Cerita di Benteng Kalimo'ok
Perjalanan dari Bangkalan dilanjutkan ke ujung timur Pulau Madura, Sumenep. Dari pertigaan Juno, lewat becak seharga 3000/kepala kami menunggu bis AKAS tujuan Sumenep. Sampai saat ini masih belum tergambar bumi seperti apakah Sumenep itu dalam pikiran saya. Sepanjang perjalanan beberapa titik banjir sempat kami lewati. Perjalanan ini juga ditemani hujan sesekali, terutama ketika semakin mendekati Sumenep.
Seperti orang asing, kami tiba di Terminal Sumenep. Dan seperti kejadian-kejadian sebelumnya kami juga diserbu tukang ojek, tukang oplet, sopir taksi yang menawarkan jasa dan siap mengantarkan kami kemanapun kami mau. Tapi sore ini terminal Sumenep tampak sepi –atau memang seperti inilah setiap harinya-. Seorang sopir angkutan umum tetap getol mengikuti kami dan menawarkan jasa angkutannya kepada kami. Jujur kami memang buta arah di sini. Hanya tahu tujuan kami adalah benteng Kalimo’ok.
Nego harga pun cukup alot. Dan kami pun terpaksa harus mengalah kepada sang sopir. Perjalanan menuju Kalimo’ok sore ini senyap. Mungkin masih terbawa capek perjalanan dari Bangkalan tadi . Di beberapa tempat, kami saksikan banjir setinggi mata kaki orang dewasa. Rupanya saat ini benar-benar musim hujan.
Di sepanjang perjalanan banyak sekali bangunan hunian bergaya indis. Terbentang hampir 1 kilometer sebelum sampai ke benteng Kalimo’ok. Mereka mungkin bekas hunian pegawai pabrik garam masa kolonial dulu. Ada yang tipe rumah pegawai rendahan dan juga ada tipe rumah pegawai elit atas. Bahkan ada beberapa gudang yang sudah tidak difungsikan lagi. Ide bagus untuk diangkat menjadi topik skripsi bagi yang berminat. Ho..ho..ho..
Jalan yang berlubang-lubang kami lalui dengan angkutan yang sangat jadul. Berjalan lambat seperti Gery, kucingnya Spong Bob. Lambat tapi pasti. Di kejauhan gerbang masuk benteng Kalimo’ok tampak anggun menyambut kedatangan kami.
Air hujan masih menempel di rerumputan dan tanaman liar yang tumbuh di luar benteng. Dinding benteng pun masih basah oleh siraman hujan sore ini. Seorang pegawai Dinas Peternakan menyambut kami. Dengan senyum yang menyimpul di ujung bibirnya kami yakin kedatangan kami mendapat respon positif. Tapi ada sedikit ganjalan karena seharusnya kami melapor dan memberikan surat izin terlebih dahulu ke Dinas Peternakan. Karena waktu yang mendekati magrib maka segala bujuk rayu pun dikeluarkan untuk memotong jalur birokrasi. Kami berhasil untuk masuk ke dalam benteng dengan izin Bapak yang baik.
Gerbang Kalimo’ok berbentuk arch yang terbuat dari kayu. Seperti melihat film-film kerajaan di Eropa. Begitu masuk ke dalam benteng, ternyata tidak seluas yang diduga sebelumnya. Benteng Kalimo’ok lebih menyerupai blokhouse. Terdapat sebuah bangunan untuk karantina ternak di dalamnya. Di dalam benteng tampak beberapa ekor kambing merumput sore dengan santainya. Tak peduli gerimis. Tak hiraukan manusia yang masuk ke “wilayah” hijaunya.
Benteng Kalimo’ok berdenah persegi empat dengan bastion di tiap sudutnya. Pintu masuk benteng dari arah selatan. Kami agak kesulitan mencari akses untuk dapat naik ke atas benteng. Memang tidak ditemukan tangga. Kami naik melalui reruntuhan benteng di sisi selatan. Di atas benteng sebagian besar ditumbuhi oleh tanaman liar dan rerumputan. Beberapa ceruk bidik masih dapat dilihat walaupun beberapa sudah hancur. Berjalan di atas jalan patroli menuju bagian atas dari pintu gerbang. Ternyata tidak ada atap di pintu gerbang ini.
Jika sudah berada di jalan patroli di atas benteng hanya hijau yang ditangkap. Hijau yang mencerminkan semak belukar. Sebuah bangunan tua dari masa lalu yang tidak terurus. Yang di dalamnya dijadikan hunian bagi ternak dan sebangsanya. Miris melihat pemandangan seperti ini. Mengingat setiap bangunan memiliki ceritanya sendiri. Menusia sekarang juga mengukirkan cerita baru di atasnya. Cerita tentang semakin tergerusnya dinding benteng oleh air hujan. Lumut-lumut yang tumbuh dengan subur di tubuhnya. Semak belukar yang mengganas di tiap celah kosong tubuh yang mulai rapuh ini.
Sore ini sungguh merupakan pelajaran besar bagi kami, khususnya saya. Betapa berjauh jarak dari tinggalan cantik tak terurus seperti ini sering menafikan pandangan saya. Di tempat saya tinggal sekarang saja masih banyak bangunan kuno yang sedang menunggu ajalnya. Was was apakah akan berakhir dengan buruk ataukah beristirahat dalam damai. Apalagi dengan jarak yang sangat jauh seperti ini. Kalimo’ok yang basah karena tetes hujan sore ini. Kalimo’ok yang hanya sekali dua disebut dalam perkuliahan. Kalimo’ok yang sedang menanti titik akhir.
Seperti orang asing, kami tiba di Terminal Sumenep. Dan seperti kejadian-kejadian sebelumnya kami juga diserbu tukang ojek, tukang oplet, sopir taksi yang menawarkan jasa dan siap mengantarkan kami kemanapun kami mau. Tapi sore ini terminal Sumenep tampak sepi –atau memang seperti inilah setiap harinya-. Seorang sopir angkutan umum tetap getol mengikuti kami dan menawarkan jasa angkutannya kepada kami. Jujur kami memang buta arah di sini. Hanya tahu tujuan kami adalah benteng Kalimo’ok.
Nego harga pun cukup alot. Dan kami pun terpaksa harus mengalah kepada sang sopir. Perjalanan menuju Kalimo’ok sore ini senyap. Mungkin masih terbawa capek perjalanan dari Bangkalan tadi . Di beberapa tempat, kami saksikan banjir setinggi mata kaki orang dewasa. Rupanya saat ini benar-benar musim hujan.
Di sepanjang perjalanan banyak sekali bangunan hunian bergaya indis. Terbentang hampir 1 kilometer sebelum sampai ke benteng Kalimo’ok. Mereka mungkin bekas hunian pegawai pabrik garam masa kolonial dulu. Ada yang tipe rumah pegawai rendahan dan juga ada tipe rumah pegawai elit atas. Bahkan ada beberapa gudang yang sudah tidak difungsikan lagi. Ide bagus untuk diangkat menjadi topik skripsi bagi yang berminat. Ho..ho..ho..
Jalan yang berlubang-lubang kami lalui dengan angkutan yang sangat jadul. Berjalan lambat seperti Gery, kucingnya Spong Bob. Lambat tapi pasti. Di kejauhan gerbang masuk benteng Kalimo’ok tampak anggun menyambut kedatangan kami.
Air hujan masih menempel di rerumputan dan tanaman liar yang tumbuh di luar benteng. Dinding benteng pun masih basah oleh siraman hujan sore ini. Seorang pegawai Dinas Peternakan menyambut kami. Dengan senyum yang menyimpul di ujung bibirnya kami yakin kedatangan kami mendapat respon positif. Tapi ada sedikit ganjalan karena seharusnya kami melapor dan memberikan surat izin terlebih dahulu ke Dinas Peternakan. Karena waktu yang mendekati magrib maka segala bujuk rayu pun dikeluarkan untuk memotong jalur birokrasi. Kami berhasil untuk masuk ke dalam benteng dengan izin Bapak yang baik.
Gerbang Kalimo’ok berbentuk arch yang terbuat dari kayu. Seperti melihat film-film kerajaan di Eropa. Begitu masuk ke dalam benteng, ternyata tidak seluas yang diduga sebelumnya. Benteng Kalimo’ok lebih menyerupai blokhouse. Terdapat sebuah bangunan untuk karantina ternak di dalamnya. Di dalam benteng tampak beberapa ekor kambing merumput sore dengan santainya. Tak peduli gerimis. Tak hiraukan manusia yang masuk ke “wilayah” hijaunya.
Benteng Kalimo’ok berdenah persegi empat dengan bastion di tiap sudutnya. Pintu masuk benteng dari arah selatan. Kami agak kesulitan mencari akses untuk dapat naik ke atas benteng. Memang tidak ditemukan tangga. Kami naik melalui reruntuhan benteng di sisi selatan. Di atas benteng sebagian besar ditumbuhi oleh tanaman liar dan rerumputan. Beberapa ceruk bidik masih dapat dilihat walaupun beberapa sudah hancur. Berjalan di atas jalan patroli menuju bagian atas dari pintu gerbang. Ternyata tidak ada atap di pintu gerbang ini.
Jika sudah berada di jalan patroli di atas benteng hanya hijau yang ditangkap. Hijau yang mencerminkan semak belukar. Sebuah bangunan tua dari masa lalu yang tidak terurus. Yang di dalamnya dijadikan hunian bagi ternak dan sebangsanya. Miris melihat pemandangan seperti ini. Mengingat setiap bangunan memiliki ceritanya sendiri. Menusia sekarang juga mengukirkan cerita baru di atasnya. Cerita tentang semakin tergerusnya dinding benteng oleh air hujan. Lumut-lumut yang tumbuh dengan subur di tubuhnya. Semak belukar yang mengganas di tiap celah kosong tubuh yang mulai rapuh ini.
Sore ini sungguh merupakan pelajaran besar bagi kami, khususnya saya. Betapa berjauh jarak dari tinggalan cantik tak terurus seperti ini sering menafikan pandangan saya. Di tempat saya tinggal sekarang saja masih banyak bangunan kuno yang sedang menunggu ajalnya. Was was apakah akan berakhir dengan buruk ataukah beristirahat dalam damai. Apalagi dengan jarak yang sangat jauh seperti ini. Kalimo’ok yang basah karena tetes hujan sore ini. Kalimo’ok yang hanya sekali dua disebut dalam perkuliahan. Kalimo’ok yang sedang menanti titik akhir.
Comments