Akar Rumput yang Tercabut

Inilah cerita dari ibuku. Ibu seorang pengajar di daerah terpencil. Gedung tempat ia mengajar sangat sederhana. Tidak mewah juga tidak begitu jelek. Ibu mengajar anak-anak yang mengalami kekurangan fisik dan mental. Ibu biasanya pergi dan pulang mengajar berjalan kaki bersama seorang temannya. Tapi sekarang ibu pergi dengan menggunakan kendaraan umum. Sesekali jika Bapak di rumah, ibu bisa bersantai sejenak karena ada yang mengantar pergi dan pulang.
Semalam aku berbincang dengan ibuku. Percakapan kami diselingi acara televisi tentang review salah satu badan keuangan di negeri ini –yang bertugas memeriksa keuangan negara-. Berawal dari obrolan ringan. Beberapa pertanyaan dasar aku tanyakan kepada Ibu. Maklum aku bukanlah aktivis di kampus yang gencar memperjuangkan hak-hak pendidikan. Istilah BOS –Bantuan Operasional Sekolah- menjadi awal dari semua cerita ibu malam ini.
Dengan datar ibu cerita bahwa negara ini tidak akan pernah sampai ke titik maju jika orang-orang yang berada di atas sana masih saja seperti ini. Kata ibu setiap sekolah mendapatkan dana BOS dari pemerintah. Jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan sekolahnya. Sekolah ibu mendapatkan juga sesuai dengan jumlah siswanya. Tapi menurut penuturan ibu, dana BOS itu sungguh berkah yang luar biasa bagi sekolah ibu. Dana BOS benar-benar dikelola dengan baik oleh salah seorang teman ibu yang juga pengajar. Dana BOS sangat dirasakan manfaatnya oleh siswa yang kurang mampu.
Dari sana cerita berkembang ke persoalan penataran yang sering diikuti oleh para pengajar. Ibu bilang bahwa penataran amat disukai oleh banyak orang. Pokoknya acara yang mengeluarkan banyak uang negara pasti diminati banyak orang. Ibu juga cerita soal dana yang harus dipangkas dulu sebelum diterima. Alhasil, beliau pusing tak tidur bermalam-malam hanya untuk memikirkan cara membuat laporan pertanggungjawaban. Lucu lagi cerita tentang teman ibu. Teman ibu ini karakternya hampir sama dengan ibu yaitu sedikit tidak terbiasa dalam persolaan “akal-akalan”. Sebut saja teman ibu itu tante A. Suatu kali tante A diberi dana untuk melakukan kegiatan dalam jangka waktu tertentu. Semua program telah dijalankan tapi masih ada sisa uang. Karena bingung akhirnya tante mengajak anak-anak berkunjung ke kebun binatang. Tibalah membuat laporan pertanggunjawaban. Si tante harus bolak balik berkali kali membuat laporan karena salah melulu. Pada laporan pertama tante hanya menyertai dengan foto-foto kegiatan dan ditolak. Pihak pemberi dana menginginkan laporan dilengkapi dengan rekaman video. Akhirnya tur ke kebun binatang terpaksa diulang kembali.
Cerita yang membuat perut mual menutup bincang kami malam ini. Ketika aku tanya apakah para aparat pemerintah yang melakukan aksi sunat menyunat itu ditindak atau tidak, ibu punya jawaban sendiri. Katanya sekarang mereka –para aparat yang suka nyunatin dana kegiatan- sudah diperiksa oleh petugas pemeriksa keuangan dari pusat. Hmmm…lega juga mendengarnya, tapi…….Lho kok ada tapinya??? Ternyata petugas pemeriksa keuangan dari pusat itu bagai pinang dibelah dua, setali tiga uang dengan aparat penyunat dana. Mereka datang akhir tahun 2008. Ibu-ibu terhormat bermartabat dan berpendidikan tinggi. Setelah puas mengkritik sana sini di tempat ibuku mengajar mereka pun kembali ke hotel tempat mereka menginap. Firasat kurang menyenangkan menghampiri Pak kepala tempat ibuku mengajar. Benar saja, beliau dipanggil oleh si Bos untuk mengantarkan para ibu berbelanja oleh-oleh. Di kotaku oleh-oleh yang khas adalah batik. Maka pergilah Pak kepala bersama para ibu yang terhormat itu. Terbiasa dengan selera yang tinggi, mereka pun memilih batik di harga kelas atas. Pak kepala tempat ibuku mengajar yang semula berpikir hanya mengantar masih santai saja. Ketika para ibu sudah menjatuhkan pilihan pada batik kesukaan maka perasaan yang sangat tidak mengeenakkan muncul dalam diri pak kepala. Tanpa sungkan para ibu menyerahkan urusan pembayaran pada pak kepala. Pak kepala yang pada saat itu hanya membawa uang ala kadarnya pun keringat dingin –mungkin sampai kebelet mau ke toilet- . Suatu reaksi yang biasa untuk menghadapi situasi seperti itu. Akhirnya dengan muka tebal, Pak kepala mengambil bon untuk dibayarkan kemudian kepada si pemilik batik. Dari cerita ibu, aku menyimpulkan bahwa para aparat penyunat dana sama saja dengan ibu-ibu terhormat petugas pemeriksa keuangan dari pusat.
Cerita semacam ini aku yakini menimpa hampir seluruh intitusi pendidikan di Indonesia. Ibuku dan teman-temannya hanyalah sebagian contoh kecil dari penggerak dunia pendidikan yang tak berani bicara. Mengabdi di tempat terpencil dan menghadapi perasan-perasan dari orang-orang yang punya kuasa. Mereka tak mampu berbuat banyak. Tak sanggup perjuangkan haknya sendiri. Karena bicara sama saja dengan bencana. Bencana bagi dirinya sendiri dan bencana bagi keluarganya.


Inu
Jambi, 18 Mei 2009

Comments

Popular Posts