Tragedi Batagor

Dua minggu yang lalu, saya dan Nini membantu temen-temen Kumkum di Taman Menteng. Nah, baru dapet beberapa lembar "karya", kaum cacing di dalam perut udah protes minta diisi. Jadilah saya dan Nini pamit sebentar untuk cari makanan pengganjal perut di sekitar taman.
Tak butuh waktu lama buat kami menemukan "juru selamat" sore itu. Keringat jagung yang udah mulai keluar akhirnya bisa masuk lagi. Ternyata di depan Taman Menteng banyak abang-abang jualan makanan kecil aneka rupa. Ada gorengan 500-an, ada mpek2 yang nyelip di gerobak abang batagor -yang ternyata tinggal tulisan di kaca doang-, ada minuman segala rasa, ada cilok (eh, ada ga ya??), pokoknya banyak lah. Nah, diantara sekian banyak abang-abang yang mangkal di sana, saya dan Nini menjatuhkan pilihan pada si abang batagor. Akhirnya kami membawa piring-piring batagor itu -bersama beberapa ekor gorengan- ke dalam taman yang ada tempat duduknya.
Hmmm...ini kali pertama saya makan di luar dengan latar tempat berupa taman. Dari makanan ringan itu kami pun membicarakan hal-hal yang ringan-ringan -tapi sedikit lebih berat dari kerupuk-. Tentang apa???? Tentang konsep sebuah taman. Bagaimana taman hadir di tengah komunitas pendukungnya? Taman yang ideal itu seperti apa sih? Taman yang "Indonesia" itu kayak gimana ya? Pertanyaan terakhir muncul karena kami melihat dengan mata kepala sendiri -dengan mata siapa lagi??- bahwa Taman Menteng itu diisi oleh teman-teman yang -maaf- sudah mengadopsi adegan-adegan dalam telenovela. Tahu kan?? Adegan dua insan manusia, yang satu berbaring di atas paha yang lain. Yang lain tadi mengelus-elus kepala yang satunya. Hentikan....!!! Kok malah "menjurus" begini. He he he. Intinya kami mempertanyakan bentuk dan konsep taman yang idela itu seperti apa. Apa guna taman jika warga kota tidak bisa mengakses taman dengan "tenang". Tenang dalam artian tidak merasa diawasi, tidak merasa diintimidasi, dan tidak merasa diusir jika berlama-lama di dalamnya.
Ketika obrolan kami memasuki tahap yang mulai serius, tiba-tiba nun jauh disana terjadi insiden kecil. Para abang yang menyajikan "juru selamat" bagi perut-perut yang terlunta-lunta kocar-kacir tak keruan -sedikit berlebihan-. Suasana "chaos" pun tak terhindarkan lagi. Si abang gorengan lari ke barat, yang bawa gerobak minuman lari ke timur, si abang batagor lari ke selatan. Lho lho lho...ada apa ini? Kontan saja saya dan Nini ikut panik. Wajar dong. Kita dalam posisi makan yang enak dan berdiskusi yang sarat muatan. Tiba-tiba harus dihadapkan dengan kenyataan yang tragis seperti itu. Bingung dong. Mana batagor belum dibayar lagi. Si abang udah main lari aja. Ketika suasana riuh masih berlangsung -dengan tampang bingung dan serius- jadilah saya dan Nini mengejar si abang batagor untuk membayar dan mengembalikan piring. Saat itu kami belum menghabiskan batagor di atas piring -seingat saya si-. Suap-suap terakhir saya lakukan sambil berjalan cepat di samping si abang batagor. Sambil menyuap sendok terakhir, saya bertanya sama si abang,
Saya : "Bang, ni ada apaan si? Ko pada lari, batagor saya belum abis ni??".
Si abang: "Nyantai aja kali neng, udah biasa kayak gini, udah abisin aja batagornya tenang-tenang dalam taman".
Saya pun senewen jadinya, udah dibela-belain ngabisin batagor sambil jalan.
Saya :"Yah, tau gitu...emang kenapa bang ada satpol PP segala?"
Si abang:"Biasa neng, bu camat mau lewat. Inspeksi maksudnya, jadi semua pedagang kudu menyingkir sejenak".
Saya :"Oalah..kirain..ada apaan".

Hmmm..begitulah pengalaman kami makan di taman pertama kali seumur hidup di jakarta ini. Apalagi kalau bukan makan sambil dikejar satpol PP. Pernyataan baru muncul, "Kayaknya taman bakal sepi deh tanpa kehadiran para abang penjual makanan itu". Kenapa mereka diusir hanya gara-gara ibu camat yang mau lewat?.Setidaknya itu pemikiran kami saat kejadian berlangsung.

Dua hari kemudian, Nini menghubungi saya.
Nini: "Nu, kamu merasa ada yang salah ga dengan perutmu?"
Saya: "Hmm..lupa ni..kayaknya si engga"
Nini: "Aku ga masuk kantor hari ini nu, sakit, sepertinya efek batagor kemaren"
Saya: "Hyaaaa......kok bisa?????!!!!!"
Nini: "Ga tau ni, mau ke berobat hari ini"
Saya: "Ya udah, cepet sembuh ni".
Itu percakapan singkat kami via sms. Lalu saya memanggil kembali beberapa potong memori setelah insiden batagor itu. Hmmm..sepertinya saya juga mules di pagi hari setelah sorenya saya memakang batagor itu. Tak ada yang tahu sebab mulesnya perut kami. Semua hanya asumsi. Ketika saya bertemu Nini di kemudian hari, ia membuat pernyataan, "Nu, aku setuju deh dengan penertiban para abang yang jualan di depan Taman Menteng". Dan saya hanya bisa memberikan reaksi muka paling bego sedunia...@_@

Comments

Unknown said…
Nu, aku sangat pro informal, pro angkringan, dll... tulisan-tulisanku selalu ke arah situ, hahhaha

Betapa ngga okenya kota tanpa mereka. Ngga lively, sepi dan membosankan.

Di Jogja, sering banget jajan di kaki lima, dan selalu baik-baik saja.

Mungkin kualitas lingkungan di sini emang udah terlalu parah ya... airnya, udaranya... kehidupan yang lebih keras yang bikin orang tega melakukan apa saja ( seperti yang suka ada di reportase, gorengan pakai plastik, dll).

Seluruh kota ini jelas butuh berobat :)
KWA Wardani said…
hak hak hak ..
percaya ni percaya..
tapi untuk jakarta emang kita harus pikir ratusan kali lagi. Bukan masalah pro atau ga, tapi masalah hidup di masa mendatang je.
Kita kayaknya harus menahan diri untuk ga beli gorengan di luar lagi ni, bener banget. Masak nggoreng pake plastik. Hiyekssss....
wiHarsanto said…
Ngga cuma gorengan pakai plastik, es batu saja ada yang dari sungai ciliwung. Jadi yang harus ditertibkan ("disingkirkan") juga adalah sumber dari segala permasalahan yaitu kemiskinan, karena jakarta sudah tidak layak menjadi ibukota RI. http://www.djakartanews.blogspot.com/2009/11/seandainya-ibukota-ri-dipindah-dari.html
KWA Wardani said…
hmmm...menarik juga kalo ibukota RI dipindah...bukannya udah direncanain yak? Berarti tinggal pelaksanaannya aja...kapan???
KWA Wardani said…
This comment has been removed by the author.

Popular Posts