Sehari di Banten Lama


Tawaran melancong gratis ke Banten Lama bersama Sahabat Museum pada Minggu (12/12/2010) tentu saja tidak saya lewatkan. Sebagai akibatnya, saya bersama beberapa orang teman sekantor harus bangun sangat awal karena plesiran ini. Kami pun harus melewati hujan badai untuk menuju ke parkir timur Senayan tempat rombongan berkumpul. Sekitar pukul 07.30 WIB kami berangkat menuju Banten Lama. Perjalanan menembus masa 400 tahun yang lalu itu membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam saja.

Banten Lama masih sama seperti satu tahun yang lalu, ketika pertama kali saya berkenalan dengan daerah ini. Jalanan sempit dan berlubang, genangan air, rumah-rumah semi permanen, sungai dengan air yang cokelat, sawah, dan sampah menjadi pemandangan yang sama. Namun, justru di dalam lingkungan yang seperti itulah saksi bisu kompleksitas kehidupan di daerah ini terungkap. Keramaian Banten Lama akan kami rasakan melalui beberapa tinggalan seperti keraton, pecinan, benteng, dan masjid.

Titik awal kunjungan kami adalah Keraton Kaibon. Keraton ini merupakan istana yang dibangun untuk ibunda sultan. Keraton yang berada di luar tembok kota ini dibangun saat Kesultanan Banten sedang dalam masa sulit. Terlintas di benak saya, di masa-masa sulit saja masih mampu membangun keraton seperti ini, bagaimana jika dalam keadaan jaya?

Di dalam keraton terdapat bangunan masjid yang masih tersisa dinding dan mihrabnya, halaman, serta sisa pondasi bangunan. Tiap halaman dipisahkan oleh dinding bata yang dihubungkan dengan gapura tipe paduraksa. Di sisi barat dijumpai pagar bata sepanjang lebih kurang 100 m yang dilengkapi dengan gapura tipe bentar. Penggunaan unsur lengkung dijumpai pada tembok sisi utara. Jika dilihat dari atas, keraton tampak seperti mengambang karena dikelilingi oleh kanal dan sungai. Jika keraton ini masih utuh dan tidak dihancurkan oleh Daendels pastilah akan anggun sekali. Semua fasilitas tersedia di dalamnya, meskipun seluruh kebutuhan di dalam keraton harus dipasok dari luar.

Selanjutnya kami bergegas menuju Benteng Speelwijk. Dalam perjalanan kami melihat suasana Pelabuhan Karang Antu masa kini. Dahulu tempat ini –meskipun bertaraf pelabuhan lokal- merupakan salah satu titik penting yang kerap disinggahi pedagang asing untuk mendapatkan kebutuhan air bersih. Sayang sekali saat ini kondisinya berubah 180 derajat. Karang Antu hanya tinggal toponim saja. Kapal-kapal yang bersandar di sini ukurannya pun menyusut banyak. Saya masih ingat betul, lukisan yang menggambarkan suasana pasar Karang Antu begitu populer saat kuliah Arkeologi Islam. Di lukisan itu digambarkan komoditas perdagangan dan aktivitas yang terjadi di Pasar Karang Antu. Rasanya yang saya lihat sekarang hanya lebar sungai yang kian berkurang dan permukiman yang semakin padat.

Tiba di Benteng Speelwijk, rombongan langsung berkumpul di dekat bastion timurlaut. Saya memilih untuk berkeliling sendiri. Sekalian nostalgia dengan benteng yang dibidani oleh Hendrik Lucasz Cardeel pada 1864.

Benteng berdenah persegi ini mempunyai empat bastion di keempat sisinya dengan bentuk yang tidak sama. Hanya bastion di sisi tenggara yang bentuknya menyerupai mata panah, selebihnya terlihat tidak beraturan. Terdapat tiga kanal buatan di sisi timur, utara, dan selatan. Sementara kanal sisi barat memanfaatkan kali kecil yang langsung bermuara ke laut.

Benteng yang mampu menampung sekitar 440 serdadu Belanda, 59 kelasi, dan 668 mardijkers ini ternyata mempunyai sebuah ruang rekreasi. Di ruang ini pernah berlangsung pesta-pesta, penyambutan tamu agung, pentas sandiwara, pergelaran musik, hingga perundingan-perundingan penting. Dilaporkan bahwa pembangunan ruang itu menghabiskan dana 1.000 gulden. Namun begitu, dana sebesar itu ternyata tidak menjamin kualitas bangunan. Bangunan yang dibangun pada 1694 itu ternyata mengalami penurunan kualitas pada 1708. Karena alasan kesehatan dan pembunuhan Komandan Philip Pieter du Puy, Speelwijk pun harus ditutup pada 1808 atas perintah Daendels.

Di sisi baratlaut benteng terdapat Vihara Avalokitesvara. Saya mampir ke vihara ini hanya sebentar saja. Tiba-tiba tidak ada keinginan untuk membuka sepatu dan mencari tahu. Mungkin penyebabnya adalah bangunan inti vihara telah dihancurkan dan diganti dengan struktur beton. Mau protes tapi tidak berhak sama sekali. Mau cari tahu tentang pembongkaran vihara lama tapi kok sepertinya si narasumber akan menjawab di luar konteks. Akhirnya saya putuskan untuk mampir sekedarnya saja di vihara yang “konon” kabarnya masuk dalam jajaran vihara tertua di Jawa.

Titik berikutnya adalah Benteng Surosowan dan sekitarnya. Namun, dalam perjalanan kami sempat disuguhi rumah Cina yang juga dikenal sebagai Rumah Benjol –karena pemiliknya bernama Pak Benjol- dan Menara Cina. Sayang sekali kami hanya melihat dari atas bis. Padahal saya sangat berharap bisa turun dan keliling sebentar. Pemandu kami menjelaskan bahwa rumah Cina itu belum mengalami perubahan signifikan karena Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Banten masih menginginkan untuk menjaga keaslian bangunan. Tapi menurut saya sebaiknya ada langkah-langkah preservasi agar bangunan tidak terbengkalai seperti sekarang. Sama saja bohong jika keaslian terjaga namun di sisi lain kondisi fisik tergerus perlahan karena tidak adanya penanganan lebih lanjut. Untuk Menara Cina, pemandu kami mengatakan bahwa dahulunya tempat ini adalah masjid. Rasanya betul-betul tidak puas karena tidak bersentuhan secara langsung dengan si obyek.

Sampai di Benteng Surosowan, rombongan diajak berkeliling menikmati koleksi Museum Banten Lama. Saya tidak tertarik dan memilih menunggu di luar. Mungkin karena saya telah mendoktrin diri sendiri bahwa tatanan pameran di dalam museum tidak pernah dirubah sejak museum ini dibuka untuk umum. Jadi, masuk museum saat itu adalah sebuah perjalanan membosankan. Toh, tahun kemarin saya sudah cukup “puas” berkeliling museum ini.

Sebenarnya yang paling saya tunggu adalah kunjungan ke Masjid Banten Lama. Masjid ini dibangun oleh Maulana Yusuf yang merupakan putra sekaligus pengganti Hasanudin. Mengenai tahun dibangun, saya pun masih sedikit bingung. Ada yang berpendapat bahwa masjid dibangun saat awal pemerintahan Hasanudin, namun ada juga yang memunculkan akhir abad ke XVII sebagai tahun yang paling masuk akal. Entahlah, tampaknya saya tidak ingin terjebak dalam tahun-tahun yang seringkali membingungkan.

Masjid ini mempunyai atap tumpang lima –penanda masjid kerajaan- dengan sebuah menara cantik di depannya. Di sisi selatan terdapat bangunan tiamah yang merupakan tempat bermusyawarah atau berdiskusi perihal keagamaan. Di sisi utara terdapat makam-makam tua yang menjadi salah satu titik ziarah di kawasan masjid ini. Cukup saya sayangkan bahwa masih banyak dijumpai kaipang* di komplek masjid ini. Selalu menjadi pertanyaan saya mengapa di situs-situs Islam yang menjadi tempat ziarah selalu saja ditemukan fenomena kaipang –kecuali komplek Masjid Kudus-.

Setelah cukup lama di Masjid Banten Lama kami bergerak menuju Benteng Surosowan. Benteng ini merupakan tembok istana yang juga dikenal dengan sebutan “The Diamant”. Letaknya tepat di sisi tenggara masjid. Benteng berdenah persegi panjang ini dilengkapi dengan bastion berbentuk mata panah di keempat sisinya. Pintu gerbang berbentuk lengkung berada di sisi timur, sementara akses masuk ke benteng kini dilalui lewat pintu di sisi selatan.

Di dalam benteng terdapat sisa-sisa pondasi Keraton Surosowan. Kemungkinan besar istana dibangun dari kayu sehingga sulit ditemukan lagi sisanya saat ini. Meskipun demikian saya termasuk orang yang terkagum-kagum dengan istana ini –meskipun hanya berupa sisa- karena konsep arsitekturnya yang sudah sangat maju untuk masa itu. Pada bangunan-bangunan inti, keraton ini sudah menggunakan lantai yang terbuat dari terakota. Terdapat pula jalan-jalan setapak penghubung antar bangunan yang juga terbuat dari terakota. Yang paling mengagumkan menurut saya adalah sistem drainase di dalam keraton. Setiap bangunan dilengkapi dengan selokan/parit kecil yang saling terhubung satu dengan yang lain. Kolam-kolam juga saling terhubung dan dilengkapi dengan bak kontrol. Air didatangkan dari Tasik Ardi melalui pipa-pipa terakota yang kemudian masuk ke dalam kolam-kolam pemandian. Wow, memang cukup rumit ketika melihat langsung di lapangan betapa jaringan air itu memang benar-benar dipikirkan matang oleh sang arsitek. Seorang teman yang pernah bekerja di situs ini memberitahu saya bahwa beberapa bangunan bahkan mempunyai kamar mandi pribadi yang cukup besar. Saya mencoba membangun kembali keraton ini dalam batas khayal. Keraton kayu dengan pondasi bata berlantai ubin terakota. Gemericik air menjadi musik sehari-hari bersama bunyi-bunyian dari bengkel perundagian. Belum sampai jauh, lamunan saya buyar karena Daendels menitahkan untuk menghancurkan keraton ini akibat perseteruannya dengan sultan pada 1808. Penghancuran itu setidaknya terjadi hingga 1832. Material hasil penghancuran digunakan kembali oleh Belanda untuk membangun bangunan baru di tempat yang baru pula.

Perjalanan kami ditutup di Keraton Surosowan, bersama dengan para kuli yang memindahkan material keraton untuk dibawa ke tempat baru. Satu hari begitu banyak ingatan yang dibawa ke masa lampau. Tinggalan-tinggalan fisik itu, meskipun sebagian besar sudah berubah fungsi –bahkan menjadi dead monument- tapi masih mampu memberikan sesuatu kepada kita yang hidup ini. Lalu kita, selaku yang masih hidup, mampu memberi apa kepada mereka? Cukup panjang, cukup melelahkan, dengan semua kelebihan dan kekurangan perjalanan bersama Sahabat Museum ini saya diajak untuk merekonstruksi ulang pikiran sendiri. Sambil tetap berharap bahwa suatu saat nanti lapisan-lapisan sejarah Banten Lama akan saya datangi satu per satu, lebih dalam.

*Kaipang adalah sebutan yang sering saya gunakan bersama teman-teman di kampus dulu untuk menyebut kelompok pengemis yang meminta dengan paksa (dengan berbagai cara) kepada pengunjung di situs (kebanyakan situs Islam). Keberadaan kaipang ini tentunya sangat mengganggu dan mempengaruhi citra masyarakat setempat. Oknum-oknum yang ikut melakukan pemalakan atas nama parkir serta jasa pengarah pemutaran bis juga kami kategorikan sebagai kaipang.

**Foto-foto: http://picasaweb.google.com/minoritaskiri/BelandaDiBanten#

Comments

Popular Posts