Pasar Malam Kupang
Apa yang lewat di benak kita jika mendengar kata “Pasar Malam”? Tentunya muncul suatu tempat berupa lapangan luas yang disirami dengan warna warni cahaya lampu. Aneka rupa jajanan tersedia dan sangat menggoda. Suara riuh di dalam Tong Setan, jeritan yang sedikit dipaksakan dari Rumah Hantu, bianglala raksasa yang sangat ceria, kereta mini yang menyusup di keramaian, barang-barang dan segala pernak pernik yang memukau, serta permainan-permainan spektakuler yang digerakkan bukan oleh mesin melainkan oleh tenaga manusia. Wow, pastilah seru berada di Pasar Malam. Namun, bagaimana jika kata “Pasar Malam” itu kita bawa ke daerah bernama Kupang? Sebuah kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Pulau Timor.
Beberapa hari sebelum saya bertolak ke Kupang, seorang teman sudah rajin mengingatkan untuk tidak melewatkan “Pasar Malam” di Kupang. Suasana bak taman ria langsung hinggap di kepala saya. Jauh-jauh ke Kupang, saya dilarang untuk melewatkan gegap gempita pasar malam yang sering saya datangi saat acara Sekaten di Jogja. Saat itu, saya tidak langsung protes, cukup menyimpan pertanyaan di dalam hati saja. Ke Kupang untuk sebuah “Pasar Malam”. Mungkin perjalanan saya akan sempurna dengan kunjungan itu.
Setelah di Kupang, kota berangin yang sangat kecil, saya mendapat jawabannya. “Pasar Malam” yang selalu disebut-sebut teman saya adalah sebuah tempat yang digunakan oleh warga Kupang untuk memanjakan lidah di malam hari. “Pasar Malam” yang dimaksud rupanya sama seperti SEMAWIS di Semarang, atau KEMBANG JEPUN di Surabaya. Hanya saja, “Pasar Malam” ini buka setiap hari, dari pukul 17.00 WITA – 22.00 WITA.
Pasar malam ini berlokasi di Jl. Garuda, tepat di sisi selatan Pantai Kupang. Siang hari, kawasan ini difungsikan sebagai pertokoan dengan komoditas yang beragam. Kawasan ini juga masih bagian dari kawasan Pecinan Kupang.
Aneka rupa panganan disajikan di sini. Sebagian besar didominasi oleh masakan dari Pulau Jawa, seperti pecel lele dan bakso. Tapi panganan sea food tetap menjadi primadona bagi siapa saja yang datang ke sini. Harga sea food saya piker kok mengikuti musim tangkap yak. Saya sempat kaget karena dibandrol harga yang lumayan tinggi untuk jenis ikan kerapu (Rp 50.000,-) ukuran sedang. Mungkin saja musim yang makin abstrak ini turut berpengaruh pada hasil tangkapan dan harga ikan di pasaran. Selain sea food, panganan yang patut dicoba adalah kalesong. Panganan yang terbuat dari tepung beras ini teksturnya renyah dengan rasa yang sangat gurih. Bisa langsung dimakan tanpa harus ditemani dengan saus atau pun sambal. Harganya juga sangat terjangkau, cukup Rp 1.000,- saja.
Ada lagi panganan yang sebenarnya bisa dijumpai dimana saja, jagung dan pisang bakar. Tapi yang membuat mereka unik adalah si penjual. Saya cukup sering untuk ditolak konsumen jika menjual sesuatu. Giliran berperan sebagai konsumen, saya kok tetap ditolak. Yep, saya ditolak mentah-mentah dengan si ibu pisang bakar saat hendak memesan. Alasannya dong yang keren banget. Si Ibu beralasan jika pesanan pisang bakarnya saat itu sangat banyak. Jadi jika saya ingin memesan pisang bakar, belum bisa. Jagung bakar juga belum bisa dipesan. Padahal, si Ibu masih bisa mengatur tata letak pisang yang sedang di atas bara api itu. Tapi dia lebih memilih kualitas dibandingkan kuantitas. Bravo buat si Ibu, meskipun membuat saya dongkol setengah mati.
“Pasar Malam” Kupang memang tidak menyediakan bianglala, Tong Setan, dan Rumah Hantu. Namun, dari sinilah kehangatan warga Kupang menjadi satu. Lewat kepulan asap ikan bakar, temaram lilin si jagung bakar, renyahnya suara penggorengan pecel lele, dan harumnya aroma kuah bakso Solo.
(Jakarta, 27 September 2010).
Beberapa hari sebelum saya bertolak ke Kupang, seorang teman sudah rajin mengingatkan untuk tidak melewatkan “Pasar Malam” di Kupang. Suasana bak taman ria langsung hinggap di kepala saya. Jauh-jauh ke Kupang, saya dilarang untuk melewatkan gegap gempita pasar malam yang sering saya datangi saat acara Sekaten di Jogja. Saat itu, saya tidak langsung protes, cukup menyimpan pertanyaan di dalam hati saja. Ke Kupang untuk sebuah “Pasar Malam”. Mungkin perjalanan saya akan sempurna dengan kunjungan itu.
Setelah di Kupang, kota berangin yang sangat kecil, saya mendapat jawabannya. “Pasar Malam” yang selalu disebut-sebut teman saya adalah sebuah tempat yang digunakan oleh warga Kupang untuk memanjakan lidah di malam hari. “Pasar Malam” yang dimaksud rupanya sama seperti SEMAWIS di Semarang, atau KEMBANG JEPUN di Surabaya. Hanya saja, “Pasar Malam” ini buka setiap hari, dari pukul 17.00 WITA – 22.00 WITA.
Pasar malam ini berlokasi di Jl. Garuda, tepat di sisi selatan Pantai Kupang. Siang hari, kawasan ini difungsikan sebagai pertokoan dengan komoditas yang beragam. Kawasan ini juga masih bagian dari kawasan Pecinan Kupang.
Aneka rupa panganan disajikan di sini. Sebagian besar didominasi oleh masakan dari Pulau Jawa, seperti pecel lele dan bakso. Tapi panganan sea food tetap menjadi primadona bagi siapa saja yang datang ke sini. Harga sea food saya piker kok mengikuti musim tangkap yak. Saya sempat kaget karena dibandrol harga yang lumayan tinggi untuk jenis ikan kerapu (Rp 50.000,-) ukuran sedang. Mungkin saja musim yang makin abstrak ini turut berpengaruh pada hasil tangkapan dan harga ikan di pasaran. Selain sea food, panganan yang patut dicoba adalah kalesong. Panganan yang terbuat dari tepung beras ini teksturnya renyah dengan rasa yang sangat gurih. Bisa langsung dimakan tanpa harus ditemani dengan saus atau pun sambal. Harganya juga sangat terjangkau, cukup Rp 1.000,- saja.
Ada lagi panganan yang sebenarnya bisa dijumpai dimana saja, jagung dan pisang bakar. Tapi yang membuat mereka unik adalah si penjual. Saya cukup sering untuk ditolak konsumen jika menjual sesuatu. Giliran berperan sebagai konsumen, saya kok tetap ditolak. Yep, saya ditolak mentah-mentah dengan si ibu pisang bakar saat hendak memesan. Alasannya dong yang keren banget. Si Ibu beralasan jika pesanan pisang bakarnya saat itu sangat banyak. Jadi jika saya ingin memesan pisang bakar, belum bisa. Jagung bakar juga belum bisa dipesan. Padahal, si Ibu masih bisa mengatur tata letak pisang yang sedang di atas bara api itu. Tapi dia lebih memilih kualitas dibandingkan kuantitas. Bravo buat si Ibu, meskipun membuat saya dongkol setengah mati.
“Pasar Malam” Kupang memang tidak menyediakan bianglala, Tong Setan, dan Rumah Hantu. Namun, dari sinilah kehangatan warga Kupang menjadi satu. Lewat kepulan asap ikan bakar, temaram lilin si jagung bakar, renyahnya suara penggorengan pecel lele, dan harumnya aroma kuah bakso Solo.
(Jakarta, 27 September 2010).
Comments