Cerita Paku Beton di Museum Sejarah Jakarta
Paku beton itu melesak dengan mudah ke dalam kusen pintu di salah satu ruangan gedung Museum Sejarah Jakarta. Selanjutnya, dengan mata bor yang khusus untuk dinding, sebuah paku beton kembali ditanamkan ke dalam dinding gedung museum.
Proses penanaman paku beton ke dalam kusen pintu:
Gedung Museum Sejarah Jakarta terbilang laris manis sebagai lokasi pengambilan gambar baik film maupun iklan. Untuk kepentingan itu biasanya beberapa bagian dari gedung disulap sementara menjadi properti temporer menggunakan bahan triplek. Nah, di dalam pelaksanaannya ternyata diperlukan pengawasan ekstra agar tidak “kecolongan,” seperti yang terjadi Kamis (24/02) lalu.
Pembuatan iklan oleh salah satu bank BUMN itu terpaksa menelan korban berupa tertanamnya dua paku beton ke dalam tubuh MSJ. Saat kejadian itu berlangsung, tidak dijumpai seorang petugas dari pengelola gedung museum. Setelah beberapa saat –mungkin curiga dengan bunyi mesin bor- keluarlah seorang pegawai UPT Kota Tua yang menghentikan aktivitas penanaman paku beton lebih banyak lagi.
Menurut pengakuan pegawai itu, di dalam kontrak perjanjian sudah tertera jelas aturan-aturan yang harus dipatuhi jika menggunakan gedung sebagai lokasi pengambilan gambar. Tidak menambahkan apapun ke dalam elemen gedung sudah tentu menjadi salah satu poin utama. Jika aturan dilanggar, maka tak tanggung-tanggung, semua proses pengambilan gambar harus dihentikan saat itu juga.
Permasalahan kemudian muncul ketika informasi tentang aturan-aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan itu tidak disampaikan secara utuh kepada para pelaksana teknis di lapangan. Tidak adil juga jika langsung menyalahkan para teknisi atas “kecolongan” itu. Mereka hanya menjalankan tugas seperti kebiasaan sebelumnya. Siapa dan apa itu gedung tua, bukanlah menjadi porsi pemikiran mereka. Kondisi ideal tercipta jika pihak yang benar-benar mengetahui tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap gedung tua memberikan pemahaman kepada pihak-pihak yang masih sangat awam. Selanjutnya pengawasan terhadap proses kerja di lapangan oleh pihak berwenang dilakukan seketat mungkin.
Para akademisi atau pihak yang mempunyai jam terbang tinggi di dalam persoalan tinggalan budaya kadang terjebak pada pemahaman sempit mengenai tinggalan itu sendiri. Mereka terlalu sering menggunakan sudut pandang dari sisi mereka sehingga lupa melihat bahwa jumlah mereka adalah minoritas. Masyarakat awam yang buta akan pemahaman tinggalan budaya adalah mayoritas. Lagi-lagi idealnya adalah yang minoritas dengan sabar memberikan pemahaman kepada yang mayoritas perihal tinggalan budaya, bukan sebaliknya. Kasus yang jamak terjadi selama ini adalah mereka yang paham terlalu tidak sabaran sehingga lebih mudah melakukan justifikasi, “itu salah secara undang-undang.” Bahkan seorang teman yang terjun di dalam dunia heritage mengatakan, “emang susah ya, orang-orang itu seenaknya sendiri saja memperlakukan bangunan tua.” Bagaimana jika pernyataannya dibalik menjadi, “kok bisa ya mereka bersikap seperti itu terhadap bangunan tua, apakah kita kurang optimal memberikan informasi mengenai hal itu?” Yep, intinya introspeksi diri lagi. Sejauh ini apakah mereka yang mengaku paham terhadap tinggalan budaya itu sudah menunaikan tugas sucinya untuk menyebarkan virus pengetahuan mengenai tinggalan budaya? Sehingga para pelaksana teknis itu berpikir ulang untuk menanamkan –meski hanya- dua paku ke dalam tubuh MSJ.
Pembuatan iklan oleh salah satu bank BUMN itu terpaksa menelan korban berupa tertanamnya dua paku beton ke dalam tubuh MSJ. Saat kejadian itu berlangsung, tidak dijumpai seorang petugas dari pengelola gedung museum. Setelah beberapa saat –mungkin curiga dengan bunyi mesin bor- keluarlah seorang pegawai UPT Kota Tua yang menghentikan aktivitas penanaman paku beton lebih banyak lagi.
Menurut pengakuan pegawai itu, di dalam kontrak perjanjian sudah tertera jelas aturan-aturan yang harus dipatuhi jika menggunakan gedung sebagai lokasi pengambilan gambar. Tidak menambahkan apapun ke dalam elemen gedung sudah tentu menjadi salah satu poin utama. Jika aturan dilanggar, maka tak tanggung-tanggung, semua proses pengambilan gambar harus dihentikan saat itu juga.
Permasalahan kemudian muncul ketika informasi tentang aturan-aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan itu tidak disampaikan secara utuh kepada para pelaksana teknis di lapangan. Tidak adil juga jika langsung menyalahkan para teknisi atas “kecolongan” itu. Mereka hanya menjalankan tugas seperti kebiasaan sebelumnya. Siapa dan apa itu gedung tua, bukanlah menjadi porsi pemikiran mereka. Kondisi ideal tercipta jika pihak yang benar-benar mengetahui tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap gedung tua memberikan pemahaman kepada pihak-pihak yang masih sangat awam. Selanjutnya pengawasan terhadap proses kerja di lapangan oleh pihak berwenang dilakukan seketat mungkin.
Para akademisi atau pihak yang mempunyai jam terbang tinggi di dalam persoalan tinggalan budaya kadang terjebak pada pemahaman sempit mengenai tinggalan itu sendiri. Mereka terlalu sering menggunakan sudut pandang dari sisi mereka sehingga lupa melihat bahwa jumlah mereka adalah minoritas. Masyarakat awam yang buta akan pemahaman tinggalan budaya adalah mayoritas. Lagi-lagi idealnya adalah yang minoritas dengan sabar memberikan pemahaman kepada yang mayoritas perihal tinggalan budaya, bukan sebaliknya. Kasus yang jamak terjadi selama ini adalah mereka yang paham terlalu tidak sabaran sehingga lebih mudah melakukan justifikasi, “itu salah secara undang-undang.” Bahkan seorang teman yang terjun di dalam dunia heritage mengatakan, “emang susah ya, orang-orang itu seenaknya sendiri saja memperlakukan bangunan tua.” Bagaimana jika pernyataannya dibalik menjadi, “kok bisa ya mereka bersikap seperti itu terhadap bangunan tua, apakah kita kurang optimal memberikan informasi mengenai hal itu?” Yep, intinya introspeksi diri lagi. Sejauh ini apakah mereka yang mengaku paham terhadap tinggalan budaya itu sudah menunaikan tugas sucinya untuk menyebarkan virus pengetahuan mengenai tinggalan budaya? Sehingga para pelaksana teknis itu berpikir ulang untuk menanamkan –meski hanya- dua paku ke dalam tubuh MSJ.
Proses penanaman paku beton ke dalam kusen pintu:
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 3
Tahap 4
Ketika merekam semua proses itu, rasanya saya seperti berada di posisi Kevin Carter. Terlalu berlebihan memang, karena yang saya hadapi adalah obyek tak bernyawa. Saya pun sempat menuai kritik dari seorang teman karena "mengamankan" kegiatan itu, tidak berusaha menegur atau menghentikan. Tak apalah, saya hanya ingin menyatakan protes melalui gambar-gambar ini. Bahwa ada mata rantai informasi yang putus sehingga orang-orang awam berbuat sesuka hati terhadap tinggalan-tinggalan budaya. Setidaknya saya tidak hanya diam dan protes tanpa bertindak. Dan, bukankah selalu ada yang harus dikorbankan untuk sebuah perubahan?
Comments