Menghirup Ruang Megalitik Gunung Padang

Situs Megalitik Gunung Padang

Batu-batu hitam itu bukan hanya sekumpulan batu bisu tanpa makna. Keberadaannya membawa pesan dari masa ribuan tahun yang lalu. Berbincanglah sejenak dengannya, maka ia akan bercerita tentang asal, peran, dan juga tentang aktor di balik kehadirannya.


Jalan Panjang Menuju Gunung Padang
Sebuah pesan cukup panjang mengisi kotak pesan elektronik saya. Isinya, ajakan untuk melakukan ekspedisi ke Situs Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kec. Campaka, Kab. Cianjur, Jawa Barat. Dalam hitungan detik, tanpa sempat mengolah pikiran, saya mengiyakan ajakan itu. Maka berangkatlah saya menuju Gunung Padang (05/02) bersama kelima orang teman lainnya.

Perjalanan ke Gunung Padang kami awali dari Kota Bogor. Dari sana, kami menggunakan angkutan umum menuju Sukabumi untuk selanjutnya menuju Cianjur. Saya pikir perjalanan ini tidak akan memakan waktu yang terlalu lama. Paling tidak cukup empat hingga lima jam saja untuk dapat sampai ke lokasi. Ternyata semuanya tidak sesuai dengan prediksi saya.

Pemilihan angkutan umum yang akan disewa untuk mengantar sampai ke lokasi sangat berpengaruh terhadap cepat atau tidaknya perjalanan yang akan kita tempuh. Kami kebobolan di awal dengan menjatuhkan pilihan pada seorang supir angkot yang terlalu “gaul”, padahal tidak menguasai medan dengan baik. Perjalanan yang harusnya memakan waktu cukup tiga sampai empat jam harus kami tempuh selama hampir enam jam.

Situs Gunung Padang yang kondang di kalangan akademisi sebagai situs megalitik -yang diduga- terbesar se-Asia Tenggara ini ternyata tidak cukup sohor di mata masyarakat. Buktinya, dari hampir sepuluh orang yang kami mintai informasi tidak satu pun mengenal situs ini. Sebagian besar dari mereka merespon dengan kernyitan di dahi, sebagian lagi -dengan sangat polos- menyangka Gunung Padang terletak di Provinsi Sumatera Barat. Padahal, dari beberapa sumber yang saya baca, situs ini masuk nominasi salah satu tempat yang akan dijadikan objek wisata andalan Kabupaten Cianjur.

Pengetahuan yang tidak merata mengenai keberadaan situs Gunung Padang wajar adanya. Penyebarluasan informasi yang terbatas hanya di kalangan tertentu menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu aksesibilitas menuju situs ini terbilang cukup sulit jika tidak membawa kendaraan pribadi. Kondisi jalan menuju situs juga sangat memprihatinkan karena sebagian besar jalan dalam kondisi rusak -sedang hingga berat. Ditambah lagi papan penunjuk jalan menuju situs yang jumlahnya kurang dari lima jari semakin menyembunyikan Gunung Padang dari jangkauan masyarakat umum yang tidak berdomisili di Cianjur.

Ratusan anak tangga menuju puncak


Menyentuh Kepingan Puzzle
Angin kencang menemani perjalanan kami menuju teras pertama Gunung Padang, beberapa jam menjelang titik puncak kontemplasi. Dengan berbekal senter kami menapaki satu per satu anak tangga dari batu. Kami berusaha untuk tetap seimbang terutama pada tanjakan dengan kemiringan nyaris 80⁰ dengan permukaan batu yang licin. Setelah sampai di teras satu, penggal-penggal napas saat mendaki tadi terbayar lunas.

Gelap di atas sini, bulan dan bintang tak mungkin hadir bersama kami malam itu, kalah dengan sang hujan. Dengan aroma sisa-sisa hujan yang masih menggelitik penciuman, kami berdiam sejenak, memecah diri mengikuti langkah kaki masing-masing. Sebuah pengalaman luar biasa bagi saya karena bisa menghirup ruang megalitik pada detik-detik utama untuk berdialog dengan Sang Pencipta. Takjub, dengan penerangan yang sangat minim, saya menyaksikan gagasan dari masa lampau yang mewujud dalam bentuk susunan sekelompok batu dalam ruang-ruang berpola.

Batu-batu di teras lima

Sesekali jika angin berhembus cukup kencang, derit kincir angin bambu menjadi musik pengiring dalam diskusi ringan kami malam itu. Masih di teras satu situs Gunung Padang, kami mulai menyentuh keping-keping puzzle yang susunannya masih terlampau acak. Yoki, seorang teman yang menggagas ekspedisi ini memberikan pengantar singkat mengenai situs Gunung Padang. Sebuah dua buah kalimat tentang megalitik yang dilontarkan oleh Yoki mampu membuat kami bertahan cukup lama di tengah suhu udara yang kian turun. Hal permukaan seputar megalitik yang kami bicarakan malam ini di teras satu menjadi bekal untuk mendaki esok hari ke teras tertinggi, ke ruang paling sakral di Gunung Padang. Situs ini terdiri dari lima teras. Teras pertama diduga digunakan sebagai tempat pemujaan umat. Semakin ke atas, semakin sakral. Hanya orang-orang dari golongan tertentu saja yang diperbolehkan menginjakkan kaki sampai ke teras lima Konsep tersebut serupa dengan yang berlaku pada masa klasik/Hindu-Buddha. Namun begitu, penerapan konsep tersebut di masa kini tidaklah seketat dulu ketika situs masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya. Para peziarah di Gunung Padang memang memilih teras kedua sebagai tempat meletakkan sesaji dan teras teratas sebagai tempat menyepi. Sementara, wisatawan seperti kami bebas menjelajah di teras mana pun.


Membaca Megalitik di Gunung Padang
Gerimis masih betah berlama-lama membuka pagi. Matahari tak mampu muncul karena awan berkuasa atas langit pagi itu. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya gerimis mau berkompromi. Dalam kabut yang turun pelan-pelan, kami kembali mendaki Gunung Padang.

Tiba di teras satu, kami disuguhi tumpukan batu-batu jenis andesit berbentuk kolom. Batu-batu itu dikategorikan menjadi beberapa kelompok. Sepanjang pengamatan saya, terdapat tiga bentuk utama yang masih jelas terlihat polanya. Dua ruangan persegi panjang dan satu gundukan setinggi kira-kira 2 m. Sisanya berupa tumpukan batu yang membentuk kelompok-kelompok kecil, menyebar di ruang teras satu. Teras satu diperkuat dengan batu-batu yang ditanam hampir di seluruh dinding terasnya. Dari beberapa batu yang masih dalam posisi tegak, miring, dan rebah pada pinggiran teras terdapat indikasi bahwa teras satu ini memiliki pagar. Hal yang sama juga saya jumpai pada teras-teras selanjutnya.

Tiga batang dupa, sebutir kelapa muda, dan sebotol air kemasan, tertata di antara tumpukan batu dekat sebuah pohon di teras dua. Kemungkinan besar benda-benda itu adalah sesaji yang diletakkan oleh peziarah yang melakukan ritual semalam. Bekas pembakaran juga tampak pada permukaan batu di dekat sesaji itu. Sebuah bentuk laku yang kontradiktif menurut saya. Para peziarah “menyepi” di tempat ini untuk mendapatkan pencerahan, namun di sisi lain turut mempercepat proses kerusakan situs. Batu-batu itu tanpa mendapat dampak pembakaran pun sudah cukup bersusah payah menghadapi jamur dan lumut yang terus menggerogotinya tiap detik. Vandalisme berupa tulisan pada batu juga saya jumpai.

Teras tiga dan empat sepi dari himpunan batu, ruangnya terkesan lebih kosong. Jumlah batu yang masih berdiri maupun yang rebah tidak sebanyak yang dijumpai di teras satu dan dua. Namun, pagar pada kedua teras ini terlihat lebih lengkap. Memasuki teras lima, terdapat sebuah ruang berorientasi timurlaut-baratdaya. Di teras ini terdapat sebuah dolmen yang diduga berfungsi sebagai meja persembahan.

Salah satu ruang di teras satu, diduga sebagai tempat pertemuan

Sisa obrolan malam tentang megalitik di teras satu dilanjutkan lagi di teras lima, teras yang paling sakral. Obrolan itu mengantar pada awal mula istilah megalitik ini diperkenalkan. Megalitik, sebuah kebudayaan yang muncul pada masa Neolitik ini pada awalnya selalu dikaitkan dengan kebudayaan batu besar. Bahkan tak jarang megalitik dipahami sebagai sebuah masa tersendiri, terpisah dari Neolitik. Megalitik bukanlah sebuah istilah untuk periodesasi, melainkan hasil kebudayaan yang tercipta pada masa Neolitik dan terus berkembang sampai masa selanjutnya, bahkan sampai kini.

Pada masa kemudian, seiring dengan banyaknya temuan baru dan berkembangnya kerangka pikir keilmuan arkeologi maka istilah megalitik tidak lagi mengacu pada artefak batu berukuran besar. Megalitik kemudian dipandang sebagai sesuatu yang lebih luas. Tinggalan dari kebudayaan ini pasti akan terkait dengan kultus pemujaan terhadap nenek moyang. Artinya, meskipun tinggalan itu berukuran kecil, jika dia masih terkait dengan pemujaan nenek moyang maka tinggalan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebudayaan megalitik. Pandangan terbaru ini lebih melihat sisi ideologis atau gagasan yang tersimpan di balik sebuah benda.

Situs Gunung Padang sendiri sebenarnya sudah masuk dalam catatan N.J. Krom -seorang ahli purbakala di era Hindia Belanda-, pada 1914. Saat itu Krom menganggap bahwa situs ini adalah sebuah situs yang berkaitan dengan penguburan. Puluhan tahun kemudian, pada 1982, D.D. Bintarti melakukan ekskavasi (penggalian arkeologis) di beberapa titik di teras tiga. Ekskavasi itu tidak menunjukkan adanya tanda-tanda penguburan selain pecahan gerabah polos dalam jumlah terbatas. Ekskavasi tersebut semakin mengukuhkan pandangan bahwa situs Gunung Padang adalah situs yang digunakan untuk kegiatan pemujaan.

Unsur pemujaan dalam kebudayaan megalitik beririsan dengan hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Monumen-monumen itu didirikan sebagai media penghubung antara keduanya. Agar berkah dan kesejahteraan selalu diberikan oleh leluhur kepada yang masih hidup. Selain itu, keberadaan monumen-monumen itu juga erat kaitannya dengan citra diri seseorang di dalam komunitasnya. Orang-orang yang mempunyai strata sosial tinggi, ketika mati pasti dibuatkan monumen yang megah. Agar orang banyak tahu perihal kebesarannya sewaktu masih hidup dulu. Ketika masih hidup pun, mereka yang telah mampu membuat pesta jasa, bisa mendirikan megalit juga. Kebudayaan ini bahkan masih hidup hingga masa sekarang. Masyarakat adat di Nias, Sumba, dan Toraja misalnya masih menjalankan budaya ini. Dari merekalah kita bisa membuat analogi untuk memanggil cerita tentang masa lampau, meskipun tak bisa lepas dari bias.


Mitos, memori, dan sejarah lokal
Adalah Abah Dadi dan Pak Nanang yang menemani saya ngobrol di bawah terik matahari ketika teman-teman menyiapkan makan siang. Abah Dadi yang sebagian besar tanahnya berada di sekitar situs ini banyak bercerita kepada saya. Tentang kanak-kanaknya saat ia melihat Gunung Padang sebagai tempat semedi. Menurut Abah, kakek buyutnya bercerita bahwa di situs ini setiap malam selasa dan jumat sering terdengar alunan musik gamelan.

Gunung Padang juga sering dikaitkan dengaan bilangan lima. Ia terdiri dari lima teras. Bentuk batu-batunya sebagian besar mempunyai lima sisi. Bilangan lima ini kemudian dikait-kaitkan dengan nilai-nilai Islam. Dan saya tak berani komentar apa pun. Hanya mengangguk-angguk saja.

Sajadah yang tertinggal

Selain dengan Islam, situs juga dihubung-hubungkan dengan Prabu Siliwangi yang layaknya Bandung Bondowoso gagal membangun istana dalam waktu satu malam. Ricky, seorang teman ekspedisi dengan iseng berkomentar bahwa Prabu Siliwangi kecolongan, satu jin tidak masuk kerja rodi malam itu sehingga menghancurkan segalanya. Abah bahkan menuturkan bahwa terdapat kemungkinan bahwa kakek Prabu Siliwangi telah menggunakan situs ini setelah situs dalam kondisi siap pakai. Lagi-lagi, saya hanya mengangguk-angguk saja, semua di luar daya jelajah pikiran saya. Menurut saya, justru mitos-mitos seperti itu yang menghidupkan sebuah kawasan situs arkeologi. Selama penggunaanya masih dalam batas yang dapat ditolerir, saya pikir tidak ada masalah, justru memperkaya.

Dalam ingatan Abah, dahulu masih banyak dijumpai pohon-pohon besar di atas Gunung Padang. Namun, pada 1975 pohon-pohon tersebut ditebang. Monyet-monyet penghuninya pun harus transmigrasi bedol desa. Pada 1978/1979 di atas situs dan sekitarnya pernah dijadikan ladang jagung dan sawah. Barulah pada 1979 keberadaan situs ini dilaporkan ke pemerintah. “Dulu batu-batunya susunannya tidak seperti ini, lebih tertata, jadi banyak yang roboh karena ulah manusia juga dulu,” ujar Abah menyinggung kegiatan membuka ladang dan sawah pada 70an silam.

Mengenai persoalan lahan di sekitar situs, Abah mengakui bahwa sudah dilakukan pengukuran luas tanah oleh pemda. Menurutnya, pemda saat ini sedang melakukan kalkulasi untuk biaya pembebasan. Jika jadi, lahan di sekitar situs memang akan dibebaskan untuk dilakukan penataan lebih lanjut.


Aktor di Balik Layar
Tumpukan batu berbentuk kolom yang jumlahnya sangat banyak, terletak di atas gunung, memiliki pola tertentu, kiranya memunculkan pertanyaan tersendiri. Siapakah aktor di balik karya besar ini? Pertanyaan yang hingga detik ini masih menjadi pekerjaan rumah untuk saya.

Kebudayaan megalitik ini muncul saat manusia sudah mengenal sistem bercocok tanam dan sistem sosial dalam masyarakat yang lebih kompleks (pemerintahan dan pembagian kerja). Lalu, siapakah mereka? Termasuk ke dalam ras apa? Di manakah permukimannya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah untuk saya jawab. Terlepas dari mitos tentang campur tangan Prabu Siliwangi pada situs ini, saya masih memandang bahwa situs ini memang hasil kebudayaan megalitik. Untuk mengetahui aktor di balik terciptanya situs Gunung Padang, kita harus membaca ruang di sekitar situs ini. Bahwa Gunung Padang kemungkinan besar tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan dengan situs-situs lain di sekitarnya.

Batas di teras lima


Melacak Sumber Bahan
Batu-batu yang ditemukan di Gunung Padang sebagian besar berbentuk kolom. Batu tersebut adalah berbentuk kekar kolom (columnar joint) yang masuk ke dalam tipe batuan andesit. Bentuk kekar kolom itu terjadi karena proses pendinginan lava. Ricky -yang mendalami Geologi- menceritakan bahwa kekar kolom ini termasuk bentuk yang “asyik”. Kita bisa mengetahui arah aliran lava dari bentuk kekar kolom. Kekar kolom bentuknya macam-macam, ada yang segi lima, segi enam, atau segi delapan dengan arah kolom berdiri/tegak, miring, atau rebah.

Batu berbentuk kekar kolom

Bentuk kekar kolom pada batu-batu di atas Gunung Padang menggoda kami untuk mencari tahu asal muasal batu-batu ini. Kami memang tidak membawa bekal peta geologi, pun tidak mengetahui keberadaan gunung purba di sekitar situs. Kami hanya disuguhi cerita bahwa situs ini dikelilingi oleh lima gunung.

Saya dan Ricky mencoba menggambar keletakan situs terhadap gunung dan sungai di sekitarnya. Di sisi tenggara Gunung Padang terdapat Gunung Melati, Pasir Malang di sisi timurlaut, Pasir Gombong/Batu di sisi baratlaut, Pasir Empat dan Gunung Karuhun di sisi baratdaya. Kecenderungannya situs ini menghadap ke arah Gunung Gede Pangrango, yaitu sisi barat aut. Dari Pasir Gombong/Batu sampai Gunung Gede Pangrango deretan lima bukit kecil. Lagi-lagi bilangan lima muncul di sini. Setelah digambar dan dibandingkan dengan kenyataan, tampaknya kelima gunung yang mengelilingi Gunung Padang membentuk semacam formasi temu gelang. Lagi-lagi itu hanya imajinasi saya dan Ricky karena kami tidak melihat ala “birds eye view.”

Sketsa Ruang Makro Situs Gunung Padang

Terdapat tiga sungai yang mengalir di sekitar Gunung Padang. Sungai Cipanggulaan yang menurut Abah memiliki arti sebagai tempat logistik, Sungai Cimanggu (karena di sini dulu terdapat sebuah pohon manggis berukuran besar), dan Sungai Cikuta (lubang, bolong). Menurut cerita Abah, dulu di dekat Sungai Cikuta terdapat sebuah gapura batu berukuran besar yang kemudian dihancurkan karena lahannya dijadikan sawah. Menjadi pertanyaan Abah dan warga sekitar, apakah Cikuta menjadi semacam gerbang masuk menuju situs Gunung Padang? Memang diperlukan kajian mendalam untuk itu.

Ada dua opsi mengenai asal muasal batu berbentuk kolom yang tersusun di Gunung Padang. Opsi pertama menyatakan bahwa batu itu dibentuk atau mendapat sentuhan tangan manusia sebelum disusun di atas sana. Di kaki Gunung Melati, menurut Abah banyak dijumpai serpihan-serpihan batu yang sejenis dengan batu di Gunung Padang. Debris, begitu kalangan akademisi menyebutnya. Selain itu toponim Ciukir dan Empang sebagai nama kampung di kaki Melati menarik untuk diselidiki lebih jauh. Ciukir yang berarti tempat orang mengukir diduga merupakan tempat batu-batu di Gunung Padang dibentuk. Setelah diukir, batu kemudian disucikan di kampung Empang sebelum dibawa naik ke Gunung Padang. Mendengar hal itu saya jadi tertarik untuk melihat langsung daerah debris di kaki Melati. Tidak jauh dari Gunung Padang, sekitar 5 km di sisi baratdaya terdapat sebuah tempat yang sekarang dijadikan areal pertambangan batu. Daerah itu oleh teman-teman Arkeologi UI disebut sebagai tambang batu. Namun sayangnya, kami belum sempat ke sana. Menurut Yoki, yang sudah berkali-kali ke sana, terdapat batu-batu berbentuk kekar kolom di sana. Namun, Abah menyebutkan bahwa batu yang ditambang di Tambang Batu berbeda jenis dengan yang ditemukan di Gunung Padang. Lagi-lagi perlu pembuktian lebih jauh mengenai eksploitasi dan transportasi batu-batu tersebut.

Opsi kedua menyebutkan bahwa semua batu kolom yang ada di Gunung Padang adalah batu yang terbentuk karena proses alam, tanpa campur tangan manusia. Bisa jadi juga, manusia saat itu cukup memecah batu kolom yang memang sudah memiliki bentuk dan mudah untuk dipecah kemudian memindahkannya ke Gunung Padang. Tetapi isu yang kental di opsi kedua ini adalah bahwa batu-batu di Gunung Padang memang berasal dari Gunung Padang. Batu sejenis tidak dijumpai di lima gunung yang melingkupi Gunung Padang.

Sumber bahan selalu menjadi menarik bagi saya. Ketika kita dapat menemukan sumber bahan, maka kita akan disuguhkan cerita menarik terkait dengan teknologi yang berkembang masa itu. Mulai dari proses penambangan hingga proses pemindahan batu-batu kolom yang ukurannya tergolong besar ke atas gunung. Semua itu terasa sangat sulit diterima pikiran zaman sekarang. Zaman di mana barang dapat dipindahkan dengan mudahnya. Dulu, mungkin sekali mereka memindahkan batu-batu kolom itu –dalam kondisi alam berkontur rapat, topografinya berbukit-bukit- dengan menggunakan batang-batang kayu sebagai “roda”. Sekedar untuk mengurangi gaya gesek. Lantas butuh waktu berapa lama? Menjadi sebuah pertanyaan yang jawabannya masih tersimpan entah di mana.




Logistik:
Dari Stasiun Bogor – Masjid Raya Bogor naik angkot hijau 03 (Rp 2.000,-) lanjut naik Elf 300 – Sukabumi (Rp 12.000,-) kemudian sewa angkutan ke Warung Kondang (normalnya sekitar Rp 200.000,-). Tapi karena banyak nyasar, dari Sukabumi sewa angkot ke Pasirhayam (Rp 80.000) lanjut sewa angkot lagi ke Gunung Padang (Rp 300.00,- untuk pergi dan pulang).

Informasi ekskavasi didapatkan dari:
Suleiman, Satyawati. 2001. “Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa Barat.” Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.

Potongan perjalanan dapat dilihat di:
https://picasaweb.google.com/minoritaskiri/RUANGMEGALITIKGUNUNGPADANG#

Comments

Popular Posts