Runtuhnya Pamor Prabu Siliwangi
Lokasi: Halaman dalam Museum Sejarah Jakarta, depan patung Dewa Hermes
Waktu: Rabu (23/02)sekitar pukul 10.00 menuju pukul 11.00 WIB
Aktor: Seorang pemandu MSJ, beberapa orang guru pendamping, anak-anak SD kelas 4 dan 5, seorang mahasiswa Museologi UI.
Pemandu: Jadi adek-adek, daerah ini dulunya bernama Sunda Kelapa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Anak-anak: Manggut-manggut sok ngerti.
Pemandu: Nah, ada seorang raja yang paling terkenal dari Kerajaan Pajajaran. Namanya siapa hayo?
Anak-anak: Bisik-bisik, entah mencari jawaban, entah ngobrolin hal yang tidak kontekstual, dan entah-entah yang lain.
Pemandu: Namanya Prabu….Prabu…Prabu…
Anak-anak: Makin bingung, dan tak ada yang menjawab.
Pemandu: Prabu….
Anak-anak: beberapa orang menyeletuk….Prabu Wijaya… Prabu Wijaya....
Pemandu: ????
Guru: ????
Mahasiswa Museologi: ???
Setelah itu pecah tawa di antara pemandu, guru pembimbing, mahasiswa museologi yang kebetulan lewat, dan anak-anak itu. Jelas sekali jawabannya bukan Prabu Wijaya. Pikiran saya langsung melayang ke jajaran raja-raja Majapahit saat saya mendapat cerita ini dari teman saya (dia berperan sebagai mahasiswa Museologi) yang menjadi saksi kunci adegan tersebut. Saya pikir kenapa anak-anak begitu jauh melemparkan nama raja sampai ke timur Jawa sana, sementara raja tersebut tak jauh-jauh asalnya dari sekitaran barat Jawa sini.
Alkisah, ternyata Prabu Wijaya itu adalah nama tokoh sinetron yang saat ini sedang naik tayang di salah satu stasiun televisi swasta. Prabu Wijaya adalah ayah dari tokoh Amira (Nikita Willy) dalam sinetron "Putri yang Tertukar". Guobrak…….Wajar saja jika tokoh Prabu Wijaya ini begitu lekat di kepala anak-anak, guru pembimbing, pemandu, -dan teman saya-. Sinetron ini ditayangkan hampir empat jam sehari. Efeknya dahsyat sekali, mampu menciptakan tokoh-tokoh baru dalam kanvas sejarah Indonesia. Prabu Siliwangi digulingkan oleh sosok fiktif Prabu Wijaya. Kita lihat, besok tokoh mana lagi yang akan digeser posisinya.
Untuk alasan itulah saya masih menjaga jarak dengan televisi. Benda kotak dengan layar kaca itu memang berhasil memikat saya di waktu kecil dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, si kotak berlayar kaca itu menyajikan acara-acara yang cepat membuat eneg –mungkin akan berbeda jika keluarga saya mampu berlangganan TV kabel-. Pihak-pihak yang mempunyai kemampuan untuk meramaikan layar televisi makin hari makin tak bertanggungjawab saja. Mereka selalu saja memasok “sampah-sampah” untuk dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Memang tidak semua stasiun televisi menyebarkan “racun” yang mematikan. Ada juga si yang masih punya rasa manusiawi.
Saya jadi ingat percakapan dengan seorang teman beberapa tahun silam. Kami mengangkat topik “Barang-Barang yang Ingin Dibeli Dengan Gaji Pertama” dalam perjalanan menuju ke alam mimpi masing-masing. Saya menyebutkan sepeda sebagai barang yang paling ingin saya beli. Sementara teman saya itu, karena selalu bermasalah dengan televisi bututnya sangat menginginkan televisi. Saya cukup paham dengan pilihan itu, meskipun saya tahu dia tidak begitu menyukai acara-acara yang disajikan di televisi. Dia selalu stress setiap kali menghidupkan televisinya. Televisi 14 inch-nya itu harus ditampar sehalus mungkin untuk menghidupkannya. Belum lagi saluran yang berpindah-pindah sendiri, suara yang mengecil tiba-tiba, jumlah semut yang semakin banyak meski sudah memakai antena yang diiklankan oleh Mandra, dan keluhan-keluhan tak terduga lainnya. Intinya, gaji pertamanya besok akan dia belikan televisi baru untuk mengobati kekecewaannya terhadap televisi kuno yang semakin dingin di sudut kamar kosnya.
Setelah empat tahun berselang teman saya itu mengganti keinginannya. Bukan karena gaji pertama yang tak cukup untuk sebuah televisi layar datar yang cantik. Bukan pula karena sifat lupa yang fatal. Tapi karena televisi selama ini -hingga detik ini- menjadi media memasak makanan rendah gizi untuk masyarakat Indonesia. Dan dia lebih tertarik mencari media memasak yang sesungguhnya. Syukurlah keputusannya berubah.
Keputusan untuk bermusuhan dengan benda kotak berlayar kaca itu memang bukanlah pilihan yang tepat. Saya pikir masih tersisa sedikit acara bermutu di dalamnya. Namun, saya sudah terlanjur malas. Terlebih dengan kenyataan efek negatif televisi yang lumayan “besar” hingga mampu menggulingkan ketenaran seorang Prabu Siliwangi. Saya masih akan berada di titik ini, dengan segala resikonya. Resiko untuk informasi yang terlambat mengenai perceraian artis A dan B ataupun mengenai penolakan DPR atas pembentukan komisi “blablabla.” Sikap saya tetap bahwa iklim acara televisi di Indonesia kian buruk, beranjak ke tahap “sakit.” Mungkin saya akan tetap membeli televisi suatu saat nanti, namun dilengkapi dengan alat pemutar film. Satu-satunya stasiun televisi yang saya izinkan masuk ke dalam televisi saya hanyalah TVRI. Meskipun terperangkap zaman, namun dia masih menjadi yang terbaik di mata saya.
Catatan:
Cerita tentang Prabu Wijaya saya dapatkan dari teman saya yang anak Museologi itu, siang hari ini.
Waktu: Rabu (23/02)sekitar pukul 10.00 menuju pukul 11.00 WIB
Aktor: Seorang pemandu MSJ, beberapa orang guru pendamping, anak-anak SD kelas 4 dan 5, seorang mahasiswa Museologi UI.
Pemandu: Jadi adek-adek, daerah ini dulunya bernama Sunda Kelapa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Anak-anak: Manggut-manggut sok ngerti.
Pemandu: Nah, ada seorang raja yang paling terkenal dari Kerajaan Pajajaran. Namanya siapa hayo?
Anak-anak: Bisik-bisik, entah mencari jawaban, entah ngobrolin hal yang tidak kontekstual, dan entah-entah yang lain.
Pemandu: Namanya Prabu….Prabu…Prabu…
Anak-anak: Makin bingung, dan tak ada yang menjawab.
Pemandu: Prabu….
Anak-anak: beberapa orang menyeletuk….Prabu Wijaya… Prabu Wijaya....
Pemandu: ????
Guru: ????
Mahasiswa Museologi: ???
Setelah itu pecah tawa di antara pemandu, guru pembimbing, mahasiswa museologi yang kebetulan lewat, dan anak-anak itu. Jelas sekali jawabannya bukan Prabu Wijaya. Pikiran saya langsung melayang ke jajaran raja-raja Majapahit saat saya mendapat cerita ini dari teman saya (dia berperan sebagai mahasiswa Museologi) yang menjadi saksi kunci adegan tersebut. Saya pikir kenapa anak-anak begitu jauh melemparkan nama raja sampai ke timur Jawa sana, sementara raja tersebut tak jauh-jauh asalnya dari sekitaran barat Jawa sini.
Alkisah, ternyata Prabu Wijaya itu adalah nama tokoh sinetron yang saat ini sedang naik tayang di salah satu stasiun televisi swasta. Prabu Wijaya adalah ayah dari tokoh Amira (Nikita Willy) dalam sinetron "Putri yang Tertukar". Guobrak…….Wajar saja jika tokoh Prabu Wijaya ini begitu lekat di kepala anak-anak, guru pembimbing, pemandu, -dan teman saya-. Sinetron ini ditayangkan hampir empat jam sehari. Efeknya dahsyat sekali, mampu menciptakan tokoh-tokoh baru dalam kanvas sejarah Indonesia. Prabu Siliwangi digulingkan oleh sosok fiktif Prabu Wijaya. Kita lihat, besok tokoh mana lagi yang akan digeser posisinya.
Untuk alasan itulah saya masih menjaga jarak dengan televisi. Benda kotak dengan layar kaca itu memang berhasil memikat saya di waktu kecil dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, si kotak berlayar kaca itu menyajikan acara-acara yang cepat membuat eneg –mungkin akan berbeda jika keluarga saya mampu berlangganan TV kabel-. Pihak-pihak yang mempunyai kemampuan untuk meramaikan layar televisi makin hari makin tak bertanggungjawab saja. Mereka selalu saja memasok “sampah-sampah” untuk dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Memang tidak semua stasiun televisi menyebarkan “racun” yang mematikan. Ada juga si yang masih punya rasa manusiawi.
Saya jadi ingat percakapan dengan seorang teman beberapa tahun silam. Kami mengangkat topik “Barang-Barang yang Ingin Dibeli Dengan Gaji Pertama” dalam perjalanan menuju ke alam mimpi masing-masing. Saya menyebutkan sepeda sebagai barang yang paling ingin saya beli. Sementara teman saya itu, karena selalu bermasalah dengan televisi bututnya sangat menginginkan televisi. Saya cukup paham dengan pilihan itu, meskipun saya tahu dia tidak begitu menyukai acara-acara yang disajikan di televisi. Dia selalu stress setiap kali menghidupkan televisinya. Televisi 14 inch-nya itu harus ditampar sehalus mungkin untuk menghidupkannya. Belum lagi saluran yang berpindah-pindah sendiri, suara yang mengecil tiba-tiba, jumlah semut yang semakin banyak meski sudah memakai antena yang diiklankan oleh Mandra, dan keluhan-keluhan tak terduga lainnya. Intinya, gaji pertamanya besok akan dia belikan televisi baru untuk mengobati kekecewaannya terhadap televisi kuno yang semakin dingin di sudut kamar kosnya.
Setelah empat tahun berselang teman saya itu mengganti keinginannya. Bukan karena gaji pertama yang tak cukup untuk sebuah televisi layar datar yang cantik. Bukan pula karena sifat lupa yang fatal. Tapi karena televisi selama ini -hingga detik ini- menjadi media memasak makanan rendah gizi untuk masyarakat Indonesia. Dan dia lebih tertarik mencari media memasak yang sesungguhnya. Syukurlah keputusannya berubah.
Keputusan untuk bermusuhan dengan benda kotak berlayar kaca itu memang bukanlah pilihan yang tepat. Saya pikir masih tersisa sedikit acara bermutu di dalamnya. Namun, saya sudah terlanjur malas. Terlebih dengan kenyataan efek negatif televisi yang lumayan “besar” hingga mampu menggulingkan ketenaran seorang Prabu Siliwangi. Saya masih akan berada di titik ini, dengan segala resikonya. Resiko untuk informasi yang terlambat mengenai perceraian artis A dan B ataupun mengenai penolakan DPR atas pembentukan komisi “blablabla.” Sikap saya tetap bahwa iklim acara televisi di Indonesia kian buruk, beranjak ke tahap “sakit.” Mungkin saya akan tetap membeli televisi suatu saat nanti, namun dilengkapi dengan alat pemutar film. Satu-satunya stasiun televisi yang saya izinkan masuk ke dalam televisi saya hanyalah TVRI. Meskipun terperangkap zaman, namun dia masih menjadi yang terbaik di mata saya.
Catatan:
Cerita tentang Prabu Wijaya saya dapatkan dari teman saya yang anak Museologi itu, siang hari ini.
Comments