Arkeologi Industri: Impian Museum Pabrik Triplek

*****
Terik hari ini menemani saya dan Bang Ahok menuju Candi Teluk I dan II. Kedua candi itu berada di dalam kawasan PT Gaya Wahana Timber. Pagar yang tinggi, penjaga yang galak-galak, ribuan manusia tumpah ruah di dalam pabrik tiplek ini seketika berkelebat di dalam benak Bang Ahok. Maklum, Bang Ahok sempat bekerja di pabrik ini beberapa tahun silam sebelum pabrik mengalami kebangkrutan. Berlainan dengan rekaman yang tersimpan rapi dalam benak Bang Ahok, yang kami temukan adalah hamparan lahan luas yang “mati”. Tak ada lagi penjaga galak, tak ada lagi ribuan manusia, tak ada lagi asap membumbung tinggi, tak ada deru mesin, tak ada lagi sirine di siang hari. Hanya angin sesekali menghibur kami di tengah siang yang amat terik ini.



Sejak 2003 silam, PT Gaya Wahana Timber mem-PHK besar-besaran karyawannya tanpa pesangon. Setelah itu salah satu pabrik triplek terbesar di Jambi ini gulung tikar. Bagi kami para pecinta tinggalan budaya akan mendoktrin pikiran kami bahwa Akeng –pemilik pabrik- mendapat karma. Penyebabnya adalah Akeng sangat “gerah” dengan keberadaan Candi Teluk I dan II di dalam ladang uangnya itu. Candi Teluk I dan II tak pernah meminta untuk dibangun di dalam kawasan pabrik triplek itu. Hanya suatu kebetulan candi itu ditemukan saat manusia masa kini ingin menjadikannya tempat untuk usaha.

Candi Teluk I memang berada di tengah-tengah kawasan pabrik. Dekat dengan tempat pengeleman triplek, pengepresan triplek, gudang dan WC. Pantas saja Akeng ingin menghilangkannya agar bisa digantikan dengan sesuatu yang lebih “menghasilkan”. Lain Candi Teluk I lain pula Candi Teluk II. Candi Teluk II juga berada di dalam kawasan pabrik triplek ini. Lebih mengenaskan karena lokasinya dihimpit oleh mess para karyawan pabrik. Sewaktu pabrik beroperasi, Candi Teluk II menjadi sasaran tempat pembuangan limbah pabrik. Candi ini bahkan sempat hampir dibuldoser. Untunglah salah satu karyawan –sekarang menjadi juru pelihara- menahan tindakan tak manusiawi itu. Sekarang penghuni candi digantikan oleh sapi dan kambing yang berteduh di pepohonan di pinggir candi.



*****
Kami berangkat dari dermaga di Talang Duku. Jalan masuk menuju pabrik Gaya Wahana Timber berubah 180° dibanding ketika dulu pabrik masih beroperasi. Akeng yang membangun, Akeng pula yang menghancurkan. Menurut Bang Ahok, kiri dan kanan jalan ini dipagari oleh mess para karyawan. Mana mungkin kita dapat masuk ke dalam pabrik saat jam makan siang ini. Jalan ini akan dipenuhi ribuan karyawan yang pulang menuju mess masing-masing. Sekarang yang tersisa hanyalah jalanan becek terpanggang matahari. Mess yang tersisa hanya tinggal beberapa baris saja. Selebihnya telah digantikan dengan kebun kelapa sawit.

Beberapa orang laki-laki tampak duduk-duduk di bawah rindangnya pohon. Seorang diantaranya menyapa kami, mungkin teman Bang Ahok semasa bekerja di pabrik dulu. Pagar tinggi dengan pintu gerbang berwarna biru tertutup rapat. Kami hanya dapat masuk melalui pintu kecil di sampingnya. Di dekat pintu masuk, di dalam pabrik, sekelompok anak sedang asyik memainkan permainan tradisional –sesuatu yang jarang saya jumpai di daerah kota-. Seorang gadis bersama dua adiknya sedang memetik daun pucuk ubi. Mungkin untuk santap siang mereka hari ini bersama sambal terasi dan ikan asin. Di atas motor Bang Ahok menunjuk papan hijau yang berada jauh dari kami. Saya langsung dapat menangkap tanda itu. Tanda khas untuk papan nama sebuah benda cagar budaya.

Berjalan pelan, Bang Ahok memasuki memori masa lalunya. Dengan menunjuk-nunjukkan tangannya, Bang Ahok bercerita bahwa “ini” adalah pintu masuk untuk karyawan, “itu” adalah tempat mengambil gaji, “ini” adalah kantin, “itu” adalah kantor petinggi pabrik, “ini” adalah mess karyawan, “itu” adalah toko serba ada –mie instant, rokok, pakaian, sabun, gula, telur, yang dapat diambil dengan sistem kas bon-, “ini” adalah WC –untuk wanita, maka setiap malam para pria akan memindah tongkrongan mereka ke sini-, “itu” adalah tempat pengeleman triplek, “ini” adalah tempat pengepresan triplek, “itu” adalah tempat pengeringan, “ini” adalah gudang sebelum triplek didistribusikan, “itu” adalah pabrik arang dan masih banyak lagi.



Hingga sampailah kami di depan sebuah tumpukan bata-bata setinggi ± 2 m. Candi Teluk I kesepian berteman pagar kawat yang sudah uzur. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon kapas, teman berkeluh kesah. Menurut Bang Ahok, candi ini dahulunya merupakan titik “termagis” di dalam pabrik. “Dulu orang sering kesurupan di sini nu”, tutur Bang Ahok. “Biar gitu, tempat ini juga sering dijadikan tempat memadu kasih”, tambahnya sambil tersenyum. Di tempat ini pula lamunan saya akan beberapa puluh tahun yang akan datang muncul. Seandainya pabrik ini tidak “dipreteli”. Bangunannya tidak dihancurkan dan batanya tidak diambil maka bukan tidak mungkin pabrik ini menjadi sebuah situs untuk arkeologi industri. Betapa asyiknya membayangkan museum pabrik triplek ini bercerita kepada keturunannya.

Kita dapat mengadakan tur keliling pabrik. Melihat proses pembuatan triplek. Dari bahan dasar hingga bahan jadi. Melihat kehidupan ekonomi dan sosial di dalam pabrik. Sayangnya, pabrik ini terancam didemolisi. Bangunan-bangunannya sebagian besar telah rata dengan tanah. Diambil batanya untuk dijual atau dijadikan bahan membuat rumah baru. Alat-alat berat milik Akeng “diselamatkan” oleh empunya. Tersisa sebuah truk dengan rumput hijau yang tumbur subur di baknya dan sebuah Caterpilar berkarat yang siap untuk dikilokan. Imajinasi saya tentang museum bertema arkeologi industri pun menguap bersama terik siang ini.

Candi Teluk I dan II terancam bernasib sama dengan pabrik ini. Terisolir dari masyarakat sudah membuat namanya tak akan terdengar sesering candi-candi di Muarajambi. Biarlah sapi dan kambing yang menjadi penjaga candi-candi itu. Setidaknya mereka tak akan memakan bata-bata candi walaupun tak ada rumput lagi di sekitar mereka.


Inu,
Jambi, Minggu, 17 Mei 2009

Comments

Andrew said…
hi Inu, saya Andrew dari Jakarta. latar blog ini di Jambi ya? daerah mana? itu pabrik siapa?
KWA Wardani said…
Hallo Mas Andrew...
Latar cerita di edisi "Arkeologi Industri: Impian Museum Pabrik Triplek" ini memang di Jambi, tepatnya masuk ke Kabupaten Muarajambi.

Ini pabrik milik PT Gaya Wahana Timber miliknya Akeng -seorang Cina kaya di Jambi yang memang menjalankan bisnis pengolahan kayu-. Kita si lebih kenalnya Akeng, ga tauk nama aslinya siapa. hehehe.

Sekarang pabriknya udah tutup. Saya angkat pabrik ini dalam tulisan karena di lokasi pabrik terdapat beberapa situs arkeologis berupa candi.
Andrew said…
Wow. Mbak kapan kesana? Sering ke jambi ya? Kalo nama akeng saya kayanya sering denger... Mbak denger apa lagi tentang dia? This is very interesting
KWA Wardani said…
Hehehe, kebetulan saya ambil tugas akhir situs Muarajambi. Kebetulan lagi latar belakang saya arkeologi. Yang lebih kebetulan lagi saya orang Jambi, jadi......[isi sendiri ya titik2nya..:D]

Kalo sekarang si saya berdomisili di Jogja. Mungkin kalo pas saya di Jambi dan Mas Andrew pas juga berkunjung ke Jambi, bisa menginap di "gubuk" orang tua saya. Nanti akan saya antarkan ke kompleks candi Muarajambi plus ke lokasi bekas pabrik ini. Banyak cerita yang bisa didapat dari si pabrik kalo dipandu langsung dengan teman-teman yang kebetulan dulunya bekerja di pabrik ini. Dari proses kerja sehari-hari hingga kisah romansa yang pernah terjadi di sini...:D

Nama Akeng bagi sebagian besar masyarakat Jambi udah ga asing lagi. Dia terkenal sebagai toke kaya raya yang punya banyak usaha. Tapi di samping itu namanya sering dikaitkan dengan isu-isu yang kurang sedap. Ingatan saya tentang Akeng hanya sebatas ingatan masa kanak-kanak Mas, jadi perlu klarifikasi lagi sama teman-teman yang menetap terus di Jambi. :D
Andrew said…
Wow. Boleh dong. Mbak orang jambi asli ya? Saya juga ingin tahu lebih mengenai sejarah pabrik dan candi itu. Kalo boleh saya bisa minta e-mail mbak?
KWA Wardani said…
hehehe, rada susah njawabnya. Secara antropologi saya orang Jambi. Saya laihr dan besar dalam adat Jambi. hehehehe,

Iya Mas, kompleks Candi Muarajambi ini salah satu kompleks candi terluas lho di Indonesia..:). Lokasi candi-candinya masih menyatu dengan alam. Setidaknya ada 80an candi di sini, baik yang udah dipugar maupun yang masih dalam bentuk menapo -istilah lokal untuk menyebut gundukan tanah yang diduga sebagai candi-. Menarik lah pokoknya. Apalagi kalo kita berkunjung pas musim duren atau duku, hehehehe, bisa sekalian petik -tapi permisi dulu sama yang punya :D-

Email saya: minoritaskiri@gmail.com
Andrew said…
Saya juga orang Jambi mbak. Cuman lagi sekolah di jakarta saja. Jadi mbak di yogyakarta lagi university ya? Saya sebenarnya juga ingin mengunjungi pabrik itu dari dulu, apalagi setelah mendengar tentang masalah candi itu. Saya dengar, candi itu hanya beberapa batu-batuan saja kan? Terus mengapa masih dijaga?
KWA Wardani said…
oya? Jambinya dmn?
Di Jogja lagi ngikutin langkah kaki...:), mereka yang bawa saya ke sini, belum tauk juga saya mau dibawa kemana lagi...:D

Candi itu lebih dari sekedar susunan bata-bata. Di sana terekam sejarah panjang Kerajaan Melayu Kuna dan Sriwijaya. Hal ini yang ga banyak diketahui orang. Pendeta-pendeta dari Cina sebelum bertolak ke Nalanda menimba ilmu dulu di sini, salah satunya I-Tsing yang terkenal dengan catatan perjalanannya. Jadi, wajar saja kalau candi ini harus dijaga kelestariannya.
Andrew said…
Hmmm... Banyak sejarahnya ya ternyata. Saya di Jambi kota. Saya tinggal di Jelutung. Mbak tertarik sama sejarah pabrik itu tidak? Kalo boleh, mbak ada messenger ga? Yahoo atau msn, supaya bicaranya lebih enak
Andrew said…
Mbak sebenarnya... Saya adalah keponakan akeng. Saya sekarang tertarik untuk memberikan mbak kerjaan.
KWA Wardani said…
Oya??? Wah, kebetulan sekali saya bisa berbicang dengan keponakannya Akeng..:D

Kerjaan? sepertinya menarik.Tapi maaf, saya juga sedang gencar2nya untuk memberikan pekerjaan ke orang, jadi.....
Andrew said…
Oya tidak apa-apa mbak. Saya sedang riset mengenai latar belajang pabrik saya dulu itu. Dan kebetulan melihat blog post anda. Saya sendiri terakhir ke GWT pada waktu saya berumur 4 tahun. Itulah masa jaya keluarga Tanoto. Saya ingin tahu lebih banyak lagi. Akeng, paman saya bernama Tanoto Kusuma mbak. Ayah saya bernama Hedy Tanoto.
KWA Wardani said…
O begitu...
kalo boleh tauk, Andrew konsen di bidang apa yak? sejarah, TI, atau??

Nanti saya akan bantu sebisa saya. Untuk latar sejarah pabrik sendiri saya tidak punya data tertulis, hanya cerita2 dari temen2 yang dulu bekerja di sana. :)
Andrew said…
Mbak sekarang sedang ada petisi untuk menylematkan candi yang di tanah saya itu. Semestinya kan tanah itu masih punya pihak saya. Jadi kalu misalnya candi itudiselamatkan apakah tanah saya juga diambil?
KWA Wardani said…
Jika kasusnya seperti itu biasanya akan ada penggantian dari negara. Artinya tanah Mas Andrew -yang di atasnya mengandung tinggalan arkeologis- akan dibeli oleh negara. Seharusnya lho,...

Popular Posts