungsi sebagai tempat galangan kapal , Onrust pernah mendapat pujian dari penemu benua Australia, Kapten James Cook. Pujian itu meluncur setelah kapalnya, Endevour, mengalami rusak berat dan diperbaiki di Pulau Onrust dengan hasil yang sangat memuaskan.

Penjelajahan pulau Onrust belum lagi setengahnya. Yoki mengarahkan kami ke sebuah titik dimana beberapa tahun yang lalu sempat diadakan penggalian arkeologis di tempat itu. Ketika melihatnya saya piker itu hanya selokan air dengna ukuran besar biasa. Namun ternyata bangunan yang berbentuk seperti gorong-gorong itu adalah terowongan bawah tanah. Saat ini terowongan itu telah terisi oleh air, makanya saya kira itu adalah gorong-gorong air biasa.

Selanjutnya adalah pemakaman Belanda di Pulau Onrust. Terdapat beberapa makam di sana. Setidaknya ada empat atau lima makam yang masih mempunyai nisan yang dapat terbaca. Saya memang tidak mengambil gambar di makam ini karena alasan yang juga tidak saya mengerti. Dari pemakaman ini, cerita mengarah kepada sisi-sisi menakutkan Pulau Onrust. Saat masa pemerintahan colonial, Onrust dijadikan tempat tahanan para nasionalis yang bermasalah dengan pemerintah. Tawanan pemberontak ‘Peristiwa Kapal Tujuh’ (Zeven Provincien) juga ditahan di sini menjelang perang dunia kedua. Sebanyak 23 awak kapal dimakamkan di sini. Pada 1940, orang-orang Jerman yang dituduh terlibat dalam gerakan Nazi pro Hitler juga menginap di hotel prodeo Onrust.

Para pelaku kelas kakap akan dimukimkan di Onrust pada masa pendudukan Jepang. Tradisi menempatkan para kriminal dan penjahat kelas kakap di Onrust terus berlanjut hingga masa pemerintahan Soekarno. HJ Princen dengan Liga Demokrasinya yang menentang Bung Karno pernah ikut diasingkan di sini. Tidak luput para gelandangan dan pengemis juga ditempatkan di pulau ini. Para pasien penyakit menular pun pernah menghuni pulau ini masa lampau

Banyaknya barak-barak untuk penampungan haji yang saya jumpai di pulau ini memang mengarahkan saya pada sejarah Onrust yang pernah dijadikan sebagai tempat karantina haji pada 1911 sampai 1933. Konon, peraturan untuk jamaat haji pada saat itu sangat ketat. Sepulangnya dari tanah suci mereka harus menjalani tes kesehatan yang sangat panjang. Menurut saya wajar karena perjalanan ke tanah suci tidak ditempuh menggunakan pesawat terbang namun menggunakan kapal. Sehingga kemungkinan untuk terkena virus atau penyakit menular dalam perjalanan sangat tinggi.

Saya sempat terkejut melihat sebuah bangunan kecil –lebih tepat dikatakan sebagai pondok yang permanen- dengan sebuah makam di dalamnya. Papan penunjuk pondok tersebut adalah makam keramat. Entah kenapa, hari saya enggan memotret apapun yang berhubungan dengan makam. Sekarang di Pulau Onrust terdapat beberapa rumah penduduk. Mereka umumnya adalah pedagang yang berjualan di dekat gerbang masuk Onrust.

Perasaan mengantuk mulai menyerang saya. Saya memang mempunyai sindrome kantuk berat kalau sudah beruurusan dengan pantai. Rata-rata orang pergi ke pantai untuk berenang dan bermain dengan air laut. Tidak begitu dengan saya. Begitu angin pantai menyeka wajah saya, matras langsung saya buka dan saya akan terlelap di atasnya. Hue….hue…hue….

Titik terakhir perjalanan di Onrust adalah berkunjung ke museum Pulau Onrust. Di museum ini tersimpan koleksi benda-benda temuan lepas dan hasil penggalian arkeologis di Pulau Onrust. Keramik asing mendominasi temuan. Museum ini menempati bangunan lama. Walaupun tidak terlalu besar namun cukup lumayan untuk menyimpan semua koleksi yang ada. Seorang teman sibuk mengamati foto-foto lama yang dipajang di dinding kelabu musem Onrust. Menurut cerita keluarga, kakeknya ada di salah satu foto tersebut. Foto tersebut diambil saat kakeknya menunaikan ibadah haji tempo dulu.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke Pulau Cipir atau Pulau Khayangan. Tampak beberapa perahu bersandar di dermaga Cipir, cukup banyak saya piker. Sesekali badan mereka berbenturan pelan satu sama lain karena riak gelombang laut sore hari. Pulau ini memiliki luas jauh lebih kecil dibandingkan Onrust. Masih dapat dijumpai runtuhan bangunan bekas rumah sakit. Runtuhan rumah-rumah dokter dan beberapa bangunan yang tidak begitu saya pahami fungsi sebelumnya. Pulau berpasir putih ini saat masa karantina haji merupakan tempat pengecekan kesehatan para jemaah haji yang beru tiba dari tanah suci. Wajar saja jika terdapat rumah sakit dan banyak rumah dokter di pulau ini.

Kami tidak berlama-lama di Pulau Cipir mengingat harus mengejar kereta untuk dapat sampai ke rumah lagi. Beranjak dari Cipir, kapal yang membawa kami mengantarkan kami sebentar untuk melihat Pulau Kelor dari jauh. Kami tidak dapat menginjakkan kaki di Pulau Kelor karena kapal tidak dapat bersandar di tepinya. Terdapat sebuah benteng di pulau ini. Saya yakin, tidak berapa lama lagi benteng tersebut akan hancur terkena abrasi. Apakah ada kaitannya juga dengan global warming??? Lho..lho..lho…Saya hanya berhasil mengabadikan benteng yang menurut saya lumayan bagus di pulau ini. Kapal pun berputar arah dan kembali menuju Muara Kamal.

Sepanjang perjalanan pulang, saya melihat pasar ikan Muara Kamal ramai dikunjungi pembeli. Sotong, kerang hijau, kerang biasa, dan berbagai macam ikan seperti dilelang di pasar ini. Teman-teman saya pun membeli kerang hijau untuk mereka olah sesampainya di rumah. Sekaleng kerang hijau dijual dengan harga Rp 2.500,00. Saya tidak terlalu mengerti soal harga. Bagi saya harga segitu sudah sangat murah. Hue..hue..hue..

Saya pulang dengan perasaan aneh. Hampir empat tahun saya mengenyam pendidikan Arkeologi. Namun, baru sekarang saya dapat menceritakan Pulau Onrust dan sekitarnya. Menengar namanya pun baru dua tahun kemarin. Aneh, karena arus informasi berjalan dengan sangat lambat. Perasaan yang sama ketika saya bercerita tentang Muarajambi yang lebih sering disebut sebagai Muaratakus oleh teman-teman saya. Apakah teman-teman di universitas lain juga merasakan hal yang sama ketika mendengar kawasan karst Gunungsewu, dataran tinggi Dieng, keraton Yogyakarta, Kota Gede, candi-candi seputar Yogyakarta dan Jawa Tengah? Onrust masih berada di kawasan Pulau Jawa, namun saya baru mengenalnya sekarang. Sebuah kejadian yang sulit saya ungkapkan. Betapa dikotomi pengetahuan di dalam arkeologi sangat memandang bentangan geografis sebagai pemisahnya. Mungkin hal tersebut juga bagian dari resiko tinggal di negara dengan banyak kepulauan walaupun saya tidak pernah menyesal untuk itu. Hue…hue..hue..Sesaat kemudian kami harus bergerak cepat menuju stasiun Beos. Tiket langsung ke Jatinegara ludes, sehingga kami harus ikut kereta Depok dan turun di Tebet.

-potongan kecil yang hampir terlupakan, tentang Onrust dan teman teman-

Comments

Popular Posts