Menjajal Surga Kuliner Condet
Perasaan senang tak terkira ketika wacana menjelma menjadi sesuatu yang nyata. Begitulah yang saya rasakan ketika pada akhirnya saya mendapatkan kesempatan jalan-jalan menelusuri beberapa titik kuliner di daerah Condet (13/11/2010) bersama komunitas Rantang. Tujuan dari jalan-jalan berkedok survei ini sangat jelas, datang dengan perut yang diasup tak maksimal dan pulang dengan membawa rasa kenyang yang memuaskan.
Kali ini saya datang dengan kepala kosong (seperti biasa). Meskipun berkali-kali membaca referensi perjalanan, namun kemalasan saya lebih dominan. Maka dalih datang ke lokasi untuk menggali sedalam-dalamnya informasi tanpa terkontaminasi informasi sekunder pun saya jadikan landasar berpikir. Dan benar, saya tak tahu menahu tentang daerah Condet. Daerah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya (oleh Gubernur DKI melalui SK Gubernur KDKI-Jakarta KOD.1-7907/1/30/75 sejak 3 April 1976*) ini ternyata menyimpan sejuta potensi. Bukan hanya soal kuliner melulu, namun aspek sosial budaya yang menarik untuk ditelusuri (mungkin lain waktu).
Jalan-jalan yang dijadwalkan dimulai sejak hari masih muda ini terpaksa diundur beberapa jam karena banyak hal. Jadilah kami memulai perjalanan dari pukul 11. Tujuan pertama kami berada di pinggir Jalan Raya Condet. Warung kecil yang mempunyai spanduk salah satu produk pelumas motor ini tampak menggoda dengan deretan kue-kue tradisionalnya. Warung Kue Bu Yeyen, begitu saya memberikan nama pada warung mungil di pinggir Jalan Raya Condet ini. Warung yang dibuka sejak 1998 ini menjual aneka kue, mulai dari yang tradisional seperti kue cincin, sambosa, talam udang, talam manis, tape uli, wingko babat, putri, pepe, mangkuk, hingga donat coklat dan keju yang kental dengan pengaruh luar. Kue-kue itu merupakan kue titipan yang dibuat oleh saudara-saudara dan kenalan Bu Yeyen. Di dalam warung masih bisa dijumpai kursi panjang khas Betawi. Menikmati kue talam udang sambil duduk di atas kursi bersejarah masuk dalam ruang tersendiri dalam ingatan saya.
Pemanasan di Warung Bu Yeyen cukup untuk memulai perjalanan selanjutnya. Kami berbalik arah memasuki Jl. Batu Ampar 1. Di kiri kanan sepanjang gang ini hingga belokan ke kiri menuju Jl. Budaya dipenuhi oleh warung makan. Mulai dari makanan ringan yang hanya mampu menggelitik lambung hingga makanan berat untuk cadangan energi selama beberapa jam. Dari sekian banyak warung yang ada, kami memilih singgah di Warung Khas Betawi Hj. Husna. Satu makanan yang paling saya cari disini adalah nasi ulam. Nasi yang membuat saya penasaran karena belum pernah mencobanya hingga detik ini. Nasi yang hanya sepotong-sepotong dalam benak saya, yang tidak jauh dari “peranakan”, wangi, dan mungkin sekali bersaudara dengan nasi gemuk (sejenis nasi uduk di Jambi). Nasi yang sayangnya masih belum bisa saya rasakan di warung Khas Betawi Hj. Husna hari ini. Tak apalah, mungkin lain waktu saya akan cicipi si nasi ulam ini.
Di warung Hj. Husna siang itu diramaikan oleh pembeli yang datang dan pergi. Hampir tak pernah berhenti. Sebagian pembeli menikmati langsung makanan yang masih terasa nafas dapurnya itu, sebagian lagi membawa pulang lauk pauk, dan sebagian lagi sibuk memotret, mencatat, mewawancarai, tanpa lupa membeli. Warung yang mulai beroperasi sejak 1980an ini cukup unik di mata saya. Pertama, Bu Hj. Husna tidak menggunakan kalkulator selama proses penghitungan belanjaan pembeli (mungkin ada kalkulator, tapi saya tidak melihatnya). Kedua karena sistem pembukuan masih mengadopsi sistem paling lawas, Bu Haji hanya mencatat semua pemasukan di sebuah buku yang pernah saya gunakan dulu zaman SD-SMP. Semua pemasukan hari itu terekam jelas dalam catatan tangan Bu Haji di dalam buku yang mulai lusuh itu. Ketiga, si ibu masih melayani pelanggan bersama dengan seorang pegawai setianya sejak puluhan tahun yang lalu. Sebuah pemandangan langka bagi saya, karena hal itu hanya sering dijumpai dalam hubungan tata kelola rumah tangga (majikan dan orang yang membantu majikan). Hubungan yang begitu langgeng itu kemungkinan besar dipengaruhi oleh keramahan dari si empunya warung khas Betawi ini. Bayangkan saja, Bu Haji dengan sabarnya melayani pertanyaan-pertanyaan kami di sela-sela pekerjaannya yang juga melayani pembeli yang tak pernah habis itu. Tidak hanya itu, saat berpamitan kami mendapatkan oncom goreng dan aneka gorengan tepung gratis. Menarik bukan?
Mendekati waktu makan siang, kami singgah di Warung Makan Haji Mamas. Namun, kue oncom dan kue lupis Betawi menggoda kami untuk singgah dahulu di Warung Pak Tamin. Pak Tamin sedang mengisi beras ketan ke dalam wadah-wadah terakhir hari itu. Selembar daun pisang yang sudah dipotong kemudian digulung dengan bambu berukuran sekitar 30 cm. Bambu ditarik dari daun pisang, sehingga daun yang tadinya berbentuk persegi kini serupa tabung yang dapat diisi. Beras ketan yang sudah ditakar dalam gelas kecil dimasukkan ke dalam daun itu hingga penuh. Daun yang sudah berisi itu diikat dengan raffia untuk selanjutnya direbus sekitar 6 jam. Pak Tamin begitu lihai dalam mengolah kue lupis Betawi ini. Kue yang awalnya saya pikir semacam “lemang” ini sudah dibuat dan dijual oleh Pak Tamin sejak 20 tahun yang lalu. Menurut Pak Tamin, bahan dasar kue adalah beras ketan Mandarin impor dari Cina atau Taiwan. Kalau menggunakan beras ketan lokal atau jenis yang lain rasanya menjadi tidak istimewa lagi. Begitu juga halnya dengan media perebusan. Harus menggunakan kompor minyak, tidak boleh dengan kompor gas. Masih menurut Pak Tamin, yang rasa yang paling dahsyat sebenarnya adalah kue lupis yang direbus dengan kayu bakar. Namun, karena kesulitan mencari sumber bahan, Pak Tamin akhirnya menggunakan kompor minyak. Kue lupis yang sudah matang kemudian dipotong dengan benang, lalu dicocol ke dalam saos gula merah yang sangat manis.
Ternyata kami masih dimanjakan dengan keramahan Pak Tamin sekeluarga. Kami diizinkan untuk melihat proses pembuatan risol di bagian belakang rumah. Di dapur berukuran lebih kurang 1,5 m x 1,5 m inilah Nik Nanung mengolah kue risol. Nik Nanung ini membuat sendiri kulit risolnya. Selain karena lebih murah biaya produksinya, kulit risol yang dijual di pasaran kualitasnya makin tak menentu. Setiap hari Nik Nanung membuat 300 risol dari 12 kg tepung terigu, 3 kg telur ayam, dan 2 kg bihun. Isi risol cukup sederhana, bihun dan wortel. Risol seharga Rp 1.500 ini mulai digoreng pukul 02.00 pagi. Maklum, warung Pak Tamin buka sejak pukul 02.00 pagi. Walaupun buka dini hari, Pak Tamin dan Nik Nanung tak kekurangan pelanggan. Komunitas anak muda yang hobi kopi darat malam hari rajin mampir untuk memborong risol di sini.
Bersebelahan dengan Warung Pak Tamin, sebuah warung yang menyajikan dodol Betawi siap menyambut kami. Warung Makan Haji Mamas, begitu nama yang tercetak dalam spanduk bergambar Mak Haji yang ternyata enggan difoto ini. Warung makan ini sebenarnya menyediakan aneka makanan sama seperti di Warung Khas Betawi Hj. Husna. Namun, sebagian besar makanan itu tinggal wadahnya saja. Untungnya kami sempat mencicipi sayur asem Mak Haji. Rasanya pedas, tidak seperti sayur asem yang selama ini saya makan. Sayur asem yang sangat sederhana ini ternyata tidak menggunakan gula putih di dalamnya. Isinya pun standar seperti sayur asem biasanya, hanya pepaya muda, jagung, dan cabai. Ada juga sayur kulit melinjo yang meskipun enak tak akan pernah saya makan karena tak pernah suka.
Sebenarnya menu dagangan utama Mak Haji (sapaan untuk Bu Haji Mamas) adalah dodol Betawi. Mak Haji adalah salah satu produsen dodol Betawi yang tersisa di daerah Condet. Dengan lancar Mak Haji bercerita jika di daerah ini dulu merupakan sentra pembuat dodol Betawi. Dahulu permukiman tidak sepadat sekarang. Masih banyak kebun yang bisa dijadikan tempat pembuatan dodol. Hampir setiap rumah membuat dodol. Ibaratnya, meskipun tidak punya baju, namun harus bisa membuat dodol. Begitulah falsafah ibu dari Mak Haji saat awal membuat dodol. Di era 70an, masih banyak pembuat dodol di kawasan ini. Lambat laun, seiring dengan perubahan tata ruang, satu per satu pembuat dodol itu pensiun dini. Kini tinggal Mak Haji sebagai pewaris tunggal yang meneruskan usaha orang tuanya. Usaha dodol ini dimulai pada 1985. Saat itu belum begitu terkenal, baru pada awal 1990an warung Mak Haji mulai bersinar. Saat ini, Mak Haji membuat tiga kuali adonan setiap hari yang bisa menghasilkan 22 besek dodol. Jika menjelang hari raya produksi meningkat hingga 30 kuali setiap harinya.
Dodol Mak Haji yang mulai digemari konsumen saat ini adalah jenis dodol ketan hitam yang menggunakan ketan hitam sebagai campurannya. Mak Haji menggunakan gula super untuk setiap adonannya. Gula seharga Rp 60.000,-an satu peti ini memberikan rasa yang lebih mantab ketimbang gula pasir biasa. Memang, setelah dicoba dodol Haji Mamas ini rasanya tidak terlalu manis seperti dodol kebanyakan. Jadi sekali gigit rasanya ingin tambah terus. Wajar saja meski sudah memiliki satu cabang di tempat lain, para pelanggan tetap memburu “sumber” pertama dodol ini (salah satu ciri khas kognitif manusia..:D). Dodol Mak Haji pun dikenal hingga Arab Saudi. Para TKI yang mudik sering membeli dodol Haji Mamas sebagai buah tangan untuk dibawa ke negeri Arab. Ternyata dodol Haji Mamas laris manis di Arab sana.
Kawasan yang kental dengan pengaruh Arab ini mau tak mau mengajak kami untuk mampir di salah satu warung penjaja roti jala dan roti cane. Maka mampirlah kami di Warung Sate Tegal Abu Salim. Setelah masuk, ternyata tidak ada yang istimewa selain aroma kambing yang cukup menyengat di dalam ruangan berukuran luas itu. Tidak ada kuah kare di sini, juga tidak ada roti cane. Semua makanan jenis roti-rotian tampaknya diutamakan untuk dibawa pulang. Mereka tersimpan di dalam lemari pendingin yang sangat besar. Kami memutuskan untuk minum-minum saja di sini ditemani roti manis isi kacang hijau tumbuk yang dicampur dengan jinten hitam dan kapulaga, sembari menunggu hujan reda. Saya memesan kopi. Beberapa teman yang lain mencoba susu kambing ditambah madu (tak terbayang rasanya). Kopi yang saya pesan pun ternyata bukan kopi Arab (masih penasaran dengan kopi Arab). Maka, kopi yang terasa sangat datar itu pun saya seruput seperti minum air putih. Tidak ada yang menarik perhatian saya di warung ini selain aroma kambing yang tak kunjung pergi dan aksen “medhok” Jawa dari bapak penjaga kasir dengan tampang 70 % Arab.
Kurang puas di Warung Sate Tegal Abu Salim kami menjajal nasi kebuli di Restoran Puas Ibu Haji Maryam. Menurut keterangan yang tertulis di daftar menu, restoran ini berdiri sejak 1965. Menyajikan berbagai panganan berbau Timur Tengah. Ada roti jala yang ingin sekali saya coba. Ada roti cane, nasi kebuli, aneka makanan berbahan dasar kambing, martabak, sambosa daging dan keju, teh tarik, es kopyor, dan masih banak lagi. Tidak seperti di warung sebelumnya, saya tidak mencium aroma kambing di sini. Bahkan ketika kami menyantap makanan berbahan dasar kambing. Yang ada hanya komentar-komentar biasa yang tampak seperti luar biasa mengenani makanan yang kami pesan. Nasi kebuli campur kismis, roti sambosa, kuah kare, dan teh tarik menutup perjalanan saya kali ini di Condet. Di luar, hujan sudah berhenti.
Poin kunjungan:
1. Warung Kue Bu Yeyen: Jalan Raya Condet, beberapa meter setelah Gang Batu Ampar 1. Buka pukul 06.00 WIB dan tutup pukul 17.30 WIB. Harga berkisar Rp 1.000,- /kue.
2. Warung Khas Betawi Hj. Husna: Jl. Budaya RT. 10/04 Kramat Jati, Jakarta Timur. No. Telp. (021) 8006683. Menyediakan nasi ulam, aneka pepes (ikan teri dan ikan-ikan yang lain), ikan goreng, semur jengkol, sambal jengkol, oncom goreng, gorengan udang tepung, tempe tepung goreng, asinan betawi, serta aneka lalapan (dengan daun popohan).
3. Warung Pak Tamin: Jl. Batu Ampar I, Condet, Jakarta Timur. Di sebelah Warung Makan Haji Mamas. Menyediakan kue oncom, kue lapis, dan risol. Buka pukul 02.00 dan tutup pukul 20.00.
4. Warung Makan Haji Mamas: Jl. Batu Ampar I No. 42 Condet, Jakarta Timur. No. Telp. (021) 80881977. Menyediakan aneka lauk pauk, sayur asem Betawi, dodol Betawi.
5. Sate Tegal Abu Salim: Jalan Raya Condet No. 2 RT.002/01, Telp. 021 80878632. Menyediakan sate kambing tentunya. Bersama para roti untuk dibawa pulang.
6. Restoran Puas Ibu Haji Maryam: Jalan Condet Raya No. 78 dekat Masjid As Sholihin Jaktim, 021 80878417. Menyediakan roti jala, roti cane, sambosa daging dan keju, nasi kebuli, kambing goreng, teh tarik, martabak. Harga berkisar antara Rp 3.000,- hingga Rp 50.000,-.
Kali ini saya datang dengan kepala kosong (seperti biasa). Meskipun berkali-kali membaca referensi perjalanan, namun kemalasan saya lebih dominan. Maka dalih datang ke lokasi untuk menggali sedalam-dalamnya informasi tanpa terkontaminasi informasi sekunder pun saya jadikan landasar berpikir. Dan benar, saya tak tahu menahu tentang daerah Condet. Daerah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya (oleh Gubernur DKI melalui SK Gubernur KDKI-Jakarta KOD.1-7907/1/30/75 sejak 3 April 1976*) ini ternyata menyimpan sejuta potensi. Bukan hanya soal kuliner melulu, namun aspek sosial budaya yang menarik untuk ditelusuri (mungkin lain waktu).
Jalan-jalan yang dijadwalkan dimulai sejak hari masih muda ini terpaksa diundur beberapa jam karena banyak hal. Jadilah kami memulai perjalanan dari pukul 11. Tujuan pertama kami berada di pinggir Jalan Raya Condet. Warung kecil yang mempunyai spanduk salah satu produk pelumas motor ini tampak menggoda dengan deretan kue-kue tradisionalnya. Warung Kue Bu Yeyen, begitu saya memberikan nama pada warung mungil di pinggir Jalan Raya Condet ini. Warung yang dibuka sejak 1998 ini menjual aneka kue, mulai dari yang tradisional seperti kue cincin, sambosa, talam udang, talam manis, tape uli, wingko babat, putri, pepe, mangkuk, hingga donat coklat dan keju yang kental dengan pengaruh luar. Kue-kue itu merupakan kue titipan yang dibuat oleh saudara-saudara dan kenalan Bu Yeyen. Di dalam warung masih bisa dijumpai kursi panjang khas Betawi. Menikmati kue talam udang sambil duduk di atas kursi bersejarah masuk dalam ruang tersendiri dalam ingatan saya.
Pemanasan di Warung Bu Yeyen cukup untuk memulai perjalanan selanjutnya. Kami berbalik arah memasuki Jl. Batu Ampar 1. Di kiri kanan sepanjang gang ini hingga belokan ke kiri menuju Jl. Budaya dipenuhi oleh warung makan. Mulai dari makanan ringan yang hanya mampu menggelitik lambung hingga makanan berat untuk cadangan energi selama beberapa jam. Dari sekian banyak warung yang ada, kami memilih singgah di Warung Khas Betawi Hj. Husna. Satu makanan yang paling saya cari disini adalah nasi ulam. Nasi yang membuat saya penasaran karena belum pernah mencobanya hingga detik ini. Nasi yang hanya sepotong-sepotong dalam benak saya, yang tidak jauh dari “peranakan”, wangi, dan mungkin sekali bersaudara dengan nasi gemuk (sejenis nasi uduk di Jambi). Nasi yang sayangnya masih belum bisa saya rasakan di warung Khas Betawi Hj. Husna hari ini. Tak apalah, mungkin lain waktu saya akan cicipi si nasi ulam ini.
Di warung Hj. Husna siang itu diramaikan oleh pembeli yang datang dan pergi. Hampir tak pernah berhenti. Sebagian pembeli menikmati langsung makanan yang masih terasa nafas dapurnya itu, sebagian lagi membawa pulang lauk pauk, dan sebagian lagi sibuk memotret, mencatat, mewawancarai, tanpa lupa membeli. Warung yang mulai beroperasi sejak 1980an ini cukup unik di mata saya. Pertama, Bu Hj. Husna tidak menggunakan kalkulator selama proses penghitungan belanjaan pembeli (mungkin ada kalkulator, tapi saya tidak melihatnya). Kedua karena sistem pembukuan masih mengadopsi sistem paling lawas, Bu Haji hanya mencatat semua pemasukan di sebuah buku yang pernah saya gunakan dulu zaman SD-SMP. Semua pemasukan hari itu terekam jelas dalam catatan tangan Bu Haji di dalam buku yang mulai lusuh itu. Ketiga, si ibu masih melayani pelanggan bersama dengan seorang pegawai setianya sejak puluhan tahun yang lalu. Sebuah pemandangan langka bagi saya, karena hal itu hanya sering dijumpai dalam hubungan tata kelola rumah tangga (majikan dan orang yang membantu majikan). Hubungan yang begitu langgeng itu kemungkinan besar dipengaruhi oleh keramahan dari si empunya warung khas Betawi ini. Bayangkan saja, Bu Haji dengan sabarnya melayani pertanyaan-pertanyaan kami di sela-sela pekerjaannya yang juga melayani pembeli yang tak pernah habis itu. Tidak hanya itu, saat berpamitan kami mendapatkan oncom goreng dan aneka gorengan tepung gratis. Menarik bukan?
Mendekati waktu makan siang, kami singgah di Warung Makan Haji Mamas. Namun, kue oncom dan kue lupis Betawi menggoda kami untuk singgah dahulu di Warung Pak Tamin. Pak Tamin sedang mengisi beras ketan ke dalam wadah-wadah terakhir hari itu. Selembar daun pisang yang sudah dipotong kemudian digulung dengan bambu berukuran sekitar 30 cm. Bambu ditarik dari daun pisang, sehingga daun yang tadinya berbentuk persegi kini serupa tabung yang dapat diisi. Beras ketan yang sudah ditakar dalam gelas kecil dimasukkan ke dalam daun itu hingga penuh. Daun yang sudah berisi itu diikat dengan raffia untuk selanjutnya direbus sekitar 6 jam. Pak Tamin begitu lihai dalam mengolah kue lupis Betawi ini. Kue yang awalnya saya pikir semacam “lemang” ini sudah dibuat dan dijual oleh Pak Tamin sejak 20 tahun yang lalu. Menurut Pak Tamin, bahan dasar kue adalah beras ketan Mandarin impor dari Cina atau Taiwan. Kalau menggunakan beras ketan lokal atau jenis yang lain rasanya menjadi tidak istimewa lagi. Begitu juga halnya dengan media perebusan. Harus menggunakan kompor minyak, tidak boleh dengan kompor gas. Masih menurut Pak Tamin, yang rasa yang paling dahsyat sebenarnya adalah kue lupis yang direbus dengan kayu bakar. Namun, karena kesulitan mencari sumber bahan, Pak Tamin akhirnya menggunakan kompor minyak. Kue lupis yang sudah matang kemudian dipotong dengan benang, lalu dicocol ke dalam saos gula merah yang sangat manis.
Ternyata kami masih dimanjakan dengan keramahan Pak Tamin sekeluarga. Kami diizinkan untuk melihat proses pembuatan risol di bagian belakang rumah. Di dapur berukuran lebih kurang 1,5 m x 1,5 m inilah Nik Nanung mengolah kue risol. Nik Nanung ini membuat sendiri kulit risolnya. Selain karena lebih murah biaya produksinya, kulit risol yang dijual di pasaran kualitasnya makin tak menentu. Setiap hari Nik Nanung membuat 300 risol dari 12 kg tepung terigu, 3 kg telur ayam, dan 2 kg bihun. Isi risol cukup sederhana, bihun dan wortel. Risol seharga Rp 1.500 ini mulai digoreng pukul 02.00 pagi. Maklum, warung Pak Tamin buka sejak pukul 02.00 pagi. Walaupun buka dini hari, Pak Tamin dan Nik Nanung tak kekurangan pelanggan. Komunitas anak muda yang hobi kopi darat malam hari rajin mampir untuk memborong risol di sini.
Bersebelahan dengan Warung Pak Tamin, sebuah warung yang menyajikan dodol Betawi siap menyambut kami. Warung Makan Haji Mamas, begitu nama yang tercetak dalam spanduk bergambar Mak Haji yang ternyata enggan difoto ini. Warung makan ini sebenarnya menyediakan aneka makanan sama seperti di Warung Khas Betawi Hj. Husna. Namun, sebagian besar makanan itu tinggal wadahnya saja. Untungnya kami sempat mencicipi sayur asem Mak Haji. Rasanya pedas, tidak seperti sayur asem yang selama ini saya makan. Sayur asem yang sangat sederhana ini ternyata tidak menggunakan gula putih di dalamnya. Isinya pun standar seperti sayur asem biasanya, hanya pepaya muda, jagung, dan cabai. Ada juga sayur kulit melinjo yang meskipun enak tak akan pernah saya makan karena tak pernah suka.
Sebenarnya menu dagangan utama Mak Haji (sapaan untuk Bu Haji Mamas) adalah dodol Betawi. Mak Haji adalah salah satu produsen dodol Betawi yang tersisa di daerah Condet. Dengan lancar Mak Haji bercerita jika di daerah ini dulu merupakan sentra pembuat dodol Betawi. Dahulu permukiman tidak sepadat sekarang. Masih banyak kebun yang bisa dijadikan tempat pembuatan dodol. Hampir setiap rumah membuat dodol. Ibaratnya, meskipun tidak punya baju, namun harus bisa membuat dodol. Begitulah falsafah ibu dari Mak Haji saat awal membuat dodol. Di era 70an, masih banyak pembuat dodol di kawasan ini. Lambat laun, seiring dengan perubahan tata ruang, satu per satu pembuat dodol itu pensiun dini. Kini tinggal Mak Haji sebagai pewaris tunggal yang meneruskan usaha orang tuanya. Usaha dodol ini dimulai pada 1985. Saat itu belum begitu terkenal, baru pada awal 1990an warung Mak Haji mulai bersinar. Saat ini, Mak Haji membuat tiga kuali adonan setiap hari yang bisa menghasilkan 22 besek dodol. Jika menjelang hari raya produksi meningkat hingga 30 kuali setiap harinya.
Dodol Mak Haji yang mulai digemari konsumen saat ini adalah jenis dodol ketan hitam yang menggunakan ketan hitam sebagai campurannya. Mak Haji menggunakan gula super untuk setiap adonannya. Gula seharga Rp 60.000,-an satu peti ini memberikan rasa yang lebih mantab ketimbang gula pasir biasa. Memang, setelah dicoba dodol Haji Mamas ini rasanya tidak terlalu manis seperti dodol kebanyakan. Jadi sekali gigit rasanya ingin tambah terus. Wajar saja meski sudah memiliki satu cabang di tempat lain, para pelanggan tetap memburu “sumber” pertama dodol ini (salah satu ciri khas kognitif manusia..:D). Dodol Mak Haji pun dikenal hingga Arab Saudi. Para TKI yang mudik sering membeli dodol Haji Mamas sebagai buah tangan untuk dibawa ke negeri Arab. Ternyata dodol Haji Mamas laris manis di Arab sana.
Kawasan yang kental dengan pengaruh Arab ini mau tak mau mengajak kami untuk mampir di salah satu warung penjaja roti jala dan roti cane. Maka mampirlah kami di Warung Sate Tegal Abu Salim. Setelah masuk, ternyata tidak ada yang istimewa selain aroma kambing yang cukup menyengat di dalam ruangan berukuran luas itu. Tidak ada kuah kare di sini, juga tidak ada roti cane. Semua makanan jenis roti-rotian tampaknya diutamakan untuk dibawa pulang. Mereka tersimpan di dalam lemari pendingin yang sangat besar. Kami memutuskan untuk minum-minum saja di sini ditemani roti manis isi kacang hijau tumbuk yang dicampur dengan jinten hitam dan kapulaga, sembari menunggu hujan reda. Saya memesan kopi. Beberapa teman yang lain mencoba susu kambing ditambah madu (tak terbayang rasanya). Kopi yang saya pesan pun ternyata bukan kopi Arab (masih penasaran dengan kopi Arab). Maka, kopi yang terasa sangat datar itu pun saya seruput seperti minum air putih. Tidak ada yang menarik perhatian saya di warung ini selain aroma kambing yang tak kunjung pergi dan aksen “medhok” Jawa dari bapak penjaga kasir dengan tampang 70 % Arab.
Kurang puas di Warung Sate Tegal Abu Salim kami menjajal nasi kebuli di Restoran Puas Ibu Haji Maryam. Menurut keterangan yang tertulis di daftar menu, restoran ini berdiri sejak 1965. Menyajikan berbagai panganan berbau Timur Tengah. Ada roti jala yang ingin sekali saya coba. Ada roti cane, nasi kebuli, aneka makanan berbahan dasar kambing, martabak, sambosa daging dan keju, teh tarik, es kopyor, dan masih banak lagi. Tidak seperti di warung sebelumnya, saya tidak mencium aroma kambing di sini. Bahkan ketika kami menyantap makanan berbahan dasar kambing. Yang ada hanya komentar-komentar biasa yang tampak seperti luar biasa mengenani makanan yang kami pesan. Nasi kebuli campur kismis, roti sambosa, kuah kare, dan teh tarik menutup perjalanan saya kali ini di Condet. Di luar, hujan sudah berhenti.
Poin kunjungan:
1. Warung Kue Bu Yeyen: Jalan Raya Condet, beberapa meter setelah Gang Batu Ampar 1. Buka pukul 06.00 WIB dan tutup pukul 17.30 WIB. Harga berkisar Rp 1.000,- /kue.
2. Warung Khas Betawi Hj. Husna: Jl. Budaya RT. 10/04 Kramat Jati, Jakarta Timur. No. Telp. (021) 8006683. Menyediakan nasi ulam, aneka pepes (ikan teri dan ikan-ikan yang lain), ikan goreng, semur jengkol, sambal jengkol, oncom goreng, gorengan udang tepung, tempe tepung goreng, asinan betawi, serta aneka lalapan (dengan daun popohan).
3. Warung Pak Tamin: Jl. Batu Ampar I, Condet, Jakarta Timur. Di sebelah Warung Makan Haji Mamas. Menyediakan kue oncom, kue lapis, dan risol. Buka pukul 02.00 dan tutup pukul 20.00.
4. Warung Makan Haji Mamas: Jl. Batu Ampar I No. 42 Condet, Jakarta Timur. No. Telp. (021) 80881977. Menyediakan aneka lauk pauk, sayur asem Betawi, dodol Betawi.
5. Sate Tegal Abu Salim: Jalan Raya Condet No. 2 RT.002/01, Telp. 021 80878632. Menyediakan sate kambing tentunya. Bersama para roti untuk dibawa pulang.
6. Restoran Puas Ibu Haji Maryam: Jalan Condet Raya No. 78 dekat Masjid As Sholihin Jaktim, 021 80878417. Menyediakan roti jala, roti cane, sambosa daging dan keju, nasi kebuli, kambing goreng, teh tarik, martabak. Harga berkisar antara Rp 3.000,- hingga Rp 50.000,-.
Comments