Soal Paroki di Senen

Suatu sore di Stasiun Senen, saat saya dan Nini mengisi amunisi sebelum perjalanan panjang dan melelahkan menuju Jogja:

Saya:.......(Ngobrol soal permukiman).
Nini:.......(Juga ngobrol soal permukiman).
Tiba-tiba datang seorang laki-laki, berkacamata, memesan makanan, berdoa secara Katolik, dan makan. Di saat obrolan saya dan Nini sedang seru-serunya tiba-tiba si Mas kacamata itu bertanya dengan sangat polos kepada kami:

Mas kacamata: Mbak, paroki mana ya?
Saya :??????
Nini :??????
Mas kacamata:..(senyum-senyum menunggu jawaban).
Saya : Paroki mana ya? Paroki mana Ni?
Nini :...????
Mas kacamata: Saya Pugeran.
Saya :...oooo..Pugeran, ya ya ya.
Nini :....????


Sebenarnya saya lupa persisnya respon Nini seperti apa. Namun, sejak pertanyaan tak terduga itu, kami saling memberi kode untuk segera meninggalkan warteg secepat mungkin.
Saya merasa cukup, bahkan sangat bodoh karena menanggapi pertanyaan Mas kacamata dengan seksama. Harusnya saya pasang tampang bego saja dengan mengatakan, "Paroki? Paroki itu apa ya Mas?". Apakah muka saya begitu Katolik sehingga si Mas dengan percaya diri tingkat tinggi langsung menembak pertanyaan seperti itu kepada saya -dan Nini tentunya-. Apakah semua orang yang mudik sore itu di Stasiun Senen adalah orang-orang yang memang pulang kampung untuk pergi ke gereja bersama keluarga tercinta? Lucu sekali, si Mas kacamata yang mengaku bekerja di bidang Teknologi Informasi itu masih bisa dengan polosnya melontarkan pertanyaan sensitif soal agama kepada lawan bicara yang belum dikenal. Dan sialnya, saya belum begitu cerdas untuk menangkis serangan tak terduga dari si Mas kacamata.





23 Desember 2010

Comments

Popular Posts