Backpacking??? Just Do It
"Sebelum melakukan perjalanan sebaiknya dimatangkan dulu semuanya, mulai dari hal yang remeh temeh sampai hal yang dirasa penting", itu adalah ucapan saya sendiri setelah mengikuti seminar kecil di Museum Mandiri sore tadi. Sang pembicara adalah Reynald Suymaku (semoga tulisannya bener), editor foto untuk majalah NG Indonesia (semoga bener lagi). Sekilas memang tampak sama dan monoton muatan yang disampaikan mas Reynald sore tadi. Namun jika ditilik lagi ada beberapa hal yang memang sering luput ketika kita merencanakan atau melakukan sebuah perjalanan.
Tema yang diusung sore ini terkait dengan pameran foto bertema Bangka Belitung oleh salah sebuah komunitas fotografi di ibukota tercinta ini. Berangkat dari situ, Mas Reynald pun mengangkat isu ekspedisi fotografi untuk diobok-obok sore tadi.
Sebenarnya dan sejujurnya semua yang dibagi oleh Mas Reynald tadi -tanpa mengurangi rasa hormat- adalah sangat super standar.Gimana ya? Koridor wajib yang harus dipenuhi sebelum melakukan perjalanan yang dibagi tadi terasa sangat teoritis sekali. Kecuali satu contoh kasus ekspedisi tim NG "luar" di pedalaman Papua yang katanya seperti surga. Menurut saya pada bagian itu Mas Reynald cukup mampu menggigit imajinasi saya -dan peserta lain, mungkin- untuk merasakan "surga"nya Papua itu.
Terlepas dari monotonnya diskusi tadi, saya rasa ucapan terimakasih juga harus dihaturkan kepada Mas Reynald. Dia mampu menekankan dengan cukup getol satu hal yang sangat penting namun sering dilupakan oleh para pejalan kere (backpacker), yaitu riset. Saya mengibaratkan riset ini seperti sesuatu yang gampang-gampang susah. Saya sendiri terbilang sangat jarang melakukan riset total sebelum memulai perjalanan. Biasanya saya hanya mengecek peta, transportasi beserta harga, penginapan beserta harga, cukup. Saya melupakan masyarakat tempat saya akan berkunjung. Padahal disitu poin pentingnya. Wajar saja jika selama ini selalu ada yang kurang dalam perjalanan saya. Selintas saya menikmati semua tempat yang pernah saya kunjungi. Namun jika dilihat lagi, ada satu lubang di hati saya yang memang belum terisi. Karena saya sangat terbiasa untuk hanya bertegur sapa dan puas dengan hanya seperti itu. Ada bagian lain yang belum saya jamah. Cara masyarakat lokal hidup. Bagaimana mereka membangun kebudayaan mereka? Itu yang selalu saya lupakan.
Di poin riset, Mas Reynald mampu menampar dan membangunkan saya. Besok, ketika merencanakan perjalanan saya tak mungkin lupa untuk melakukan riset total. Tapi kemudian muncul masalah baru. Apakah gerangan? Saya sudah terlanjur dicap teman-teman baik saya sebagai perencana ulung namun pelaksana yang mandul. Hak hak hak. Mereka pasti angkat tangan ketika saya mengajak mereka untuk plesir ke suatu tempat. Jawaban yang selalu saya terima -mungkin lebih tepat sebuah pernyataan yang cukup menohok hati- adalah, "Nu, mending kamu ga usah ngajak-ngajk dulu deh kalo kamu belum pasti dengan waktunya". Yup, itulah kelemahan terbesar saya. Saya tak pernah bisa kompromi dengan waktu. Hampir 80 persen perjalanan yang saya rencanakan bersama teman sejak 2008 hancur berkeping-keping alias gagal total. Tak dinaya masalahnya selalu bersumber dari saya -sebagian besar-. Saya pun heran mengapa bisa begini. Mungkin saya terlalu takut dan sama sekali tak punya niatan untuk mewujudkan keinginan saya. Mungkin juga saya hanya pintar untuk membuat konsep perjalanan yang ideal. Atau, yang lebih parahnya saya adalah genius yang menaburkan mimpi-mimpi tentang negeri eksotik ke benak teman-teman saya. Entahlah. Namun, gara-gara cerita dari Mas Reynald tadi, saya jadi berpikir seperti ini, "Yang terpenting itu bukan tujuan kita akan kemana. Yang lebih penting adalah apakah kita berani untuk nekat. Nekat mengorbankan waktu, uang, dan tenaga untuk keajaiban-keajaiban yang akan kita temukan selama perjalanan". Jadi inti dari curhat saya hari ini adalah, kalau memang mau jalan ya udah, jalan aja. Jangan terlalu banyak cerita yang tak berkesudahan. Selaian bikin sakit hati, tidak baik juga untuk kesehatan :D. Mau jalan, ya udah, lakukan saja. Sesederhana itu :D.
Tema yang diusung sore ini terkait dengan pameran foto bertema Bangka Belitung oleh salah sebuah komunitas fotografi di ibukota tercinta ini. Berangkat dari situ, Mas Reynald pun mengangkat isu ekspedisi fotografi untuk diobok-obok sore tadi.
Sebenarnya dan sejujurnya semua yang dibagi oleh Mas Reynald tadi -tanpa mengurangi rasa hormat- adalah sangat super standar.Gimana ya? Koridor wajib yang harus dipenuhi sebelum melakukan perjalanan yang dibagi tadi terasa sangat teoritis sekali. Kecuali satu contoh kasus ekspedisi tim NG "luar" di pedalaman Papua yang katanya seperti surga. Menurut saya pada bagian itu Mas Reynald cukup mampu menggigit imajinasi saya -dan peserta lain, mungkin- untuk merasakan "surga"nya Papua itu.
Terlepas dari monotonnya diskusi tadi, saya rasa ucapan terimakasih juga harus dihaturkan kepada Mas Reynald. Dia mampu menekankan dengan cukup getol satu hal yang sangat penting namun sering dilupakan oleh para pejalan kere (backpacker), yaitu riset. Saya mengibaratkan riset ini seperti sesuatu yang gampang-gampang susah. Saya sendiri terbilang sangat jarang melakukan riset total sebelum memulai perjalanan. Biasanya saya hanya mengecek peta, transportasi beserta harga, penginapan beserta harga, cukup. Saya melupakan masyarakat tempat saya akan berkunjung. Padahal disitu poin pentingnya. Wajar saja jika selama ini selalu ada yang kurang dalam perjalanan saya. Selintas saya menikmati semua tempat yang pernah saya kunjungi. Namun jika dilihat lagi, ada satu lubang di hati saya yang memang belum terisi. Karena saya sangat terbiasa untuk hanya bertegur sapa dan puas dengan hanya seperti itu. Ada bagian lain yang belum saya jamah. Cara masyarakat lokal hidup. Bagaimana mereka membangun kebudayaan mereka? Itu yang selalu saya lupakan.
Di poin riset, Mas Reynald mampu menampar dan membangunkan saya. Besok, ketika merencanakan perjalanan saya tak mungkin lupa untuk melakukan riset total. Tapi kemudian muncul masalah baru. Apakah gerangan? Saya sudah terlanjur dicap teman-teman baik saya sebagai perencana ulung namun pelaksana yang mandul. Hak hak hak. Mereka pasti angkat tangan ketika saya mengajak mereka untuk plesir ke suatu tempat. Jawaban yang selalu saya terima -mungkin lebih tepat sebuah pernyataan yang cukup menohok hati- adalah, "Nu, mending kamu ga usah ngajak-ngajk dulu deh kalo kamu belum pasti dengan waktunya". Yup, itulah kelemahan terbesar saya. Saya tak pernah bisa kompromi dengan waktu. Hampir 80 persen perjalanan yang saya rencanakan bersama teman sejak 2008 hancur berkeping-keping alias gagal total. Tak dinaya masalahnya selalu bersumber dari saya -sebagian besar-. Saya pun heran mengapa bisa begini. Mungkin saya terlalu takut dan sama sekali tak punya niatan untuk mewujudkan keinginan saya. Mungkin juga saya hanya pintar untuk membuat konsep perjalanan yang ideal. Atau, yang lebih parahnya saya adalah genius yang menaburkan mimpi-mimpi tentang negeri eksotik ke benak teman-teman saya. Entahlah. Namun, gara-gara cerita dari Mas Reynald tadi, saya jadi berpikir seperti ini, "Yang terpenting itu bukan tujuan kita akan kemana. Yang lebih penting adalah apakah kita berani untuk nekat. Nekat mengorbankan waktu, uang, dan tenaga untuk keajaiban-keajaiban yang akan kita temukan selama perjalanan". Jadi inti dari curhat saya hari ini adalah, kalau memang mau jalan ya udah, jalan aja. Jangan terlalu banyak cerita yang tak berkesudahan. Selaian bikin sakit hati, tidak baik juga untuk kesehatan :D. Mau jalan, ya udah, lakukan saja. Sesederhana itu :D.
Comments