Sawo Serang VS Sawo Lampung


Sawo, buah coklat yang rasanya manis dengan tekstur berpasir. Memang tidak semua sawo berwarna coklat. Sawo kecik dan sawo manila mempunyai warna yang tidak coklat, lebih ke ungu. Ukuran sawo pun bermacam-macam, tergantung daerah tempat hidupnya. Sawo Serang berukuran lebih besar dibandingkan dengan sawo Lampung.

Ada hal yang menarik saat saya mengetahui perbedaan antara sawo Serang dan Lampung. Menurut pengakuan si penjual, sawo Serang berukuran lebih besar dengan rasa yang lebih manis karena pohonnya bukan produk pertanian massal. Pohon sawo Serang adalah pohon kebun yang tidak menggunakan pupuk anorganik di dalam pertumbuhannya. Sementara itu, sawo Lampung dihasilkan dari pohon-pohon di sebuah perkebunan yang kenyang dengan asupan pupuk kimia. Ya, penjelasan itu cukup membuat teman saya memilih untuk membeli sawo Serang yang sekilonya dihargai Rp 10.000, -.

Cerita si penjual sawo Serang tentang barang dagangannya mungkin salah satu strategi marketing saja. Namun , si penjual itu mampu menarik ingatan saya ke masa beberapa bulan yang lalu. Ketika saya bersama seorang teman sedang bercakap-cakap model kerupuk tentang sistem pertanian. Kami tidak membahas mengenai panjangnya rantai perjalanan barang dari petani sampai ke konsumen. Tidak pula kami singgung tentang jenis-jenis petani yang membuat miris hati. Intinya kami hanya berkhayal, cukup membayangkan.

Kami membangun sebuah daerah yang mandiri secara pangan. Artinya, daerah tersebut mengurangi jenis bahan pangan yang harus didatangkan dari luar. Pokoknya pemberdayaan petani dan lahan setempat lah. Kami tidak akan mengizinkan wortel impor itu masuk ke dalam gerobak-gerobak penjual sayur. Juga dengan apel suntik dari Cina, tidak akan kami beri ruang di lapak pedagang buah. Jika pun daerah kami tidak mampu memproduksi bahan pangan tertentu, setidaknya bahan itu haruslah didatangkan dari daerah tetangga terdekat, yang masih dalam lingkup NKRI. Intinya kami pun bisa mengurangi efek dari transportasi yang terlalu panjang.

Kami juga membayangkan sebuah sistem pertanian yang adil. Petani bukan lagi menjadi obyek penderita, namun berdaya dan berkuasa atas haknya. Tidak ada lagi rantai yang sangat panjang yang membuat petani kehilangan banyak hak. Mereka harus benar-benar terlibat dalam penentuan harga. Cukong-cukong yang pandai memanfaatkan kesempatan di setiap kesempitan nafas petani akan kami gusur. Begitu pula dengan para lintah darat yang rajin membujuk dengan segala iming-iming menggiurkan, akan kami sikat.

Kami ini lagaknya sudah seperti Kabayan tidur di atas hammock saja, membayangkan kambing yang mampu beranak pinak secara cepat. Andainya dunia pertanian seperti itu, mungkin tak perlu lagi impor beras ataupun gula itu dilakukan. Malu juga rasanya harus mengimpor gula, padahal dulu sekali produksi gula tanah air manisnya mampu membangun negeri kincir angin nun jauh disana.

Berarti tak ada salahnya si penjual sawo Serang itu mati-matian mempromosikan barang dagangannya. Saya pun pada akhirnya mendukung keputusan teman saya untuk memilih sawo Serang. Meskipun daerah tetangga, namun Serang mampu menghasilkan sawo dengan kualitas super. Jadi tak perlu lah mendatangkan bermacam sawo dari Lampung, Sawo Lampung, cukup pasarkan saja di Lampung. Saya pikir akan lebih adil dan menghemat transportasi.

Comments

Popular Posts