Berkah Sampah: Ajang Pesta Blogger 2010#2
Beberapa kantong sampah sudah terkumpul di luar tenda pantai berukuran 2 m x 2 m itu. Selepas jam makan siang, area di sekitar tenda pantai itu didatangi oleh beberapa orang termasuk saya. Dengan tangan kosong satu per satu kantong sampah itu kami buka. Sampah dan sisa makan siang dari acara Pesta Blogger di Epicentrum Walk (30/10/2010) itu dikeluarkan satu per satu. Ya, aktivitas kami setelah "mengawasi" tempat sampah adalah memilah sampah yang ada di dalam kantong plastik itu. Lho, kenapa harus dipilah lagi? Bukankah setiap tempat sampah sudah diberi KTP? Hal itu sudah saya bahas dalam celoteh sebelumnya.
Satu demi satu kantong sampah itu kami pilah isinya. Kami pisahkan mana yang botol, wadah makan, sendok plastik, gelas air mineral, gelas-gelas bekas kopi , gelas minuman soda, plastik, dan sisa makanan. Karena sebagian besar dari para sampah ini belum dipilah saat dibuang, jadilah kami yang membuang semua sisa makanan yang masih ada di dalam wadah makan berbahan plastik itu. Hal itu kami lakukan dengan cepat sambil tetap berceloteh (khusus saya, :D). Menurut saya kurang rasanya jika aktivitas memilah sampah ini dilakukan dalam kondisi tenang seperti di perpustakaan. Butuh sedikit kegaduhan untuk menyingkirkan atau mengalihkan bau tak sedap terutama dari kantong-kantong yang isinya telah berfermentasi.
Sekilas saya teringat dengan sebuah tulisan dalam blog milik Julia Dimon (www.traveljunkiejulia.com), seorang travel writer National Geographic. Mbak Julia ini menceritakan bagaimana saat dia menjadi relawan untuk memandikan gajah dalam liburannya. Liburan yang menarik bukan? Berlibur sekaligus berbuat kebaikan seakan menjadi paket sempurna dalam sebuah perjalanan. Begitu juga dengan kami di sini. Meski tidak berbasah-basahan dengan para gajah, saya pikir akhir pekan kali ini saya mengambil keputusan liburan yang sangat tepat. Datang ke sebuah calon pusat perbelanjaan, bukan dalam rangka survei produk atau orientasi ruang melainkan untuk mengenal lebih dekat sosok sampah dalam kehidupan saya. Sampah yang sesungguhnya sangat dekat dengan keseharian saya namun belum saya dalami sifat dan jenisnya. Maka sore itu, dengan sedikit mendung dan perasaan was-was diguyur hujan, saya menyatu dengan tumpukan sampah dalam kantong sampah.
Apakah kegiatan memilah sampah adalah sesuatu yang, maaf, menjijikkan? Saya kok, berpikir tidak sampai ke arah sana. Setelah saya memasrahkan kedua tangan saya untuk bereksplorasi di dalam kantong berpenghuni sampah, saya merasa bebas. Tidak ada lagi kata jijik ketika sampah demi sampah itu terkumpul dalam kelompoknya masing-masing. Toh, sehabis itu saya bisa dengan leluasa masuk ke dalam toilet dan mencuci tangan dengan sabun beraroma kopi milik empu-nya Epicentrum Walk ini. Jurus tak kenal maka tak sayang itu tepat sekali untuk urusan yang satu ini. Ketika kita sudah terbiasa dengan sampah maka aroma dan bentuk yang mungkin sudah tak sedap lagi seperti teralihkan.
Apa yang saya lakukan sebenarnya sangat jauh dengan yang dilakukan oleh para pemburu sampah di Bantar Gebang misalnya. Setiap hari mereka harus memilah sampah di tumpukan sampah yang sudah menjelma bukit. Lalat yang menemani kami sore itu tentunya kalah jumlah dengan lalat penghuni Bantar Gebang. Belum lagi longsoran bukit sampah yang pasti mengancam nyawa. Hal kecil yang kami lakukan sore itu terasa di ujung lidah saja.
Tiba-tiba urusan sampah menjadi menarik bagi saya sore itu. Teringat juga tentang garbage of archaeology (ahlinya dikenal sebagai garbolog) yang sudah populer di negeri Paman Sam. Garbage of Archaeology atau arkeologi sampah sebenarnya sebuah pendekatan baru di dalam dunia arkeologi. Para garbolog itu akan mempelajari "fresh garbage" untuk merekonstruksi perilaku dan budaya manusia. Sepertinya topik khusus ini akan saya dalami untuk tulisan lebih serius beberapa waktu ke depan. Cukup menarik karena dari sampah kita bisa melihat demografi penduduk, tingkat konsumtif masyarakat, identifikasi produk budaya, kepunahan populasi, dan segudang interpretasi lainnya.
Sampah sejak sore itu bukan lagi sekedar sesuatu yang benar-benar sudah tak terpakai lagi bagi saya. Bentuk dan aromanya yang lebih sering tidak menarik justru menyimpan banyak hal yang bisa dipelajari lebih jauh lagi. Hebatnya, tidak hanya orang-orang yang peduli lingkungan saja yang bisa bersenang-senang dengan topik sampah. Lulusan arkeologi seperti saya pun sebenarnya bisa menggali lebih dalam lagi perihal sampah ini.
Satu demi satu kantong sampah itu kami pilah isinya. Kami pisahkan mana yang botol, wadah makan, sendok plastik, gelas air mineral, gelas-gelas bekas kopi , gelas minuman soda, plastik, dan sisa makanan. Karena sebagian besar dari para sampah ini belum dipilah saat dibuang, jadilah kami yang membuang semua sisa makanan yang masih ada di dalam wadah makan berbahan plastik itu. Hal itu kami lakukan dengan cepat sambil tetap berceloteh (khusus saya, :D). Menurut saya kurang rasanya jika aktivitas memilah sampah ini dilakukan dalam kondisi tenang seperti di perpustakaan. Butuh sedikit kegaduhan untuk menyingkirkan atau mengalihkan bau tak sedap terutama dari kantong-kantong yang isinya telah berfermentasi.
Sekilas saya teringat dengan sebuah tulisan dalam blog milik Julia Dimon (www.traveljunkiejulia.com), seorang travel writer National Geographic. Mbak Julia ini menceritakan bagaimana saat dia menjadi relawan untuk memandikan gajah dalam liburannya. Liburan yang menarik bukan? Berlibur sekaligus berbuat kebaikan seakan menjadi paket sempurna dalam sebuah perjalanan. Begitu juga dengan kami di sini. Meski tidak berbasah-basahan dengan para gajah, saya pikir akhir pekan kali ini saya mengambil keputusan liburan yang sangat tepat. Datang ke sebuah calon pusat perbelanjaan, bukan dalam rangka survei produk atau orientasi ruang melainkan untuk mengenal lebih dekat sosok sampah dalam kehidupan saya. Sampah yang sesungguhnya sangat dekat dengan keseharian saya namun belum saya dalami sifat dan jenisnya. Maka sore itu, dengan sedikit mendung dan perasaan was-was diguyur hujan, saya menyatu dengan tumpukan sampah dalam kantong sampah.
Apakah kegiatan memilah sampah adalah sesuatu yang, maaf, menjijikkan? Saya kok, berpikir tidak sampai ke arah sana. Setelah saya memasrahkan kedua tangan saya untuk bereksplorasi di dalam kantong berpenghuni sampah, saya merasa bebas. Tidak ada lagi kata jijik ketika sampah demi sampah itu terkumpul dalam kelompoknya masing-masing. Toh, sehabis itu saya bisa dengan leluasa masuk ke dalam toilet dan mencuci tangan dengan sabun beraroma kopi milik empu-nya Epicentrum Walk ini. Jurus tak kenal maka tak sayang itu tepat sekali untuk urusan yang satu ini. Ketika kita sudah terbiasa dengan sampah maka aroma dan bentuk yang mungkin sudah tak sedap lagi seperti teralihkan.
Apa yang saya lakukan sebenarnya sangat jauh dengan yang dilakukan oleh para pemburu sampah di Bantar Gebang misalnya. Setiap hari mereka harus memilah sampah di tumpukan sampah yang sudah menjelma bukit. Lalat yang menemani kami sore itu tentunya kalah jumlah dengan lalat penghuni Bantar Gebang. Belum lagi longsoran bukit sampah yang pasti mengancam nyawa. Hal kecil yang kami lakukan sore itu terasa di ujung lidah saja.
Tiba-tiba urusan sampah menjadi menarik bagi saya sore itu. Teringat juga tentang garbage of archaeology (ahlinya dikenal sebagai garbolog) yang sudah populer di negeri Paman Sam. Garbage of Archaeology atau arkeologi sampah sebenarnya sebuah pendekatan baru di dalam dunia arkeologi. Para garbolog itu akan mempelajari "fresh garbage" untuk merekonstruksi perilaku dan budaya manusia. Sepertinya topik khusus ini akan saya dalami untuk tulisan lebih serius beberapa waktu ke depan. Cukup menarik karena dari sampah kita bisa melihat demografi penduduk, tingkat konsumtif masyarakat, identifikasi produk budaya, kepunahan populasi, dan segudang interpretasi lainnya.
Sampah sejak sore itu bukan lagi sekedar sesuatu yang benar-benar sudah tak terpakai lagi bagi saya. Bentuk dan aromanya yang lebih sering tidak menarik justru menyimpan banyak hal yang bisa dipelajari lebih jauh lagi. Hebatnya, tidak hanya orang-orang yang peduli lingkungan saja yang bisa bersenang-senang dengan topik sampah. Lulusan arkeologi seperti saya pun sebenarnya bisa menggali lebih dalam lagi perihal sampah ini.
Comments
Sebenarnya belum dalam sih, soalnya ga bisa berenang jadi baru permukaan saja. hehehehe