Sepotong Memori Dalam Perubahan

Saya tinggal di sebuah kota kecil di Pulau Sumatera. Kota itu bernama Jambi. Kota yang kalah populer dibandingkan Palembang, Medan, ataupun Lampung. Kota yang membuat saya takjub karena sebagian orang yang saya jumpai di jalan, di kereta, di bandara, belum pernah mendengarnya hingga tak mampu menggambarkan lokasinya di peta bahkan ingatan masing-masing.

Kota Jambi adalah tipologi kota kecil yang menjadi ibukota propinsi Jambi. Mungkin dapat disamakan dengan Gombong atau Lumajang. Kota ini akan menutup hari pada pukul 9 malam. Semua pemilik rumah akan mengunci pintu dan mematikan lampu ruang tamu mereka pada jam itu. Begitu juga dengan pertokoan dan pusat-pusat keramaian.

Di kota ini saya tinggal bersama keluarga di sebuah komplek perumahan yang disediakan khusus untuk para guru. Komplek guru ini lebih dikenal sebagai komplek guru Beringin karena terletak di daerah Beringin. Setahu saya Beringin bukanlah nama kelurahan atau kecamatan. Beringin adalah nama sebuah gang yang berada di tepi jalan raya menuju komplek guru ini. Jika perjalanan dimulai dari terminal Rawasari yang ada di pasar maka kita tinggal memilih oplet (angkutan umum) jurusan Thehok dan Beringin berwarna merah. Biasanya orang-orang yang baru datang ke Kota Jambi dan harus naik oplet ke daerah Beringin akan memberitahukan sopir oplet mengenai tujuan mereka. Maka untuk dapat turun di Gang Beringin, kita cukup mengatakan, ”Beringin ya Bang.”, dan sang sopir akan menurunkan kita di gang itu. Dari Gang Beringin perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 2 km melalui jalan tanah yang sedikit bergelombang. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit maka kita akan sampai di komplek guru Beringin, tempat saya tinggal.

Komplek tempat saya tinggal dihuni sekitar 200 kepala keluarga. Tidak semua yang menempati komplek perumahan guru ini adalah guru. Sebagian kecil adalah anak-anak dari para guru yang sudah pensiun namun masih mewarisi rumah dinas orang tua mereka. Mereka rata-rata bekerja di bidang wiraswasta.

Rumah-rumah di komplek guru ini kecil-kecil. Bangunannya terbuat dari bata tanpa tiang dan berdempet dua seperti bedeng. Ukurannya sekitar 5 m x 9 m. Hanya ada dua ruang tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan satu dapur. Biasanya ruang-ruang itu dipakai multifungsi oleh seluruh anggota keluarga, terlebih jika itu adalah keluarga besar dengan anak-anak yang sudah remaja. Bisa dibayangkan betapa repotnya jika kami mendapatkan tamu jauh yang harus menginap. Pembagian ruang akan lebih ketat lagi, yang berarti harus siap untuk tidur dimana pun.

Komplek guru ini dibagi menjadi dua blok yaitu, blok A dan blok B. Masing-masing blok mempunyai satu jalan bersama yang masih berupa jalan tanah hingga tahun 2006. Saya dan keluarga tinggal di blok A. Saya tumbuh dan besar di komplek itu hampir 11 tahun. Untuk itulah tempat ini begitu membekas dalam ingatan saya. Ingatan tentang kanak-kanak yang menyenangkan.

Saat kecil saya mencicipi hampir sebagian besar permainan yang sifatnya masih tradisional. Permainan yang berbau teknologi baru masuk setelah saya menginjak SMP. Itupun tak sempat saya cicipi karena harga yang tak terjangkau untuk dapat memilikinya. Satu-satunya permainan yang membuat saya dan sebagian besar teman-teman terbuai adalah permainan tradisional.

Permainan yang sering kami mainkan adalah permainan yang disebut ”rumah-rumahan” atau ”masak-masakan”. Dalam permainan itu setiap anak akan mendapatkan peran sesuai yang diinginkan. Ada yang menjadi ibu, bapak, anak, penjual daging, penjual sayur, guru, dan juga tukang pos. Bahan-bahan untuk permainan itu kami ambil dari lingkungan sekitar. Misalnya saja untuk properti berupa nasi, kami akan menggunakan tanah sebagai gantinya. Untuk sayur-sayuran, kami akan menggunakan tanaman sekitar yang bisa diperoleh dengan mudah. Untuk minyak, kami akan membuatnya dari bunga kembang sepatu, begitu seterusnya. Sebagai tempat tinggal, kami akan membuat pondok yang kami susun dari pelepah kelapa. Bentuknya akan menyerupai tenda pramuka. Biasanya kami memainkan permainan ini pada hari minggu karena waktu bermain yang lebih panjang. Meski begitu permainan ini tak kenal bulan, jadi bisa dimainkan sepanjang tahun.

Selain itu kami juga suka mencari ikan di selokan. Kami menyebutnya sebagai menyerok ikan. Menyerok berarti menangkap ikan dengan menggunakan semacam jaring, karung, kain, ataupun dengan tangan kosong. Jangan dibayangkan ikan yang kami dapatkan bisa dimasak sebagai lauk. Biasanya kami mendapatkan ikan jenis kapi-kapi (ikan hias), gabus, cupang, dan sepat. Ikan-ikan itu lebih menarik dijadikan hiasan ketimbang masuk dalam penggorengan. Kami menyerok di selokan-selokan selebar 2 m dengan air yang masih jernih.

Untuk mendapatkan ikan yang lebih besar biasanya kami memancing. Di sekitar tempat tinggal saya banyak sekali kolam-kolam ikan. Hampir sebagian besar diantaranya dimiliki oleh para juragan. Sisanya adalah kolam yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Kami kadang memancing di dua kolam tersebut dengan resikonya masing-masing. Jika kami memancing di kolam para juragan, biasanya kami akan menjadi sasaran senapan angin penjaga kolam. Namun jika kami memancing di kolam yang telah ditinggalkan pemiliknya, maka hasil yang kami dapatkan akan lebih besar pasak daripada tiang.

Tak hanya berhubungan dengan ikan, kami pun juga berolahraga di sore hari. Biasanya kami akan pergi ke lapangan di belakang komplek untuk bermain bola dan kasti. Lapangan itu banyak ditumbuhi pohon kelapa sehingga sinar matahari tidak begitu menyengat di kepala. Selain itu tanah di lapangan seperti pasir pantai karena warnanya putih. Di lapangan ini juga RT kami mengadakan lomba tujuh belasan. Biasanya permainan yang dilombakan adalah balap sepeda lambat (yang jadi pemenang adalah pesepeda yang paling lambat sampai ke garis akhir tanpa jatuh), lomba membawa ekal/kelereng (kelereng diletakkan di dalam sendok kemudian ujung sendok digigit, peserta berjalan dengan menggigit sendok hingga ke garis akhir tanpa jatuh), lomba makan kerupuk, lomba mengambil koin dari pepaya (uang koin ditanam ke dalam pepaya kemudian dilumuri oli, peserta yang berhasil mengambil uang koin paling banyak akan keluar sebagai pemenang), lomba karung, dan masih banyak lomba-lomba kecil lainnya yang diadakan di lapangan ini.

Setelah puas bermain hampir sepanjang tahun, tibalah saat-saat yang saya nantikan. Saat-saat itu adalah saat bulan dengan akhiran ”ember” datang. Itu artinya musim hujan akan mewarnai hari-hari saya di tempat ini. Saat hujan datang adalah saat yang paling saya sukai selama saya tinggal di komplek ini. Saat itu saya rela untuk dimarahi demi bisa merasakan langsung hujan dari langit. Saya dan teman-teman biasanya berkumpul di lapangan untuk main hujan bersama. Kami menyebut berbasah-basahan di bawah guyuran hujan sebagai "main hujan". Saat itu kami bisa sepuasnya berlari, berkejaran, berkubang di atas rumput, dan pulang dengan tangan yang sudah membiru.

Itulah sepotong cerita tentang kampung halaman saya. Saya tidak bisa bercerita tentang alam kampung saya karena memang tidak ada yang istimewa dengan itu. Sekarang keadaan hampir berubah 180 ยบ. Permainan-permainan masa kecil saya tak mampu menahan gempuran Play Station, mobil remote controle, dan berbagai mainan canggih lainnya. Anak-anak sudah jarang bermain ”masak-masakan” dan lebih memilih di dalam rumah yang melindungi mereka dari sengat matahari. Tak ada lagi anak kecil yang tertawa riang di dalam selokan sambil menyerok ikan karena air selokan kini sudah berubah warna menjadi hitam pekat membuat mereka tak berminat untuk turun. Tujuh belasan sekarang diselenggarakan secara minimalis di aula komplek karena lapangan yang biasanya digunakan sebagai tempat perlombaan sudah dibeli oleh juragan real estate. Ketika saya pulang awal tahun 2009, lapangan berpasir putih itu telah ditanam konstruksi bata dengan cat merah, kuning, biru, ungu, dan hijau yang membuat kepala pusing. Lebih buruk lagi ketika musim hujan tak datang tepat waktu. Tidak seperti yang diajarkan di SD dulu, bahwa musim hujan dicirikan dengan bulan-bulan yang diakhiri kata ”ember”. Mungkin akibat dari bertambahnya ruko di Kota Jambi. Seperti jamur, ruko kini mewarnai sepanjang jalan-jalan besar di Kota Jambi, tak terkecuali di daerah Beringin. Daerah yang dulu hijau dengan pohon-pohon rimbunnya kini sudah digantikan ruko. Pada akhirnya tempat saya menghabiskan masa kecil telah berubah. Sebuah perubahan yang sedikit kurang menyenangkan bagi saya, bagi masa kecil saya.

Mencuri catatan dari kelas Mas Prim, untuk menebus dosa karena sudah berpaling ke tempat yang lain.

Inu, LempongSari, Jogja
19 Desember 2009
10:30 AM

Comments

Popular Posts