Surat Pertama

Hai,
Dimanapun kau menjejak bumi, semoga angin mengantarkannya dengan bungkus yang masih rapi.

Ada yang menyempil di dalam hatiku.
Tiba-tiba aku rindu sekali dengan ombak.
Ketika mereka pecah dan tak sampai ke tepi, rasanya indah sekali.
Seperti itu mungkin kita, aku dan kau.
Aku masih saja samar mengejamu. Meskipun hujan saat itu justru menghangatkan kita.
Kita tak saling mengenal, kalo aku boleh menyimpulkan. Hanya beberapa kali percakapan langsung dan hitungan pesan singkat yang tak sampai bilangan sepuluh.
Tapi, dalam hujan kita bagai air yang telah menyatu lama. Aku dan kau berasal dari mata air yang berbeda. Dan kita bertemu dalam hujan malam itu.
Aku ingin teriak saat ini juga. Di tengah kelamnya kota yang semakin menua.
Di dalam cuaca yang bukan hujan. Aku ingin teriak.
Apakah cukup bagi kita untuk menjadi hanya seperti ini? Kau dan aku, berjarak, dalam dimensi yang berbeda, dengan atap yang tak lagi sama.
Aku benar-benar rindu keluhanmu. Ratapanmu tentang hidup yang tak juga membuatmu berhasrat untuk tinggal. Umpatanmu pada semua mata yang memandang aneh pada dunia yang kita ciptakan. Makimu pada semua hal yang ternilai ekstrinsik.Semuanya, aku rindu adamu. Rindu ketika kita berbincang tentang biru, merah, putih, biru, jingga, cokelat, oranye, dan abu-abu. Rindu saat mendengar cerita-ceritamu yang padat emosi tapi lugu. Rindu pada cermin-cermin kita. Rindu pada...Entahlah.
Aku ingin mengirim kabar kepadamu, tapi tak kunjung jua kutemukan alamat yang terselip di saku celana. Mungkin terbuang bersama bungkus permen, atau hancur saat kurendam kemarin. Entahlah.
Dan sekarang, hujan tak kunjung datang memadamkan rinduku padamu.

Comments

Popular Posts