Paket Komplit Purwokerto: Diawali Dari Bogowonto, Diakhiri Dengan Dewi Sri
Purwokerto adalah kota yang sering tertukar dengan Purwakarta dalam pikiran kanak-kanak saya. Kota ini juga nyaris hilang dalam ingatan saya. Kenapa? Saya pernah mengunjungi kota ini pada awal 2009 untuk sebuah pekerjaan, tapi nyaris tak bisa mengingat bahwa saya pernah menginjakkan kaki dan melewatkan satu malam di kota ini.
Menuju Purwokerto
Stasiun Purwokerto tergolong stasiun lawas yang sudah ada setidaknya sejak 1916. Dengan ukuran yang tidak begitu besar, stasiun ini tampak bersih dan tertata rapi. Beberapa pedagang mengenakan seragam resmi, meski terkadang diganti ketika kereta yang singgah berlalu pergi. Terdapat papan informasi yang dilengkapi dengan ikon. Ada juga tempat nongkrong yang lumayan nyaman sembari menunggu kereta tiba. Sayangnya, bagian fasade bangunan sudah berubah, tidak sama lagi dengan kondisi 1916. Kemungkinan besar fasade diubah sebelum 1990.
Menikmati Purwokerto
Meninggalkan Purwokerto
1. Kereta Bogowonto (Jakarta-Kutoarjo) Rp 70.000. Berangkat dari Stasiun Senen pukul 09.00 WIB
2. Untuk mencapai Baturraden bisa menggunakan angkutan desa warna hijau dari terminal bis Purwokerto. Tarif Rp 7.000.
3. Tiket masuk Baturraden Rp 5.000
4. Untuk mencapai terminal bis Purwokerto bisa menggunakan angkutan seri B atau G (warna merah). Biasanya nama tujuan tercantum pada papan kecil di atas angkutan. Tarif Rp 2.500.
5. Serabi bisa dijumpai di Jalan Bank, harganya tak lebih dari Rp 1.500
6. Soto khas Purwokerto bisa didapatkan di Soto Ayam Haji Loso di Jalan Bank. Harga per porsinya Rp 8.000 sementara es duren juara di tempat ini dijual seharga Rp 9.000 per porsi.
7. Pulang dengan Dewi Sri kelas ekonomi seharga Rp 40.000. Jika ingin efek kejut yang tidak bisa diprediksi, silahkan mencoba pulang bersama Dewi Sri.
Menuju Purwokerto
“Mari kita rayakan masa pengangguranmu di Baturraden, Nu,” begitu ajakan teman saya beberapa bulan yang lalu. Tanpa diajak pun saya memang berniat untuk melancong ke Purwokerto. Selain ingin mengunjungi seorang teman dan museumnya, saya juga hendak mencicipi Bogowonto membelah alam indah Bumiayu. Jadi, tak perlu berpikir lama-lama, saya putuskan saja menghabiskan masa liburan (22-24/04) yang lumayan panjang kemarin untuk main ke Purwokerto. Untuk kepentingan yang super penting ini saya mengajak serta seorang teman.
Kami memulai perjalanan dari Stasiun Senen. Bogowonto yang akan mengantar kami dijadwalkan berangkat pukul 09.20 dari Stasiun Jatinegara, berarti sebelum itu dia sudah harus tiba di Senen. Namun, karena satu dan lain hal Bogowonto baru tiba sekitar pukul 09.40. Tak apalah, saya mulai terbiasa untuk memahami keterlambatan jadwal keberangkatan transportasi umum.
Kami memulai perjalanan dari Stasiun Senen. Bogowonto yang akan mengantar kami dijadwalkan berangkat pukul 09.20 dari Stasiun Jatinegara, berarti sebelum itu dia sudah harus tiba di Senen. Namun, karena satu dan lain hal Bogowonto baru tiba sekitar pukul 09.40. Tak apalah, saya mulai terbiasa untuk memahami keterlambatan jadwal keberangkatan transportasi umum.
Ketika Bogowonto mulai memasuki Senen, saya tersenyum puas. Tampilan luarnya masih segar, begitu pula bagian dalam. Semua tampak masih baru. Formasi tempat duduk dibuat sama seperti kereta ekonomi, empat kursi saling berhadapan. Tidak ada kipas angin yang menempel di langit-langit kereta karena sudah digantikan oleh AC. “Mesin” informasi elektrik pun tersedia di dinding dalam bagian depan dan belakang gerbong. Mesin itu memberikan informasi mengenai stasiun yang akan kita singgahi dan memberikan kalimat-kalimat pelayanan yang mungkin bisa menaikkan kadar rasa senang penumpang. Namun, rasa takjub dan senang itu hanya mampu bertahan beberapa saat saja. Selepas dari Stasiun Bekasi, AC di gerbong kami tidak berfungsi. Begitu pula dengan “mesin” informasi. Maka, dalam kondisi gerbong yang kian sesak selepas dari Stasiun Jatinegara, kami menikmati perjalanan bersama Bogowonto tanpa AC. AC baru kami rasakan lagi setelah beberapa stasiun menjelang stasiun tujuan kami, Purwokerto.
Stasiun Purwokerto tergolong stasiun lawas yang sudah ada setidaknya sejak 1916. Dengan ukuran yang tidak begitu besar, stasiun ini tampak bersih dan tertata rapi. Beberapa pedagang mengenakan seragam resmi, meski terkadang diganti ketika kereta yang singgah berlalu pergi. Terdapat papan informasi yang dilengkapi dengan ikon. Ada juga tempat nongkrong yang lumayan nyaman sembari menunggu kereta tiba. Sayangnya, bagian fasade bangunan sudah berubah, tidak sama lagi dengan kondisi 1916. Kemungkinan besar fasade diubah sebelum 1990.
Begitu keluar dari stasiun, kami mulai mencari jejak kos teman saya berdasarkan tanda-tanda yang dia berikan. Tanda pertama adalah flyover. Mudah sekali menemukan flyover. Tidak perlu berjalan jauh, cukup keluar dari stasiun, flyover yang sudah ada sejak 17 Agustus 1967 itu langsung menyambut kami. Begitu pertama kali mendengar cerita teman saya tentang flyover ini, saya pikir keren sekali. Kota kecil sekelas Purwokerto mempunyai flyover di dalam kota. Ternyata setelah melihat sendiri, panjangnya hanya sekitar 390 m. Tapi, tetap saja keren, ada flyover di Purwokerto.
Selanjutnya kami harus menemukan Pasar Manis. Pasar tradisional ini menjadi salah satu target kunjungan saya di Purwokerto. Dan, dengan berjalan sekitar 500 m ke timur dari flyover kami menemukan Pasar Manis. Pasar tradisional ini tidak terlalu luas dan cukup bersih. Pasar hanya terdiri dari lima baris bangunan semi permanen sepanjang 35 m dengan atap genteng. Lantai pasarnya menggunakan ubin terakota ukuran 25 x 25 cm. Komoditas yang dijajakan di sini beragam, sama seperti pasar tradisional kebanyakan. Yang jelas, jajanan tradisional masih banyak dijumpai. Buah lokal masih ada meskipun dominasi buah impor mulai menguat. Tempe bungkus daun banyak dijumpai meskipun mulai tergeser dengan tempe bungkus plastik -soal rasa tempe bungkus daun masih juara-. Dan yang cukup mengesankan adalah keramahan para pedagang di dalam pasar, yang belum tentu ditemukan di pasar-pasar lainnya.
Pasar Manis Purwokerto
Sekitar 60 m -ke timur- dari Pasar Manis, kami menjumpai sebuah ruko dengan arsitektur yang aneh, jomplang dengan Gedung Kesenian Soetedja di depannya. Kami kemudian menyusuri gang di samping ruko itu. Gang BKR ini sungguh menyenangkan untuk dilalui. Hampir sepanjang jalan rumah-rumah lawas memanjakan mata saya. Menarik sekali, meski harus melewati setiap hari pasti saya tak akan bosan. Kami akhirnya menemukan kos teman saya dengan sangat mudah. Cukup satu kali bertanya. Itu juga bertanya langsung kepada sang pemilik kos.
Menikmati Purwokerto
Ada apa saja di Purwokerto? Ada banyak bangunan lama yang bikin saya betah berlama-lama hanya untuk memandangi satu bangunan saja. Selain itu ternyata ada banyak ragam makanan yang dijajakan. Lalu ada ruang publik yang menggiurkan untuk sekedar santai sore hari. Ada juga tempat wisata alam Baturraden yang masih sebatas imajinasi dalam pikiran saya.
Satu per satu “penghuni” Purwokerto ini kami datangi. Mulai dari serabi khas Purwokerto. Serabi ini hanya muncul pagi hari. Kami menjajal serabi di Jalan Bank. Meskipun merasa yang paling pagi datang ke tempat ini, ternyata yang sudah antre untuk membawa pulang serabi jumlahnya cukup banyak. Pesanan mereka pun tak tanggung-tanggung, selalu di atas 10 buah serabi. Sementara kami, yang membeli satuan, dengan rasa yang berbeda-beda, harus sabar menunggu antrean yang mulai tak beraturan lagi. Serabi khas Purwokerto ini tersedia dalam berbagai toping, mulai dari yang orisinal sampai toping keju, meses seres (coklat tabur), pisang, telur, dan campuran. Rasa serabi ini berbeda dengan serabi Notosuman di Solo. Teksturnya lebih kasar dengan aroma tungku yang lebih kuat. Lumayan menciptakan sensasi tersendiri. Gigitan pertama langsung menempatkan saya pada posisi rakyat jelata yang sangat puas dengan kondisi hidup yang dijalani. Rasanya, merakyat tapi memuaskan.
Satu per satu “penghuni” Purwokerto ini kami datangi. Mulai dari serabi khas Purwokerto. Serabi ini hanya muncul pagi hari. Kami menjajal serabi di Jalan Bank. Meskipun merasa yang paling pagi datang ke tempat ini, ternyata yang sudah antre untuk membawa pulang serabi jumlahnya cukup banyak. Pesanan mereka pun tak tanggung-tanggung, selalu di atas 10 buah serabi. Sementara kami, yang membeli satuan, dengan rasa yang berbeda-beda, harus sabar menunggu antrean yang mulai tak beraturan lagi. Serabi khas Purwokerto ini tersedia dalam berbagai toping, mulai dari yang orisinal sampai toping keju, meses seres (coklat tabur), pisang, telur, dan campuran. Rasa serabi ini berbeda dengan serabi Notosuman di Solo. Teksturnya lebih kasar dengan aroma tungku yang lebih kuat. Lumayan menciptakan sensasi tersendiri. Gigitan pertama langsung menempatkan saya pada posisi rakyat jelata yang sangat puas dengan kondisi hidup yang dijalani. Rasanya, merakyat tapi memuaskan.
Serabi Jalan Bank
Makanan yang sangat wajib hukumnya untuk dicoba di Purwokerto adalah soto khas Purwokerto. Saya sebut demikian, karena setelah dicoba memang akan berbeda dengan soto Sokaraja yang secara geografis lokasinya tak jauh dari Purwokerto. Kami membuktikan kelezatan Soto Ayam Haji Loso di Jalan Bank. Soto ini disajikan dalam mangkuk kecil. Populasi di dalamnya adalah ketupat, kerupuk, suwiran daging ayam, dan toge, disiram dengan kuah yang mengandung bumbu kacang. Bagi saya, yang membedakannya dengan sroto –Sokaraja- adalah kepadatan toge di dalam mangkuk. Sroto itu isinya toge semua, sementara soto Purwokerto togenya masih dapat ditoleransi. Selain soto, warung Haji Loso ini menyediakan es duren yang super juara. Rasanya yang super itu mampu menahan para penggila duren untuk memesan dan memesan lagi hingga mabuk duren.
Makanan ringan yang menarik untuk dikulik adalah roti-roti di toko roti tertua di Purwokerto, Toko Roti Go. Toko roti yang beroperasi sejak 1898 ini sekarang dijalankan oleh generasi ketiga. Nama “Go” ternyata diambil dari nama marga sang pendiri toko. Di toko ini dijual roti-roti dari edisi klasik sampai modern. Roti edisi klasik sangat terbatas ragamnya. Roti yang terkenal adalah roti lima jari isi kacang, coklat kacang, dan satu roti yang serupa roti lima jari tapi isinya kacang mete (atau itu juga kategori roti lima jari?). Roti klasik lainnya antara lain roti isi coklat, strawberi, dan pisang, serta roti sobek keju. Menurut saya yang paling juara adalah roti sobek keju. Rasanya benar-benar “londo”. Selalu ada keju di tiap gigitannya. Toko roti ini berada di kawasan perdagangan lama karena sebagian besar toko yang kami lewati masih menggunakan ejaan lama untuk nama tokonya.
Makanan ringan yang menarik untuk dikulik adalah roti-roti di toko roti tertua di Purwokerto, Toko Roti Go. Toko roti yang beroperasi sejak 1898 ini sekarang dijalankan oleh generasi ketiga. Nama “Go” ternyata diambil dari nama marga sang pendiri toko. Di toko ini dijual roti-roti dari edisi klasik sampai modern. Roti edisi klasik sangat terbatas ragamnya. Roti yang terkenal adalah roti lima jari isi kacang, coklat kacang, dan satu roti yang serupa roti lima jari tapi isinya kacang mete (atau itu juga kategori roti lima jari?). Roti klasik lainnya antara lain roti isi coklat, strawberi, dan pisang, serta roti sobek keju. Menurut saya yang paling juara adalah roti sobek keju. Rasanya benar-benar “londo”. Selalu ada keju di tiap gigitannya. Toko roti ini berada di kawasan perdagangan lama karena sebagian besar toko yang kami lewati masih menggunakan ejaan lama untuk nama tokonya.
Hok Tik Bio, begitu nama kelenteng tertua di Purwokerto. Lokasinya berada di sisi utara Pasar Wage. Kelenteng yang berdiri sejak 1879 ini bukan merupakan kelenteng dengan konstruksi kayu yang jamak digunakan oleh kelenteng-kelenteng lainnya di Pulau Jawa. Konstruksinya adalah konstruksi bata yang dibuat tinggi tanpa kuda-kuda kayu. Mas Apri yang menemani kami di dalam kelenteng menuturkan bahwa bangunan ini memang tidak menggunakan konstruksi kayu. Bagian bangunan yang asli adalah bagian belakang. Bagian depan merupakan tambahan saat pemugaran 1987. Di dalam kelenteng juga tidak banyak dijumpai penggunaan ornamen atau ragam hias. Tidak pula ditemukan ruang terbuka (impluvium) di bagian dalam kelenteng (biasanya dijumpai setelah altar Tuhan Yang Maha Esa).
Interior dalam kelenteng (menuju bangunan yang asli)
Kelenteng yang mempunyai tuan rumah Dewa Bumi (Hok Tek Tjeng Sien) ini pembangunannya diprakarsai oleh seorang pedagang Tionghoa, Oey Yog Wan. Masih menurut Mas Apri, pada mulanya tempat kelenteng berdiri, ini adalah tempat orang-orang Tionghoa berkumpul pada masa itu. Mengingat kebutuhan untuk beribadah kian mendesak maka Oey Yog Wan mengusulkan untuk membuat sebuah tempat ibadah. Maka berdirilah sebuah kelenteng yang kini dikenal sebagai Hok Tik Bio. Sekarang, Oey Yog Wan dibuatkan altar sembahyang di sisi timur bangunan.
Di dalam kelenteng ini pula saya baru tahu bahwa air minum untuk para dewa itu dibedakan berdasarkan jenis makanan yang dikonsumsi. Dewa-dewa yang mengonsumsi daging akan diberi tiga cangkir keramik Cina berisi teh. Sementara dewa yang tidak mengonsumsi daging diberi air putih saja. Karena tuan rumah adalah Dewa Bumi maka hasil bumi menjadi salah satu menu makanan yang disajikan. Yang menarik lagi adalah keberadaan Zheng He (Cheng Ho) di samping kanan tuan rumah. Saya baru tahu jika pengaruhnya merasuk sampai ke pedalaman Jawa. Saya kira selama ini pengaruh Sang Laksamana hanya kental dirasakan di pesisir utara Jawa saja.
Purwokerto selain terkenal dengan mendoannya juga terkenal sebagai tempat cikal bakal lahirnya BRI. Adalah Raden Aria Wirjaatmaja yang menggagas bank yang awalnya bernama De Purwokertche Hulp en Spaarbank der Inlandche Bestuurs Ambtenaren pada 1895. Museum ini menampilkan sebuah replika bangunan bank saat-saat pengoperasian awal pada 1895. Namun, terdapat sedikit kejanggalan antara replika dan foto bangunan lama (silahkan cek sendiri jika berkunjung ke sana, :D). Layaknya museum yang dimiliki oleh suatu lembaga tertentu, maka museum BRI menampilkan cerita tentang BRI di dalamnya. Sedikit menyinggung sejarah uang dan lebih banyak menceritakan “diri”, terlebih pada koleksi di lantai dasar. Untungnya, kami dipandu oleh seorang teman dalam mengeksplorasi museum ini.
Di dalam kelenteng ini pula saya baru tahu bahwa air minum untuk para dewa itu dibedakan berdasarkan jenis makanan yang dikonsumsi. Dewa-dewa yang mengonsumsi daging akan diberi tiga cangkir keramik Cina berisi teh. Sementara dewa yang tidak mengonsumsi daging diberi air putih saja. Karena tuan rumah adalah Dewa Bumi maka hasil bumi menjadi salah satu menu makanan yang disajikan. Yang menarik lagi adalah keberadaan Zheng He (Cheng Ho) di samping kanan tuan rumah. Saya baru tahu jika pengaruhnya merasuk sampai ke pedalaman Jawa. Saya kira selama ini pengaruh Sang Laksamana hanya kental dirasakan di pesisir utara Jawa saja.
Purwokerto selain terkenal dengan mendoannya juga terkenal sebagai tempat cikal bakal lahirnya BRI. Adalah Raden Aria Wirjaatmaja yang menggagas bank yang awalnya bernama De Purwokertche Hulp en Spaarbank der Inlandche Bestuurs Ambtenaren pada 1895. Museum ini menampilkan sebuah replika bangunan bank saat-saat pengoperasian awal pada 1895. Namun, terdapat sedikit kejanggalan antara replika dan foto bangunan lama (silahkan cek sendiri jika berkunjung ke sana, :D). Layaknya museum yang dimiliki oleh suatu lembaga tertentu, maka museum BRI menampilkan cerita tentang BRI di dalamnya. Sedikit menyinggung sejarah uang dan lebih banyak menceritakan “diri”, terlebih pada koleksi di lantai dasar. Untungnya, kami dipandu oleh seorang teman dalam mengeksplorasi museum ini.
Ruang pamer Museum BRI
Di samping museum terdapat sebuah bangunan lama yang ditinggalkan. Bangunan yang mencuri hati saya pada pandangan pertama ini ternyata bisa diakses. Kondisinya cukup mengenaskan. Padahal interior bangunan ini sangat menarik. Penggunaan tegel hias pada lantai ruang-ruangnya ditambah dengan kaca patri menjadikan bangunan ini anggun jika “dihidupkan” kembali. Dengan pemugaran yang sesuai prosedur, bangunan cantik ini berpotensi untuk direvitalisasi, diberi nilai baru.
Jika direvitalisasi tepat sasaran bukan tidak mungkin bangunan lama itu akan hidup kembali seperti kencangnya detak kehidupan di alun-alun Purwokerto. Alun-alun ini saya lihat pertama kali lewat foto-foto yang beredar di dunia maya. Ketika melihat langsung, saya suka sekali tempat ini. Rumputnya hijau merata. Orang-orang datang dan bermain di sini. Para pedagang cukup rapi untuk menjajakan makanan di pinggir alun-alun. Termasuk satu soto yang menggelitik, “Soto Batok Pak Bowo.” Soto yang disajikan di dalam batok ini sudah dijual oleh Pak Bowo sejak 1982. Namun, penggunaan batok baru muncul kemudian –itu pun jika ada konsumen yang ingin menikmati soto di dalam batok-. Menurut Pak Bowo dahulu kala orang-orang Purwokerto makan soto yang disajikan di dalam batok. Setelah masuknya pengaruh Cina maka lambat laun batok mulai ditinggalkan. Tersentuh hasrat untuk memunculkan sekaligus melestarikan budaya maka Pak Bowo mengenalkan lagi penggunaan batok sebagai wadah untuk makan soto.
Jika direvitalisasi tepat sasaran bukan tidak mungkin bangunan lama itu akan hidup kembali seperti kencangnya detak kehidupan di alun-alun Purwokerto. Alun-alun ini saya lihat pertama kali lewat foto-foto yang beredar di dunia maya. Ketika melihat langsung, saya suka sekali tempat ini. Rumputnya hijau merata. Orang-orang datang dan bermain di sini. Para pedagang cukup rapi untuk menjajakan makanan di pinggir alun-alun. Termasuk satu soto yang menggelitik, “Soto Batok Pak Bowo.” Soto yang disajikan di dalam batok ini sudah dijual oleh Pak Bowo sejak 1982. Namun, penggunaan batok baru muncul kemudian –itu pun jika ada konsumen yang ingin menikmati soto di dalam batok-. Menurut Pak Bowo dahulu kala orang-orang Purwokerto makan soto yang disajikan di dalam batok. Setelah masuknya pengaruh Cina maka lambat laun batok mulai ditinggalkan. Tersentuh hasrat untuk memunculkan sekaligus melestarikan budaya maka Pak Bowo mengenalkan lagi penggunaan batok sebagai wadah untuk makan soto.
Satu tempat yang diiming-imingi teman saya agar berkunjung ke Purwokerto adalah Baturraden. Saya masih bingung mendefenisikan baturraden hingga saat tulisan ini dibuat. Bagi saya Baturraden adalah sebuah tempat yang ambigu. Baturraden merupakan bentukan alam yang menyajikan pemandangan yang cukup indah bagi mata yang setiap hari melihat gedung-gedung bertingkat. Baturraden juga tempat di mana kita bisa menemukan semacam water boom atau wahana sepeda air di dalamnya. Belum lagi sebuah pesawat bertuliskan “Teater Alam” yang berada di dekat loket penjualan tiket masuk. Pun dengan terapi ikan-ikan yang tidak jauh dari tempat pijat. Sebenarnya ini tempat apa? Tapi saya tidak peduli karena sedari awal saya hanya ingin mboi –tidak melakukan apa pun- sedikit karena harus mencetuskan sesuatu di sini.
Baturraden
Selama lebih kurang dua hari di sini, ternyata kota kecil menyenangkan ini dihuni oleh sebagian besar orang-orang yang sangat baik. Dialeg mereka memang “ngapak”, tapi cenderung “ngapak” yang kromo. Berbeda dengan “ngapak”nya Tegal, Brebes, atau Cilacap. Saya pikir, saya akan kembali lagi ke kota ini. Untuk menikmati bangunan-bangunan lama dan keong khas Purwokerto di Jalan Pasar Pereng.
Meninggalkan Purwokerto
Entah karena kunjungan turis yang meningkat atau banyaknya penduduk lokal yang pulang kampung, maka kami dengan berlapang dada harus menerima kenyataan tiket yang ludes, baik kereta maupun bis. Setelah bolak balik terminal dua kali maka ke Dewi Sri -bis ekonomi yang kami tak tahu seperti apa rupanya- jualah kami menggantungkan nasib. Hanya Dewi Sri yang mau menyelamatkan kami –lebih tepatnya saya- dari kegagalan pulang ke Jakarta hari itu.
Beberapa saat setelah meninggalkan Purwokerto, saya baru menyadari bahwa kami mengambil keputusan yang tepat untuk naik Dewi Sri. Kenapa? Jauh di luar dugaan saya, meski berpanas-panas ria di dalam bis, Dewi Sri menyuguhkan momen-momen spektakuler dalam perjalanan kami menuju Jakarta. Mulai dari harus turun bis dan berjalan kaki karena ada jalan terkena longsor. Longsor di daerah Tonjong –sekitar 7 km dari Bumiayu- ini terjadi sekitar 1 bulan yang lalu. Hingga kini perbaikan jalan belum selesai. Saya merasa tidak berada di Jawa saat melewati jalan yang terkena longsor itu. Belum cukup di situ. Lepas tengah malam, saya terbangun karena seisi bis turun untuk berbagai keperluan –makan, minum, ke toilet-. Saya pun tak tahu ada di mana malam itu. Yang saya tahu sejauh mata memandang saya akan membaca dua kata, “Dewi Sri.” Kemudian Dewi Sri memberikan kejutan puncak kepada semua penumpang. Jalanan menuju Jakarta begitu macet dini hari itu, seperti suasana puncak arus mudik. Maka, dengan suara memelas, Pak Kondektur meminta kerelaan semua penumpang untuk membayar biaya tambahan –ganti solar- atas pilihan yang dilemparkan, yaitu putar balik lewat Subang untuk menghindari macet. Sempurna, benar-benar sebuah paket liburan yang sempurna. Berangkat diantarkan oleh Bogowonto yang seharusnya ber-AC tapi tak berfungsi. Pulang diantarkan oleh Dewi Sri yang memberikan banyak efek kejut.
Beberapa saat setelah meninggalkan Purwokerto, saya baru menyadari bahwa kami mengambil keputusan yang tepat untuk naik Dewi Sri. Kenapa? Jauh di luar dugaan saya, meski berpanas-panas ria di dalam bis, Dewi Sri menyuguhkan momen-momen spektakuler dalam perjalanan kami menuju Jakarta. Mulai dari harus turun bis dan berjalan kaki karena ada jalan terkena longsor. Longsor di daerah Tonjong –sekitar 7 km dari Bumiayu- ini terjadi sekitar 1 bulan yang lalu. Hingga kini perbaikan jalan belum selesai. Saya merasa tidak berada di Jawa saat melewati jalan yang terkena longsor itu. Belum cukup di situ. Lepas tengah malam, saya terbangun karena seisi bis turun untuk berbagai keperluan –makan, minum, ke toilet-. Saya pun tak tahu ada di mana malam itu. Yang saya tahu sejauh mata memandang saya akan membaca dua kata, “Dewi Sri.” Kemudian Dewi Sri memberikan kejutan puncak kepada semua penumpang. Jalanan menuju Jakarta begitu macet dini hari itu, seperti suasana puncak arus mudik. Maka, dengan suara memelas, Pak Kondektur meminta kerelaan semua penumpang untuk membayar biaya tambahan –ganti solar- atas pilihan yang dilemparkan, yaitu putar balik lewat Subang untuk menghindari macet. Sempurna, benar-benar sebuah paket liburan yang sempurna. Berangkat diantarkan oleh Bogowonto yang seharusnya ber-AC tapi tak berfungsi. Pulang diantarkan oleh Dewi Sri yang memberikan banyak efek kejut.
Kondisi jalan yang terkena longsor di daerah Tonjong
Logistik:1. Kereta Bogowonto (Jakarta-Kutoarjo) Rp 70.000. Berangkat dari Stasiun Senen pukul 09.00 WIB
2. Untuk mencapai Baturraden bisa menggunakan angkutan desa warna hijau dari terminal bis Purwokerto. Tarif Rp 7.000.
3. Tiket masuk Baturraden Rp 5.000
4. Untuk mencapai terminal bis Purwokerto bisa menggunakan angkutan seri B atau G (warna merah). Biasanya nama tujuan tercantum pada papan kecil di atas angkutan. Tarif Rp 2.500.
5. Serabi bisa dijumpai di Jalan Bank, harganya tak lebih dari Rp 1.500
6. Soto khas Purwokerto bisa didapatkan di Soto Ayam Haji Loso di Jalan Bank. Harga per porsinya Rp 8.000 sementara es duren juara di tempat ini dijual seharga Rp 9.000 per porsi.
7. Pulang dengan Dewi Sri kelas ekonomi seharga Rp 40.000. Jika ingin efek kejut yang tidak bisa diprediksi, silahkan mencoba pulang bersama Dewi Sri.
Comments
Btw, cerita ayah saya, eyang kakung saya dulu ikut 'mandorin' pembangunan flyover tsb. Dulu kontraktornya ga yakin dgn kekuatan jembatan tsb, lalu eyang kakung saya membawa naik 'stoomwals' ke atas flyover, ternyata kuat hehe.
Well, monggo mampir kalau pelesir ke purwokerto lagi. Tak tunjukin es duren yg lebih juara lagi hehe.. ;)
Wah, menarik tu. Kalo boleh saya mau donk dibagi cerita tentang sejarah pembangunan flyover Purwokerto :D. Pasti sangat menarik :)
Beneran ya, ditagih ni tawarannya kalo saya maen ke sana lagi. Boleh minta kontaknya :D. Please, PM ke minoritaskiri@gmail.com