Temu Kenal dengan Si Burung di Cibubur: Survei Peta Hijau Jakarta Edisi Keanekaragaman Hayati

Burung Gereja

“Ya, itu burung gereja. Sejenis dengan burung Pipit”, ujar Mella, ketua kelompok kami saat survei keanekaragaman hayati oleh Peta Hijau Jakarta di BUPERTA Cibubur Sabtu (22/01). Burung pipit atau burung Gereja Erasia (Passer montanus) adalah burung yang pertama kali saya jumpai pagi ini, pun burung yang paling saya hapal karena intensitas pertemuan yang cukup tinggi. Dua burung hinggap di bubungan atap, lalu terbang, kemudian hinggap lagi satu burung gereja yang lain. Pemandangan ini menjadi tidak biasa karena saya mencoba untuk berkenalan dengan mereka kali ini.

Burung gereja hidup berkelompok, berukuran sedang (14 cm) dan mencari makan di tanah, berupa biji-bijian, buah kecil, dan serangga.(1) Dalam perjalanan survei selanjutnya, burung gereja ini termasuk burung yang sering kami jumpai. Menurut Pak Azis, seorang petugas kebersihan di sini, populasi burung gereja dari 1984 hingga kini di bumi perkemahan Cibubur cenderung tetap. Hal yang sama juga terjadi pada burung Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan burung Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis).

Beberapa ekor burung hinggap di dahan-dahan tumbuhan famili myrtaceae (jambu-jambuan). Menurut pengamatan teman-teman biologi UNJ, burung itu adalah burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis). Burung ini dapat dikenali jenis kelaminnya melalui warna dagu dan dadanya. Jika dagu dan dada berwarna ungu maka itu adalah burung Madu Sriganti jantan, sedangkan jikan dagu dan dadanya berwarna kuning maka itu adalah Madu Sriganti betina. Madu Sriganti sering berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon yang lain.(2) Burung ini mengkonsumsi nektar benalu, mengkudu, papaya, dadap, serangga kecil, dan laba-laba. Statusnya di alam bebas masih banyak.

Cucak Kutilang bermain-main di dahan pohon-pohon besar. Burung yang hobi berkicau ini sering dijumpai di kebun, pekarangan, semak belukar, dan hutan sekunder sampai dengan ketinggian sekitar 1.600 m.dpl.(3) Sepanjang perjalanan kami, burung ini juga termasuk burung yang sering kami jumpai. Berawal dari Cucak Kutilang inilah, saya mulai mencoba belajar mengenali burung dari suaranya.

Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus) hinggap silih berganti di atas pohon yang masih belum saya ketahui hingga hari ini (dia selalu hinggap di pohon jenis ini). Kehadiran Sepah Kecil menyihir kami untuk beberapa waktu. Warna merah pada tubuh bagian bawah memang membuat Sepah Kecil tampak menawan. Burung ini terbang dalam kelompok kecil yang ribut. Ulat kupu, laba-laba, tempayak, dan serangga lainnya menjadi makanan Sepah Kecil. Burung cantik ini mencari makan di puncak pohon yang tinggi.(4) Menurut Mella Sepah Kecil termasuk burung yang lumayan sukar dijumpai. Jadi, saya cukup beruntung bisa berjumpa dengan kelompok mereka.

Sepah Kecil

Bergerak sangat cepat dan seringkali berpasangan, itulah burung Cabe Jawa (Dicaeum trochileum). Cabe Jawa berukuran sangat kecil dengan suara khas yang berisik. Burung penyebar benalu ini juga sering kami jumpai di sini. Selanjutnya teman-teman UNJ mencium kehadiran burung Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) lewat suaranya. Wow, jumlah jam terbang untuk mengenali jenis burung dari suaranya memang sangat menentukan. Saya, hingga pertemuan dengan Cabe Jawa hanya mampu mengenali suara Gereja Erasia, Cucak Kutilang, dan Cabe Jawa saja.

Cabe Jawa

Kami masih belum beranjak dari tempat pengamatan yang menghasilkan identifikasi beberapa burung. Masih di naungan teduh pepohonan, teman dari UNJ menunjuk ke dahan salah satu pohon. Cipoh Kacat (Aegithina typhia), begitu mereka menyebut burung yang barusan ditunjuk. Saya dengan penglihatan yang memang mulai siwer karena terlalu banyak melihat ke atas hanya bisa mengiyakan saja. Saya percaya dengan kemampuan teman-teman UNJ mengidentifikasi burung-burung. Cipoh Kacat ini berwarna hijau dan kuning, suka berlompatan di cabang-cabang pohon kecil dan hidup sendiri atau berpasangan.(5)

Saya mengenal burung bersuara lumayan merdu ini sebagai burung Balam. Ayah saya memeliharanya di rumah. Oleh teman-teman UNJ burung Balam dikenal sebagai Tekukur Biasa. Burung pemakan biji-bijian ini sejenis dengan merpati. Di tiap sarangnya, Tekukur hanya menghasilkan dua butir telur.

Di lapangan terbuka tampak hilir mudik burung Walet Linchi (Collocalia linchi). Kehadiran Walet Linchi sebenarnya tidak begitu menarik perhatian saya. Yang menjadi menarik adalah ketika kami menemukan Perenjak Jawa (Prinia familiaris). Burung yang lincah ini sering dijumpai di sawah, semak-semak, dan ladang. Burung ini adalah burung endemik yang hanya dijumpai di Sumatra, Jawa, dan Bali.(6)

Burung Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) adalah daftar nama burung yang baru saya dengar. Dengan susah payah saya menangkap kehadirannya di antara pohon-pohon itu. Burung ini sering dijumpai berkelompok, saat mencari makan ataupun saat bertengger.(7)

Bondol Peking (Lonchura punctulata), burung pertama yang saya amati dengan binokuler (cukup sulit menggunakan alat ini :D). Awalnya saya pikir si Bondol Peking ini berekor panjang. Ternyata dia sedang membawa rumput kering untuk membuat sarang. Naik ke dahan, lalu turun lagi untuk mencari rumput kering lain. Setelah asik mengamati Bondol Peking, saya diberitahu oleh Mella bahwa di sini juga terdapat Caladi Tilik (Dendrocopos moluccensis). Namun, saya tidak mengamatinya secara langsung, mungkin kemampuan mengidentifikasi jenis burung dari suaranya menyebabkan Caladi Tilik ini masuk dalam daftar temuan kami. Burung terakhir adalah Wiwik Kelabu (Cacomantis merulinus). Burung ini juga luput dari penglihatan dan pendengaran amatir saya.

Bondol Peking

Selain burung, kami juga mengamati beberapa satwa lainnya seperti capung dan kupu-kupu. Capung yang saya asumsikan sebagai indicator cuaca ini tidak terlalu sering kami jumpai. Namun, kupu-kupu kecil (kuning, putih, hitam, cokelat, putih hijau) juga cukup banyak kami temui di dekat rawa-rawa. Menurut keterangan teman-teman UNJ, serangga seperti itu memang mempunyai larva di daerah yang dekat dengan air.

Sepanjang perjalanan kami juga menemukan beberapa titik pembuangan sampah ilegal. Komoditas sampah didominasi oleh styrofoam. Biasanya sampah-sampah itu berada tidak jauh dari toilet yang kemungkinan besar digunakan untuk kepentingan berkemah. Di beberapa tempat sampah, saya menjumpai sampah yang langsung dibakar di dalam tempat sampah itu. Kali kecil yang berada di sisi barat (dekat rawa-rawa), dengan debit air yang tidak terlalu besar, juga tersumbat oleh sampah kresek.

Kami sempat berbincang santai cukup lama di pertigaan Jl. Bunga Raflesia – Jl. Bayam. Sambil mengamati si Bondol Peking membangun sarang, teman-teman UNJ bercerita tentang kegiatan pengamatan burung yang sudah pernah dilakukan. Titik-titik pengamatan yang membuat saya jadi ingin berkunjung ke sana (Pulau Rambut yang didaulat sebagai surganya burung). Sampai pada adopsi metode peta hijau dalam memetakan hal-hal yang terkait dengan keanekaragaman hayati. Pengamatan keanekaragaman hayati yang kami awali dari Jl. Margasatwa ini pun resmi kami akhiri di sini, ditemani si Bondol Peking yang masih tetap sibuk.

*Tim Survei I: Mella, Tyas, Itie, Rezky, Devit, Nini, Inu.

Catatan:
(1) http://www.bio.undip.ac.id/sbw/spesies/sp_burung_gereja_erasia.htm
(2) http://www.bio.undip.ac.id/sbw/spesies/sp_burung_madu_sriganti.htm
(3) http://richmountain.wordpress.com/fauna/burung-kutilang/
(4) http://www.bio.undip.ac.id/sbw/spesies/sp_sepah_kecil.htm
(5) http://cibuluh.blogspot.com/2010/10/ciri-ciri-burung-cipeuwserpucipoh-kacat.html
(6) http://richmountain.wordpress.com/fauna/burung-perenjak-jawa/
(7) http://richmountain.wordpress.com/2009/08/20/burung-merbah-cerukcuk/

Berhubung saya tidak memiliki kamera standar untuk menangkap profil burung maka seluruh gambar burung (kecuali burung gereja) saya dapatkan dari sumber di bawah ini:
Bondol Peking: http://www.google.co.id/imglanding?q=Lonchura+punctulata&hl=id&biw=1280&bih=711&tbs=isch:1&tbnid=8YjtnctHrXV7JM:&imgrefurl=http://www.efinch.com/species/spice.htm&imgurl=http://www.efinch.com/birdpix2/spicefinch.jpg&ei=BMI6TdisJJCqrAfgudicCA&zoom=1&w=648&h=453

Cabe Jawa: http://www.google.co.id/imglanding?q=Dicaeum+trochileum&hl=id&sa=G&biw=1280&bih=711&tbs=isch:1&tbnid=Oj0CkDa1Kx0kBM:&imgrefurl=http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Dicaeum_trochileum_1.jpg&imgurl=http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/ff/Dicaeum_trochileum_1.jpg&ei=WMI6TdP1IpCqrAfgudicCA&zoom=1&w=800&h=640&iact=rc&oei=WMI6TdP1IpCqrAfgudicCA&esq=1&page=1&tbnh=144&tbnw=180&start=0&ndsp=24&ved=1t:429,r:16,s:0

Sepah Kecil:
http://www.bio.undip.ac.id/sbw/spesies/sp_sepah_kecil.htm

Comments

SS said…
Lengkap bener reportasenya. Mantep...

Mo nambahin, kalo kata Evy guide kita, walet linchi itu bukan jenis sarangnya berharga tinggi. Karena sarang jenis ini banyak campuran dahan dan rantingnya. Tapi coba deh cek lagi di om google...

Wiwik Kelabu kata Evy juga kalo di mitos betawi suka diasosiasikan sbg burung kematian. Kalo bunyi terdengar tanda akan ada yg meninggal.
KWA Wardani said…
woh...asline biasa ae Mbak. :D

nuwun infonya. iya, kemaren lupa nanya apakah si Linchi itu jenis walet yang berharga ato ga. kan jenis mereka juga lumayan banyak. tak genti berarti. nuwun, :D

nah, si Wiwik Kelabu ini aku tak lihat wujudnya. semoga tidak ada asosiasi dengan kematian saat temen2 pada denger suaranya :D

Popular Posts