El Paso Museum of History

Tujuh halaman artikel Maceo dan Jessica tidak sengaja saya baca malam itu, saat menemani seorang teman mengerjakan tugas kuliahnya. Artikel itu menceritakan tentang sebuah museum di perbatasan El Paso, Texas dengan Ciudad Juarez, Chihuahua. Ketidaksengajaan yang berlanjut menjadi sebuah ketertarikan. Maka, posisi pun menjadi terbalik. Saya menjadi asik menelaah artikel Maceo dan Jessica, sementara teman saya harus menyerah pada kasur karena jam tidur yang baru tiga jam selama seharian ini.

El Paso adalah sebuah kota kecil di pinggiran Texas yang berbatasan langsung dengan Ciudad Juarez, Chihuahua di Mexico. Kota itu mempunyai sebuah museum bernama El Paso Museum of History. El Paso Museum of History ini ternyata memiliki misi mulia di dalam pergerakannya. Museum hadir untuk memberikan pendidikan bagi komunitas dan pengunjung museum. Mereka mempromosikan pemahaman dan nilai penting kekayaan multikultural dan sejarah multinasional dari kedua daerah di perbatasan yang dikenal sebagai The Pass of the North. Salah satunya melalui pameran permanen bertajuk The Changing Pass yang merupakan representasi kronologis sejarah di wilayah perbatasan baratdaya ini. Yang patut menjadi sorotan adalah komitmen dari museum untuk memberikan interpretasi kepada masyarakat secara inklusif dan sarat dengan nilai-nilai budaya. Gambaran awal saya yang belum pernah berkunjung ke sana, pastilah museum ini akan menggambarkan El Paso secara utuh dengan semua keragaman yang ada.


Merunut sejarahnya, El Paso Museum of History pada awalnya (1974) adalah sebuah museum yang didanai sepenuhnya oleh masyarakat dan dikenal sebagai Cavalry Museum. Karena letaknya yang sulit dijangkau maka pada tahun 2000 masyarakat El Paso berinisiatif untuk memindahkan museum ke tengah kota. Pemindahan itu ternyata menyebabkan sebagian besar material pameran harus dibuat baru. Baru pada Juni 2007 museum resmi dibuka untuk umum.

Drama perpindahan satu obyek ke tempat yang baru memang menimbulkan efek samping. Hal itu juga dialami oleh El Paso Museum of History. Pihak museum kemudian harus memikirkan perubahan di dalam tubuh direktur eksekutif, pemilihan desain untuk tampilan di museum baru, penyeleksian perusahaan profesional yang akan mengurusi pameran, pemindahan lebih dari 8.000 obyek ke dalam museum baru, perekrutan tenaga kerja dan pemikiran ulang mengenai peran seluruh staf museum selama dan sesudah pemindahan museum. Ternyata sebegitu ribetnya dampak yang ditimbulkan dari pemindahan museum ini.

Di titik ini, Maceo dan Jessica mampu memberikan pengetahuan baru bagi saya yang ternyata awam sekali dengan dunia permuseuman. Mereka mengajak saya untuk melihat museum tidak hanya dari koleksi yang dipamerkan saja, namun lebih dalam dari itu mengenai simbol. Pyuh, simbol adalah satu hal dari sekian banyak hal yang sulit saya jangkau sewaktu kuliah dulu. Arkeologi simbol menjadi mata kuliah pilihan, yang entah kenapa saya ambil juga. Tapi dari hal-hal rumit njlimet itu lama kelamaan saya betah juga berada di dalamnya. Hari ini mengerti, mungkin besok tidak paham sama sekali. Hari ini tidak paham, pertemuan selanjutnya menjadi sangat tidak paham lagi. Itulah simbol, rumit tapi menarik.

Maceo dan Jessica sekali lagi memberikan warna baru dalam pemahaman saya mengenai museum. Selama ini saya jarang bersentuhan dengan tulisan-tulisan yang membedah isi museum secara keseluruhan. Tema tentang museum menjadi sangat monoton karena yang dibahas selalu hal yang sama. Manajemen koleksi, manajemen pengunjung, manajemen sumber daya manusia, ketiga manajemen yang dikupas permukaan saja sehingga sangat membosankan bagi saya.

Di tangan Maceo dan Jessica, El Paso Museum of History mampu bercerita banyak tentang El Paso, tentang sejarah budaya masyarakatnya, dan tentang diskriminasi yang disamarkan. Mereka dengan piawai melakukan kritik di sana sini terhadap kebijakan dan komitmen yang katanya ingin menampilkan sejarah kawasan tersebut secara inklusif dan sarat nilai-nilai budaya itu.

The Changing Pass yang digadang-gadang sebagai produk pameran permanen museum ini ternyata mengandung bias. Bias itu diceritakan oleh Maceo dan Jessica secara perlahan-lahan. Mereka tidak menelusur lebih jauh mengenai penyebab kesalahan selama tahap perencanaan dan pengambilan keputusan yang menghasilkan The Changing Pass ini. Keduanya lebih berusaha untuk meluruskan kesalahan persepsi yang diakibatkan oleh tampilan-tampilan/display yang ambigu.

Museum sejarah semestinya mampu menceritakan dan menggambarkan kondisi suatu kawasan. Namun, ternyata ada saja kisah-kisah yang dihilangkan di dalamnya. Penyebabnya bisa jadi adalah budaya yang berkembang di dalam masyarakat kawasan tersebut. Seperti di El Paso yang memiliki skandal sejarah yang panjang mengenai pemujaan terhadap penjajah.

Maceo dan Jessica mulai mengajak saya untuk bermain simbol. Bagaimana bisa masyarakat sebuah kawasan begitu memuja orang-orang yang pernah menduduki wilayah mereka? Saya pikir itu hanya akan terjadi dengan masyarakat pendatang yang kemudian mendiami kawasan tersebut dalam waktu lama. Selanjutnya adalah kemungkinan bahwa fakta sejarah yang dihilangkan selama proses transfer informasi di dalam aktivitas pendidikan. Yang kedua ini mungkin yang terjadi dengan masyarakat El Paso.

Patung perunggu Don Juan de Onate di atas kuda yang konon kabarnya merupakan patung perunggu penunggang kuda terbesar di dunia (36 kaki) adalah buktinya. Bukti dari adanya sejarah yang dihilangkan di dalam kehidupan masyarakat El Paso. Don Juan de Onate adalah bagian dari selusin patung yang disebut sebagai “The XII Travelers Memorial of the Southwest.” Patung senilai dua juta dolar itu diperoleh dari dana pribadi dan masyarakat. Wow, keren bukan?

Masyarakat tidak pernah tahu bahwa Onate adalah tokoh kontroversial karena kebijakannya. Pada 1599, Onate menghukum dengan kejam masyarakat asli suku Indian, hanya karena mereka tidak patuh terhadap perintahnya. Atas kebijakannya itu, Onate dibuang dari New Mexico pada 1614. Kedua fakta itu nyaris hilang dalam peredaran sejarah El Paso.

Berangkat dari latar sejarah betapa maniaknya masyarakat El Paso kepada para kolonialis dan betapa mereka mempunyai pandangan yang Eurosentris, Maceo dan Jessica mengajak saya untuk masuk ke dalam El Paso Museum of History. Di dalamnya saya semakin diajak berpikir mengenai “salah”nya The Changing Pass ini. Beberapa contoh tampilan/display yang diajukan cukup membuat saya mengerti mengapa konsep itu sangat bias.

Tampilan utama di dalam The Changing Pass berupa sebuah misi replika fasad. Sebelumnya saya sempat mencari tahu lewat “Mbah” Google, dan memang, di dalam museum kita akan lebih banyak menjumpai fasad-fasad bangunan yang tingginya hampir sama dengan atap bangunan. Storyline tidak menyediakan informasi mengenai perlawanan masyarakat lokal dan kehidupan kontemporer mereka. Mirisnya, fitur interaktif malah mendorong pengunjung untuk membangun fasad-fasad itu dalam skala yang lebih kecil menggunakan balok-balok mainan. Fasilitas interaktif tersebut dapat disediakan oleh museum karena harganya relatif murah, dibuat oleh masyarakat lokal, dan buruh Meksiko-yang merasa terancam jika tidak membantu proses pembuatan-. Para pengunjung yang larut dalam pembuatan fasad itu tidak pernah mengetahui bahwa di balik semua itu ada sejarah getir yang sangat traumatis bagi masyarakat lokal. Balok-balok kayu mainan itu mengalihkan perhatian pengunjung dari perbudakan yang dilakukan orang-orang Spanyol atas nama “kristenisasi”.

Selanjutnya yang lebih mengenaskan adalah penempatan artefak-artefak dari masyarakat lokal. Mereka ditempatkan dekat dengan binatang-binatang yang punah. Maceo dan Jessica menamakan hal itu sebagai garis tegas namun dibuat terselubung yang menyatakan bahwa suku asli Amerika adalah sesuatu yang berasal dari masa lalu yang sangat jauh, “punah”. Museum bahkan tidak memberikan petunjuk bahwa suku asli Amerika dan keturunannya adalah bagian yang dinamis dalam sejarah dan mereka tetap bertahan dalam “gelap”nya masa penjajahan dan yang terpenting adalah mereka juga bagian dari masyarakat masa kini.

Ketimpangan lain dari tampilan The Changing Pass adalah mengenai posisi wanita. Wanita hanya ditonjolkan peran domestiknya saja. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya peralatan seperti setrika, tempat pencucian piring, dan pakaian yang ditampilkan. Aktifitas-aktifitas dan kontribusi wanita dalam lini kehidupan yang lain hampir tidak ditampakkan. Hal itu dengan jeli ditangkap Maceo dan Jessica lewat penempatan foto yang tidak proporsional. Juana Maria Ascareta, seorang wanita dari keluarga berkuasa yang dikenal karena keramahtamahannya, mendapatkan tempat di bawah sebuah foto pria dalam ukuran besar. Sementara itu di sisi samping, foto Ascareta tampak kerdil didampingi dua bingkai foto pria yang lebih besar. Jelas upaya penggambaran sejarah yang tidak berimbang. Padahal semasa hidupnya, Ascareta menjadi tokoh penting di balik kesuksesan suaminya, yang imigran Eropa-Amerika itu.

Belum cukup dengan diskriminasi terhadap penduduk asli dan wanita, Afrika-Amerika pun digambarkan dengan sangat buruk. Seorang pengunjung museum menyatakan bahwa dia tidak dapat menemukan informasi apapun tentang Afrika-Amerika, namun terlalu gengsi untuk bertanya kepada petugas museum. Padahal, banyak sejarah yang ditorehkan oleh orang-orang Afrika-Amerika di sini. Sebut saja Henry Flipper, orang Afrika-Amerika pertama yang lulus dari West Point. Dia menulis dengan brilian mengenai sejarah Southwest dan hukum-hukum pertambangan di Amerika Serikat dan Meksiko. Bahkan ketika masuk dalam storyline museum pun, Flipper mendapatkan tempat yang tersembunyi, sulit dijangkau.

Begitulah, Maceo dan Jessica mengisahkan kritik mereka lewat artikel yang mampu “membangunkan” saya dari sikap pasif. Dari penempatan display saja sudah banyak hal yang dapat diangkat untuk dijadikan suatu bahan pembicaraan yang menarik. Masalahnya adalah bagaimana dengan situasi museum di Indonesia? Sempat saya bertanya kepada teman yang sudah lebih dulu menuju kasur tadi, bagaimana dengan kritik-kritik museum di Indonesia yang kesannya tak beranjak dari masalah yang sama. Masih terpaku pada koleksi tanpa sempat memikirikan storyline yang menurut pemahaman saya adalah “nyawa” dari sebuah museum. Sambil beringsut turun, teman saya menjawab, “masih terlauh jauh Nu, jauh banget jika kita harus ngomongin cerita di balik keputusan penetapan desain tampilan. Boro-boro kita mau kritik itu storyline, lha wong selama ini aja makna dari storyline masih jauh dari kata ngerti apalagi paham.”


Sumber bacaan:
1. Dailey, Maceo Crenshaw & Jessica Suzette Santascoy. 2008. “Representation and Reality in Museum Building: A Case Study of the El Paso Museum of History” dalam The International Journal of The Inclusive Museum, Volume I, Number 4, 2008. Texas.
2. http://www.newmexicohistory.org/filedetails.php?fileID=312
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Juan_de_O%C3%B1ate

Sumber citra:
www.earth.google.com, pencitraan 2008.


Jakarta, 28 November 2010
23:16 WIB

Comments

Popular Posts