Negosiasi dengan Sang Hujan; Para Ksatria Pemeta Budaya

Sabtu, 24 Januari 2009, Tim Peta Hijau Mandala Borobudur kembali melakukan pemetaan. Kali ini tim memetakan kawasan zona 2 –versi JICA- Taman Wisata Candi Borobudur. Tim sampai di Borobudur menjelang tengah hari. Sebabnya tak lain adalah ketakberdayaan manusia untuk bernegosiasi dengan cuaca. Rencana berangkat pukul 07.00 WIB pun terbungkus rapi sebagai rencana karena hujan yang mengguyur Yogya sedari pagi. Namun semua itu tak menyurutkan semangat tim untuk tetap berangkat ke Borobudur.

Hujan pula yang membuat matahari bersinar malu-malu di langit Borobudur siang ini. Walaupun teriknya masih menyengat, kumpulan mendung sedikit banyak membantu menghalau sinar Sang Surya. tak dibutuhkan waktu lama untuk mengurus perizinan masuk ke Borobudur. Dalam hitungan menit –tanpa jeda istirahat selain obrolan sembari memarkir motor- tim langsung membelah diri menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Vincen, Ashar dan saya. Kelompok kedua terdiri dari Damai, Karin, Avi dan Marul.

Kelompok saya mendapat jatah untuk menyisir daerah utara. Tak berapa lama berjalan suara mobil mini dari petugas pemotong rumput melintas di samping kami. Senyum ramah dari petugas tersebut bagi saya adalah cermin ketulusan hati dalam menjaga konsistensi tingkat pertumbuhan rumput di kawasan Taman Wisata Candi Borobudur.

Melewati kandang gajah yang telah diplot pada survey sebelumnya, kami menuju rombongan pedagang legen –salah satu minuman khas Borobudur-. Pilihan kami jatuh pada Pak Hardi, pedagang legen asal Dusun Gendingan, Desa Borobudur. Legen dengan es batu pun mengalir membasahi lorong-lorong kerongkongan saya. Segar. Dengan sedikit pendekatan –membeli legen- kami pun bercakap-cakap seputar legen dengan Pak Hardi.

Usaha legen ini sudah digeluti Pak Hardi sejak 1990an. Bahan untuk legen sendiri diperoleh dari pohon kelapa yang tumbuh subur di dalam kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. PT Taman mewajibkan para pengambil “sari bunga kelapa” tersebut untuk membayar Rp 50,- per batang per hari sebagai bentuk “sewa”. Menurut keterangan Pak Hardi, sebelum 1998 pembayaran “sewa” menggunakan gula Jawa –hasil olahan- satu tangkup. Secara ekonomi akan lebih mahal. Namun, sejak 1998 hingga sekarang sistem pembayaran diperingan dengan menggunakan sejumlah nominal uang.

Pak Hardi hanya bertugas memasarkan legen. “Kalau yang mengambil sari bunga kelapa itu Pakde saya. Beliau mengambil sari bunga kelapa sebanyak 18 pohon kelapa dari ratusan pohon yang ada di sini”, ujar Pak Hardi yang mengaku tak pernah merugi selama berjualan legen di Borobudur.

Pak Hardi yang pada hari-hari biasa mengkal di seberang galeri unik dan seni ini hanyalah sebuah potret dari ratusan warga yang mencari nafkah di megahnya Candi Borobudur. Dia terbilang mempunyai kesadaran dan jarang “nakal” dengan berjualan di tempat yang masih bisa ditolerir untuk berjualan. Kebanyakan pedagang menerobos ke jalur yang dilarang demi sesuap nasi. Mengganggu kenyamanan wisatawan tanpa mereka sadari. Sebuah pekerjaan rumah untuk setiap jajaran staf PT Taman Wisata Candi Borobudur yang harus segera diselesaikan.

Tak jauh dari tempat Pak Hardi berjualan terdapat Museum Samudera Raksa. Satu-satunya museum yang ada di Kawasan Taman Wisata Candi Borobudur yang sangat nyaman. Akan merugi bila tidak mengunjungi museum ini sementara kaki telah dijejakkan di ausnya batu-batu candi.

Museum Samudera Raksa adalah museum yang merekam kejayaan dunia pelayaran bangsa Indonesia. Bukti-bukti bahwa bangsa ini pernah berada di atas angina dalam hal pelayaran disajikan lewat display-display yang sangat apik. Mulai dari bukti-bukti relief yang ada di Candi Borobudur, napak tilas morfologi kapal di Indonesia, temuan dari kapal yang tenggelam, penjelasan tentang komoditi perdagangan, data-data etnografi, serta master piece berupa replica kapal Samudera Raksa dipamerkan di museum ini.

Museum ini adalah salah satu museum bagus yang pernah saya kunjungi. Terang, bersih, terkonsep dan membuat betah dengan arsitektur yang menciptakan semilir angina di dalam ruangan.

Sangat kontras dengan Samudera Raksa, Museum Karmawibhangga memacu langkah saya untuk segera keluar dari tempat ini. Tidak bermaksud untuk mendiskreditkan, tetapi itulah kenyataan di lapangan. Suasana suram di tiap ruang pamer membuat tidak betah. Padahal koleksi yang dipamerkan cukup berarti. Pembenahan tata pamer dan pematangan konsep museum mungkin bisa menahan saya dan beberapa pengunjung yang berpikiran sama untuk tetap tinggal lebih lama di museum ini.

Keluar dari museum, pemandangan yang tak sedap segera menyambut kami. Para pedagang hilir mudik menawarkan barang dagangan. Sebenarnya kami ingin mewawancarai salah seorang dari mereka. Namun waktunya akan kurang pas saat ini. Kegiatan wawancara bisa-bisa menutup keran rejeki mereka.

Berbicara soal keran, ada sebuah kumpulan keran yang diletakkan tidak jauh dari museum Samudera Raksa, masih di jalur keluar pengunjung. Saya sempat bertanya kepada petugas keamanan apakah keran tersebut dapat langsung diminum airnya. Tersugesti dengan keran-keran di luar negeri. Ternyata tidak bisa langsung diminum. Dan setelah saya datangi pun memang benar-benar tidak dapat diminum karena tidak setetes pun air keluar dari keran tersebut.

Hujan yang menjadi awal perjalanan kami hari ini juga menjadi penutup. Sebuah pengalaman pemetaan yang berkesan bagi saya setelah lama sekali absent dari dunia tersebut.

Comments

Popular Posts