Simpan Uang di Celengan


Di tengah maraknya tawaran-tawaran menggiurkan untuk menyimpan uang oleh dunia perbankan, Museum Anak Kolong Tangga sejenak mengajak saya untuk singgah sebentar ke masa silam. Bertempat di Bentara Budaya Jakarta, museum yang bermarkas di Yogyakarta ini menggelar pameran celengan bertajuk "Simpan Satu Rupiah" dari tanggal 18-26 Maret. Konsep yang diusung dalam pameran ini diwujudkan dalam sebuah kesederhanaan tampilan yang memikat.

Dua celengan ayam buatan Kasongan menyambut saya mengawali perjalanan di dalam ruang pamer yang bernuansa cokelat hijau. Rangka-rangka bambu menopang tiap informasi dari celengan-celengan yang dipamerkan. Menarik, celengan-celengan di dalam wadah kaca itu mampu bercerita banyak tentang diri mereka. Saya yakin riset untuk pameran ini tidak menggunakan sistem kebut semalam. Kisah di balik tempat penyimpanan uang itu tersaji dengan sangat rinci meskipun dalam uraian panjang.


Beragam celengan dari berbagai bentuk, masa, tempat, dan bahan dipamerkan di sini. Menurut brosur yang saya dapat setidaknya ada 250 celengan koleksi Museum Anak Kolong Tangga yang dipamerkan di sini. Figur hewan mendominasi koleksi. Mulai dari celeng (babi), gajah, kura-kura, macan, ikan, naga, kelinci, ayam, kuda. Figur yang lebih kontemporer menampilkan bentuk-bentuk yang lebih nyeleneh. Tokoh yang menyerupai manusia yang mengenakan dasi tapi dengan tanduk di kepala cukup menggelitik menurut saya. Lalu sebuah tabung gas 3 kg yang tengah diamati oleh dua orang. Koleksi-koleksi kontemporer yang mengajak berpikir ulang.


Museum Anak Kolong Tangga cukup banyak menampilkan koleksi celengan dari masa Majapahit. Perihal temuan celengan dari Majapahit yang berupa celeng ini sudah sohor dimana-mana. Fungsinya pun masih mengandung banyak interpretasi. Ada yang mengatakan tempat menyimpan uang, ada juga yang mengatakan sebagai mainan. Kedua fungsi tersebut dapat dilihat dari ukuran si celengan karena akan dihubungkan dengan bentuk mata uang yang berlaku saat itu. Saya pernah melihat mata uang lokal Majapahit, uang gobog namanya, dan ukurannya lumayan besar.

Cara menyimpan uang yang lain saya dapatkan dari cerita ibu saya. Dulu kakek saya menyimpan uang di dalam tiang rumahnya yang terbuat dari bambu. Menurut dia tempat itu relatif aman dibandingkan dengan celengan berbahan tanah liat yang mudah dikenali. Cara menyimpan yang unik lainnya adalah dengan menjahit uang-uang itu pada pakaian. Ada lagi yang suka menyimpan uang di dalam kaos kaki. Mungkin cara ini akan saya terapkan jika melakukan perjalanan jauh.

Celengan sebenarnya bukan hal asing bagi saya. Sejak kecil saya sudah berkenalan dengannya. Saya mengalami masa menggunakan celengan berbahan tanah liat kemudian celengan berbahan plastik hingga celengan berbahan besi dengan sapuan warna-warna cantik di atasnya. Seiring lepasnya masa-masa kecil dari diri saya kemudian saya pun mengganti celengan dengan sebuah buku yang berisi angka-angka. Memang menjadi sangat menyebalkan ketika harus menitipkan uang yang tak seberapa kepada bank. Meskipun uang di dalam celengan saya tak bisa menghasilkan bunga, namun lebih baik begitu ketimbang uang saya "diputar" tanpa sepengetahuan saya.

Terlepas dari penyajian koleksi di dalam kotak kaca yang mengingatkan pada beragam makanan siap saji di warteg namun pameran ini tetap luar biasa di mata saya. Pameran ini mampu menghadirkan celengan sebagai wujud kebudayaan manusia, menyajikan informasi yang kaya, dan menyediakan ruang interaksi bagi pengunjungnya. Sepulangnya dari pameran ini saya berpikir mengenai tempat penyimpanan uang. Apakah bank memang tempat terbaik dengan rangkaian bunga yang menggiurkan? Adakah kearifan dari sebuah celengan yang masih bisa diterapkan di era seperti ini? Kemudian saya berdiri clingak clinguk di antara bank dan celengan.

Comments

Popular Posts