Surat Kedua

Hai...
Kali ini kutitipkan kabar pada Sang Angin. Semoga ia tak terlalu kencang agar tak rusak sampul oranye pembungkus pesan.


Aku hanya ingin bilang, aku bahagia hari ini.
Saat hari hampir berganti, tadi malam, dia merentas jarak. Membuat semuanya menjadi dekat sekali. Tahukah kau, aku sempat dirundung gelisah saat kutahu hari sudah hampir berganti dan dia belum juga datang. Dan akhirnya, aku dan dia melebur dalam hangat yang telah lama tak kurasakan.
Dia bercerita tentang banyak hal. Dan aku, seperti biasa menjadi pendengar sekaligus pencerita yang baik. Ternyata dia tidak lupa.
Rupanya begini rasanya, ketika kita tak lagi berada dalam ruang yang sama. Ada sensasi yang selalu kurindukan. Sensasi yang justru hilang saat kedekatan kembali terbangun. Apakah angin bergetar ketika bersentuhan dengan dedaunan? Begitukah rasanya, makna akan sirna ketika jarak masih teramat dekat?
Pun itu yang kutakutkan jika aku kembali berada di warna yang sama denganmu. Rasanya tak punya nyali. Aku takut menjadi tawar. Aku lebih suka seperti ini, hanya berkirim kabar denganmu lewat pertanda alam. Kupikir, aku tak akan punya cukup bahasa untuk berbicara denganmu di dalam warna kita dulu. Biarlah seperti ini saja, aku pikir kau akan setuju bukan? Akan kujaminkan cerita tentang musim-musim yang kulewati di sini. Kita, tak perlulah di ruang yang sama, di bumi yang serupa.

Comments

Popular Posts