Sometimes in April

Beberapa waktu yang lalu saya menonton "Sometimes in April". Film yang berkisah tentang perang saudara di Rwanda itu cukup "menyentuh". Betapa tidak, fakta yang mencengangkan bagi saya. Saya baru ngeh, ternyata kejadian April 1994 di Rwanda itu memakan paling tidak satu yuta jiwa. Satu yuta??? Dan yang paling tragis adalah "hilangnya" satu yuta jiwa itu karena "tangan" saudara sendiri.

Yap,tragedi -mungkin lebih tepat disebut tragedi, untuk memperhalus kata genosida- April 1994 itu merupakan perang saudara antara dua suku mayor di Rwanda, Tutsi dan Hutu. Dulu sekali saya pernah juga menonton film dengan setting yang sama. Kalau tidak salah, judulnya "Hotel Rwanda". Dan lagi-lagi saya disuguhi gambar ratusan mayat ditumpuk dalam truk yang jumlahnya tidak hanya satu.

Dunia saat itu tidak turut campur karena menganggap itu adalah masalah internal Rwanda. Pasukan PBB yang ditempatkan di sana pun tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bertugas mengevakuasi orang asing -kulit putih- yang tinggal di sana. Gila...Tragedi yang lebih mengarah ke tindak pembantaian itu "dibiarkan" saja oleh dunia hanya karena persoalan politis.

Itu perasaan hati saya beberapa hari yang lalu. Tadi sore, saya sempat menyaksikan liputan ulang Kick Andy yang menampilkan sederet orang di belakang karya film "Tanah Air Beta". Sepertinya film garapan duo Ale-Nia ini nafasnya masih sama dengan beberapa film besutan terdahulu. Jujur, saya cukup senang dengan karya mereka, "Nasionalis".

Film garapan Ale-Nia itu mengambil setting waktu sekitar tahun 1999, saat referendum Timor Timur berlangsung. Meski pahit, akhirnya Timor Timur pun menjadi negara baru yang lebih dikenal dengan sebutan Timor Leste sekarang ini. Tentu saja jika menilik sejarah, bumi Timor Leste memang bukan hak Indonesia -menurut saya-. Pada waktu masa penjajahan dulu, bumi Timor adalah "kepunyaan" Portugal, bukan Belanda. Jadi wajar saja jika kemudian hari bibit-bibit ingin pisah dari RI itu semakin kuat.

Sekali lagi ini bukan tentang politik. Tapi lebih kepada kemanusiaan. Betapa banyak juga orang Timor yang kemudian memilih berintegrasi dengan Indonesia. Mereka memilih Indonesia karena cinta. Dan cinta tak butuh penjelasan atau alasan apa pun. Namun, setelah sekian waktu berlalu siapakah yang bisa menjelaskan dengan gamblang seperti apa nasib mereka? Keputusan untuk mencintai Indonesia hingga titik darah terakhir bukan tanpa resiko. Mereka meninggalkan harta benda, dan yang paling penting adalah sanak keluarga. Ternyata pilihan dengan segala resiko itu tidak menjadikan jaminan mereka akan disambut dengan lebih ramah di tanah yang mereka pilih. Saat ini pun, mereka masih "deg-deg an", jika sewaktu-waktu terjadi penggusuran. Di tempat yang dahulu menjadi wilayah pengungsian pun, kebutuhan papan mereka tidak memadai.Jadi sudah tepatkah pilihan mereka mencintai Indonesia?

Jangan kaitkan ini dengan politik. Cinta lebih banyak tak bisa dibuat logikanya. Sama halnya dengan pilihan saudara-saudara kita yang hidup di tapal batas negara RI tercinta ini. Hidup dalam kondisi jauh di bawah standar hidup manusia tidak membuat mereka berhenti mencintai merah putih. Dimana logikanya?

Oke, saya akan kembali ke topik awal. Mengapa film "Sometimes in April" dan "Tanah Air Beta" yang mampu membuat saya berceloteh nglantur di sini? Karena aktor dari kedua film itu pada dasarnya adalah saudara. Saudara yang karena bumbu-bumbu politik harus "menikam" saudaranya sendiri. Mereka harus memberikan pilihan tersulit kepada saudara sendiri. Bagaimana pasangan Hutu-Tutsi harus -dengan pilihan yang sangat berat- berpisah, dan pada akhirnya Tutsi berakhir pada pembantaian yang sangat tidak manusiawi. Bagaimana seorang ibu terpisah dari anak lelakinya saat mereka harus membuat pilihan, RI atau Timor Leste? Padahal mereka hanya kenal Indonesia selama mereka hidup di tanah Timor. Betapa sekat-sekat kemanusiaan itu luntur dan hilang hanya karena lezat dan mantapnya racikan bumbu politik di dalamnya.

Yap, kekerasan-kekerasan rasial -meski dalam rumpun yang sama- masih terjadi di dasarnya sana. Dan saya masih curiga selalu ada dalang di balik semua peristiwa tidak mengenakkan yang terjadi di muka bumi ini. Saya yakin setiap manusia mempunyai sifat baik yang sangat manusiawi meski tersimpan jauh di lubuk hati. Dan saya tidak akan pernah berhenti berharap agar pemerintah RI tercinta ini terus meningkatkan "perhatian" ke wilayah-wilayah tapal batas negara RI.


Ternyata, masih ada sisi nasionalis dari diri saya. Syukurlah.

Comments

Saya sempet 'ga bisa' ngomong sih, saat liat manusia saling bunuh, CKCK * trus mayatnya dibiarin aja kayak bangkai hewan ..

pdahal eprdamaian itu indah :)
KWA Wardani said…
yup...bener banget...bukannya enak kalo liat dunia damai, tentrem, ga ada pertumpahan darah. Eeee...malah..yang dor doran yang disenengin. Yah...kalo untuk urusan yang satu ini, kan ga harus konsep Yin Yang diterapin dalam urusan perdamaian...hmmmm

Popular Posts