Pecinan Semarang: Kelenteng, Lunpia, Wayang Potehi, dan Rumah Arwah
Di pecinan Semarang tidak hanya ada deretan rumah beratap Ngang Shan. Di dalamnya ada potongan cerita, yang masih hidup bergelora dan yang kian terpinggirkan. Bagaimana jika cerita itu lenyap sepuluh tahun lagi?
Referensi:
Joe, Liem Thian. 2004. Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana
Bis Nusantara mengantarkan kami ke Semarang pagi ini (18/05). Kami sengaja memilih keberangkatan paling awal, yaitu pukul 06.00 pagi untuk menghindari kemacetan di jalur Magelang. Dalam waktu kurang lebih tiga jam kami sampai di terminal Banyu Manik, Semarang. Dari sana kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Lama dengan angkutan jurusan Banyu Manik – Johar.
Satu titik utama yang akan kami datangi hari ini adalah kawasan Pecinan. Untuk masuk ke sana kami terlebih dahulu menyisir sebagian kawasan Kota Lama. Kami mengambil titik awal keberangkatan di Gereja Blenduk. Sekitar 15 menit perjalanan dengan jalan kaki akhirnya kami sampai di kawasan Pecinan. Begitu sampai kami langsung memasuki Gang Lombok. Gang ini sangat bersahabat di telinga saya karena di dalam gang ini lah Kelenteng Tay Kak Sie dan lunpia legendaris Semarang berada.
Satu titik utama yang akan kami datangi hari ini adalah kawasan Pecinan. Untuk masuk ke sana kami terlebih dahulu menyisir sebagian kawasan Kota Lama. Kami mengambil titik awal keberangkatan di Gereja Blenduk. Sekitar 15 menit perjalanan dengan jalan kaki akhirnya kami sampai di kawasan Pecinan. Begitu sampai kami langsung memasuki Gang Lombok. Gang ini sangat bersahabat di telinga saya karena di dalam gang ini lah Kelenteng Tay Kak Sie dan lunpia legendaris Semarang berada.
Saya mengunjungi Tay Kak Sie sudah lebih dari satu kali. Tapi selama kunjungan itu saya belum pernah sekali pun berjumpa dengan pengurusnya. Pun dalam kunjungan kali ini, saya masih belum berhasil bertemu pengurusnya.
Tay Kak Sie atau disebut juga sebagai Kelenteng Besar, merupakan kelenteng yang didirikan di Kang-kie atau pinggir kali yang sekarang dikenal sebagai Gang Lombok. Awalnya kelenteng ini berada di dekat Bale Kambang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Blumbang. Masyarakat menamakannya Kwan Im Ting. Ketika kelenteng ini selesai dibuat maka diadakanlah perayaan dengan beragam keramaian. Hingga 1771, sebagian kalangan atas dari golongan Tionghoa menganggap bahwa letak Kwan Im Ting ini kurang bagus. Setelah melakukan beberapa kali perundingan, akhirnya masyarakat sepakat untuk memindahkan Kwan Im Ting ke Gang Lombok.
Tay Kak Sie atau disebut juga sebagai Kelenteng Besar, merupakan kelenteng yang didirikan di Kang-kie atau pinggir kali yang sekarang dikenal sebagai Gang Lombok. Awalnya kelenteng ini berada di dekat Bale Kambang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Blumbang. Masyarakat menamakannya Kwan Im Ting. Ketika kelenteng ini selesai dibuat maka diadakanlah perayaan dengan beragam keramaian. Hingga 1771, sebagian kalangan atas dari golongan Tionghoa menganggap bahwa letak Kwan Im Ting ini kurang bagus. Setelah melakukan beberapa kali perundingan, akhirnya masyarakat sepakat untuk memindahkan Kwan Im Ting ke Gang Lombok.
Tidak tanggung-tanggung, tukang dari Tiongkok sengaja diundang untuk membangun kelenteng yang baru ini. Dana untuk membangunnya pun terbilang cukup besar. Orang harus meminta ampun dulu sebelum membangun kelenteng. Setelah lebih kurang satu tahun pengerjaan maka Tay Kak Sie pun siap digunakan.
Setelah Tay Kak Sie berdiri maka patung dari Kwan Im Ting pun mendapatkan rumah yang baru. Untuk kepentingan pemindahan tersebut dilakukan upacara yang sangat meriah. Wayang Potehi (pow-tee-hie) khusus diundang dari Batavia untuk meramaikan acara tersebut. Wayang itu diperbolehkan main hingga dua bulan lamanya. Dan ternyata pertunjukan wayang potehi itu adalah untuk yang pertama kalinya di Semarang.
Terkait dengan wayang potehi, kami juga mencoba untuk menemukan dua orang dalang wayang potehi yang masih ada di Semarang. Pak Bambang Sutrisno, atau lebih akrab disapa Engkong oleh para tetangganya, adalah salah seorang dari dua dalang tersebut. Berbekal info dari blog yang saya baca, maka setelah makan siang di kantin pujasera sekitar kelenteng Tay Kak Sie, kami menyusuri Gang Lombok untuk mencari beliau. Setelah bertanya ke salah seorang warga, kami pun diberitahu kediaman Engkong Bambang. Ternyata kami tak langsung bisa bertemu beliau. Ketokan-ketokan di pintu yang tak kunjung mendapat respon membuat kami memutuskan untuk berkeliling dulu lalu kembali lagi agak sorean.
Sore harinya, kami kembali lagi ke Gang Lombok, melintasi SD Kuncup Melati, dan memberikan ketokan di pintu kediaman Engkong. Namun, setelah berkali-kali mengetok kami juga tak mendapatkan respon. Kami pikir mungkin belum berjodoh untuk bertemu dengan Engkong. Hingga saat akan keluar dari Gang Lombok kami dicegat oleh seorang bapak yang kemudian memberitahu bahwa Engkong sedang makan di warung. Terimakasih untuk si bapak yang sudah mencegat kami dan memberikan informasi berharga mengenai keberadaan Engkong.
Warung yang kami masuki adalah juga warung yang berada di pinggir kali. Tidak luas ukurannya, hampir menyerupai warung-warung Tegal biasa yang menjajakan panganan kelas ringan hingga berat. Dan di sanalah Engkong Bambang menyantap menu makan siangnya. Perawakannya kurus dengan rambut yang sudah memutih. Namun, tatapan matanya masih sangat tajam. Kami langsung memperkenalkan diri kepada Engkong. Dan dia menyambut hangat saat-saat perkenalan kami itu. Di sela-sela waktu kosong sembari menunggu keberangkatan untuk pentas di Jakarta, Engkong melayani kami dengan sekotak penuh cerita yang menarik.
Profesinya sebagai dalang tak perlu diragukan lagi. Dia menceritakan banyak hal kepada kami. Tentunya seputar Wayang Potehi dan dirinya. Engkong berkenalan dengan wayang ini secara tidak sengaja. Saat itu dia sedang membantu berjualan di pasar dan bertemu orang yang mengajaknya untuk bermain musik. Dari sana Engkong kemudian berkenalan dengan wayang potehi dan terus mengasah ilmu dengan mengikuti berbagai rumah produksi Wayang Potehi. Pementasan perdananya terjadi pada 1961 di Karawang. Saat itu ia mendapat upah 25 ketip (25 sen) untuk sekali pentas. Kemudian pada 1963 ia pentas di Blora, 1964 di Paalmerah (Jakarta), 1967 di Karawang yang dicampur dengan lenong Bandung, pada 1970 di Meester Cornelis (Jatinegara), lalu sempat di Padang, Palembang, Lampung hingga Bali. Ingatannya masih sangat jernih, terlihat pada rentetan tahun dan tempat pementasan yang runut. Saya sampai kewalahan untuk mengingatnya karena tidak mempersiapkan alat perekam sebelumnya.
Kemudian Engkong menceritakan naskah-naskah yang sering ia pentaskan. Engkong sangat sering menyebut naskah Sudiro (Si Jin Kui). Lalu ada juga naskah Putra Mahkota Kediri, Siluman Kerbau Hijau, Kera Sakti, dan masih banyak lagi (saya lupa, :D). Saya cukup sulit untuk mengikuti cerita Engkong, karena wayang potehi ini masih menjadi “obyek” asing bagi saya. Saya terjebak pada isu wayang potehi saat mengambil mata kuliah Etnografi Cina di Indonesia. Saat itu saya hanya mengacu pada referensi yang tersedia di kamus besar “Mbah Google.” Tidak menyangka ternyata saat ini bisa langsung bercakap-cakap dengan ahlinya.
Kalau mendengar beberapa naskah yang diceritakan Engkong, sangat mungkin jika pementasan wayang potehi ini memakan waktu lama. Bisa sampai hitungan bulan (1-2 bulan) tergantung permintaan si pemilik hajat. Secara garis besar pementasan wayang potehi dibagi ke dalam dua sesi dalam sehari. Sesi pertama dimulai dari pukul 3 sore hingga pukul 5, kemudian istirahat. Selanjutnya pementasan akan mulai pada pukul 7 hingga 10 malam. Standar Engkong pun tinggi. Beliau tidak mau memotong-motong naskah. Semua ia mainkan apa adanya, haram untuk korupsi naskah.
Tidak hanya bercerita, Engkong juga menawarkan kami untuk melihat tiga boneka potehi miliknya di kediamannya. Lalu, dengan semangat 45 kami pun pindah tongkrongan ke rumah Engkong. Rumah Engkong sama dengan rumah-rumah lainnya di pinggir kali ini. Lantai satu rumah hanya berukuran kurang lebih 1 m x 3 m. Sehari-hari Engkong lebih banyak menghabiskan waktu di lantai dua. Saya tidak tahu pasti ukurannya karena tidak melihat langsung. Engkong sendiri mempunyai keinginan untuk mengontrak sebuah rumah yang memiliki ruang tamu agar ia bisa menjamu tamu dengan leluasa.
Setelah Tay Kak Sie berdiri maka patung dari Kwan Im Ting pun mendapatkan rumah yang baru. Untuk kepentingan pemindahan tersebut dilakukan upacara yang sangat meriah. Wayang Potehi (pow-tee-hie) khusus diundang dari Batavia untuk meramaikan acara tersebut. Wayang itu diperbolehkan main hingga dua bulan lamanya. Dan ternyata pertunjukan wayang potehi itu adalah untuk yang pertama kalinya di Semarang.
Terkait dengan wayang potehi, kami juga mencoba untuk menemukan dua orang dalang wayang potehi yang masih ada di Semarang. Pak Bambang Sutrisno, atau lebih akrab disapa Engkong oleh para tetangganya, adalah salah seorang dari dua dalang tersebut. Berbekal info dari blog yang saya baca, maka setelah makan siang di kantin pujasera sekitar kelenteng Tay Kak Sie, kami menyusuri Gang Lombok untuk mencari beliau. Setelah bertanya ke salah seorang warga, kami pun diberitahu kediaman Engkong Bambang. Ternyata kami tak langsung bisa bertemu beliau. Ketokan-ketokan di pintu yang tak kunjung mendapat respon membuat kami memutuskan untuk berkeliling dulu lalu kembali lagi agak sorean.
Sore harinya, kami kembali lagi ke Gang Lombok, melintasi SD Kuncup Melati, dan memberikan ketokan di pintu kediaman Engkong. Namun, setelah berkali-kali mengetok kami juga tak mendapatkan respon. Kami pikir mungkin belum berjodoh untuk bertemu dengan Engkong. Hingga saat akan keluar dari Gang Lombok kami dicegat oleh seorang bapak yang kemudian memberitahu bahwa Engkong sedang makan di warung. Terimakasih untuk si bapak yang sudah mencegat kami dan memberikan informasi berharga mengenai keberadaan Engkong.
Warung yang kami masuki adalah juga warung yang berada di pinggir kali. Tidak luas ukurannya, hampir menyerupai warung-warung Tegal biasa yang menjajakan panganan kelas ringan hingga berat. Dan di sanalah Engkong Bambang menyantap menu makan siangnya. Perawakannya kurus dengan rambut yang sudah memutih. Namun, tatapan matanya masih sangat tajam. Kami langsung memperkenalkan diri kepada Engkong. Dan dia menyambut hangat saat-saat perkenalan kami itu. Di sela-sela waktu kosong sembari menunggu keberangkatan untuk pentas di Jakarta, Engkong melayani kami dengan sekotak penuh cerita yang menarik.
Profesinya sebagai dalang tak perlu diragukan lagi. Dia menceritakan banyak hal kepada kami. Tentunya seputar Wayang Potehi dan dirinya. Engkong berkenalan dengan wayang ini secara tidak sengaja. Saat itu dia sedang membantu berjualan di pasar dan bertemu orang yang mengajaknya untuk bermain musik. Dari sana Engkong kemudian berkenalan dengan wayang potehi dan terus mengasah ilmu dengan mengikuti berbagai rumah produksi Wayang Potehi. Pementasan perdananya terjadi pada 1961 di Karawang. Saat itu ia mendapat upah 25 ketip (25 sen) untuk sekali pentas. Kemudian pada 1963 ia pentas di Blora, 1964 di Paalmerah (Jakarta), 1967 di Karawang yang dicampur dengan lenong Bandung, pada 1970 di Meester Cornelis (Jatinegara), lalu sempat di Padang, Palembang, Lampung hingga Bali. Ingatannya masih sangat jernih, terlihat pada rentetan tahun dan tempat pementasan yang runut. Saya sampai kewalahan untuk mengingatnya karena tidak mempersiapkan alat perekam sebelumnya.
Kemudian Engkong menceritakan naskah-naskah yang sering ia pentaskan. Engkong sangat sering menyebut naskah Sudiro (Si Jin Kui). Lalu ada juga naskah Putra Mahkota Kediri, Siluman Kerbau Hijau, Kera Sakti, dan masih banyak lagi (saya lupa, :D). Saya cukup sulit untuk mengikuti cerita Engkong, karena wayang potehi ini masih menjadi “obyek” asing bagi saya. Saya terjebak pada isu wayang potehi saat mengambil mata kuliah Etnografi Cina di Indonesia. Saat itu saya hanya mengacu pada referensi yang tersedia di kamus besar “Mbah Google.” Tidak menyangka ternyata saat ini bisa langsung bercakap-cakap dengan ahlinya.
Kalau mendengar beberapa naskah yang diceritakan Engkong, sangat mungkin jika pementasan wayang potehi ini memakan waktu lama. Bisa sampai hitungan bulan (1-2 bulan) tergantung permintaan si pemilik hajat. Secara garis besar pementasan wayang potehi dibagi ke dalam dua sesi dalam sehari. Sesi pertama dimulai dari pukul 3 sore hingga pukul 5, kemudian istirahat. Selanjutnya pementasan akan mulai pada pukul 7 hingga 10 malam. Standar Engkong pun tinggi. Beliau tidak mau memotong-motong naskah. Semua ia mainkan apa adanya, haram untuk korupsi naskah.
Tidak hanya bercerita, Engkong juga menawarkan kami untuk melihat tiga boneka potehi miliknya di kediamannya. Lalu, dengan semangat 45 kami pun pindah tongkrongan ke rumah Engkong. Rumah Engkong sama dengan rumah-rumah lainnya di pinggir kali ini. Lantai satu rumah hanya berukuran kurang lebih 1 m x 3 m. Sehari-hari Engkong lebih banyak menghabiskan waktu di lantai dua. Saya tidak tahu pasti ukurannya karena tidak melihat langsung. Engkong sendiri mempunyai keinginan untuk mengontrak sebuah rumah yang memiliki ruang tamu agar ia bisa menjamu tamu dengan leluasa.
Engkong yang kelahiran 1938 ini mengaku resah karena tidak mempunyai penerus. Ia menyatakan bahwa di Semarang hanya tinggal dirinya dan dalang Thio Tiong Gie. Sekarang pun, posisinya adalah bagian dari kelompok Surabaya. Menurutnya anak muda Semarang gengsi jika harus menjadi dalang Potehi. “Mereka lebih suka ngamen daripada mendalang Potehi,” tuturnya. Pun ketika disinggung soal regenerasi dalam keluarganya. Cucunya, Leo, juga tidak tertarik mendalang. Ia hanya beberapa kali mendampingi Engkong mendalang, tapi tak pernah tertarik untuk menyulap tangannya menjadi boneka yang berbicara. “Menjadi dalang potehi itu gampang-gampang susah. Kalo tangannya kaku tetap saja ga pernah bisa jadi dalang potehi,” ujar Engkong sembari memperagakan kepiawaiannya dalam “mengolah” gekstur boneka potehi di tangannya. Kalau melihat Engkong asyik dalam dunia wayang potehinya seperti ini, rasanya miris sekali dengan kenyataan bahwa budaya ini terancam keberadaannya, baik nilai dan pelakunya.
Sebelum bertemu Engkong, kami sempat mencari kelenteng pertama di kawasan Pecinan Semarang. Kelenteng itu berukuran kecil. Apabila biasanya pada bagian bubungan atap terdapat mutiara yang diapit dua naga, maka kali ini beganti menjadi padi dan hasil bumi. Saya cukup tertegun sejenak melihat pemandangan yang jarang saya jumpai di kelenteng yang lain. Namun, saya menemukan foto lama yang menggambarkan kelenteng belum dilengkapi dengan bubungan atap berhias seperti sekarang. Di foto itu bubungan atap masih polos tanpa ornamen apa pun.
Mas Sapto yang menyambut kami siang itu. Ia adalah penjaga kelenteng yang kebetulan bertugas jaga untuk bagian siang selama satu minggu ini. Karena baru bertugas di sini (kurang lebih 3 tahun), Mas Sapto tidak bisa memberikan banyak informasi mengenai kelenteng pertama ini. Untungnya kami dikenalkan dengan Pak Halim, seorang sepuh yang biasa bersembahyang di kelenteng ini. Informasi dari beliau pun hanya sepotong-sepotong saja. Tapi lumayan cukup membantu untuk memberikan gambaran tentang perubahan luas kelenteng.
Kelenteng yang dikenal sebagai Sio Hok Bio ini merupakan monumen pertama simbol kemakmuran orang Tionghoa di kawasan ini. Ketika kelenteng ini selesai dibangun (sekitar 1753), maka didatangkanlah Toapekong langsung dari Tiongkok. Saat Toapekong tiba, diadakan upacara penyambutan di muara. Dari sana kemudian Toapekong dibawa ke dalam kelenteng. Pesta dan perjamuan dibuat pada malam harinya. Tentunya wayang potehi belum ditampilkan saat itu karena dalang wayang ini belum ada di Semarang.
Sebelum bertemu Engkong, kami sempat mencari kelenteng pertama di kawasan Pecinan Semarang. Kelenteng itu berukuran kecil. Apabila biasanya pada bagian bubungan atap terdapat mutiara yang diapit dua naga, maka kali ini beganti menjadi padi dan hasil bumi. Saya cukup tertegun sejenak melihat pemandangan yang jarang saya jumpai di kelenteng yang lain. Namun, saya menemukan foto lama yang menggambarkan kelenteng belum dilengkapi dengan bubungan atap berhias seperti sekarang. Di foto itu bubungan atap masih polos tanpa ornamen apa pun.
Mas Sapto yang menyambut kami siang itu. Ia adalah penjaga kelenteng yang kebetulan bertugas jaga untuk bagian siang selama satu minggu ini. Karena baru bertugas di sini (kurang lebih 3 tahun), Mas Sapto tidak bisa memberikan banyak informasi mengenai kelenteng pertama ini. Untungnya kami dikenalkan dengan Pak Halim, seorang sepuh yang biasa bersembahyang di kelenteng ini. Informasi dari beliau pun hanya sepotong-sepotong saja. Tapi lumayan cukup membantu untuk memberikan gambaran tentang perubahan luas kelenteng.
Kelenteng yang dikenal sebagai Sio Hok Bio ini merupakan monumen pertama simbol kemakmuran orang Tionghoa di kawasan ini. Ketika kelenteng ini selesai dibangun (sekitar 1753), maka didatangkanlah Toapekong langsung dari Tiongkok. Saat Toapekong tiba, diadakan upacara penyambutan di muara. Dari sana kemudian Toapekong dibawa ke dalam kelenteng. Pesta dan perjamuan dibuat pada malam harinya. Tentunya wayang potehi belum ditampilkan saat itu karena dalang wayang ini belum ada di Semarang.
Posisi kelenteng yang berada di mulut jalan menyimbolkan pertahanan terhadap marabahaya. Orang Tionghoa pada umumnya percaya bahwa marabahaya itu akan datang dari mulut jalan. Jadi, keberadaan dewa-dewa di kelenteng itu akan mengecilkan nyali para marabahaya yang akan memasuki kawasan ini.
Terkait dengan monumen, kami juga menemukan sebuah rumah yang digunakan sebagai lokasi syuting film “?” garapan Hanung Bramantyo. Penemuan itu juga tidak sengaja saat kami harus menemukan satu titik di sekitaran Gang Cilik. Saya pikir jika filmnya si Hanung itu kontroversial dan menyedot banyak perhatian publik, bukan tidak mungkin tempat-tempat yang dijadikan lokasi syuting diberi piagam khusus dengan keterangan singkat. Itu sejarah baru, bukan?
Tak jauh dari rumah itu, terdapat sebuah rumah tempat membuat rumah arwah dan peralatan sembahyang lainnya. Saat kami datang ada tiga orang yang sedang sibuk membuat sebuah rumah arwah dengan desain yang sangat modern. Seorang di antaranya adalah pemilik dari usaha ini, Bapak Ong Bing Hok, yang sedang sibuk membuat elemen pelengkap untuk rumah arwah.
Pak Ong menyambut kami dengan sangat ramah. Untuk meladeni kami, ia terpaksa harus menunda pekerjaannya (maaf ya Pak, :D). Pak Ong adalah generasi keempat dari usaha rumah arwah ini. Ia memperoleh keterampilan membuat rumah arwah dari kakek dan orang tuanya. Pesanan rumah arwah ini tak hanya datang dari sekitaran Semarang, tapi juga datang dari Jogja, Pekalongan, dan Tegal. Menurut Pak Ong, rumah arwah ini dikirimkan kepada orang yang meninggal “baru.” Menurut hitungannya orang meninggal “baru” ini adalah masa-masa orang meninggal selama tiga tahun. Tapi tak jarang dijumpai pelanggan yang memesan rumah arwah untuk orang yang meninggal “lama” (masa lama meninggal di atas tiga tahun). “Ada satu pelanggan dari Jogja yang sudah memesan rumah arwah sebanyak empat kali, satu memang ditujukan untuk orang tuanya yang meninggal “baru,” sementara sisanya dia kirimkan untuk saudara-saudara lainnya,” tutur Pak Ong menjelaskan tentang pelanggan yang jatuh cinta dengan bentuk dan desain rumah arwah sehingga memesan lebih dari satu kali.
Masa-masa yang paling baik untuk mengirimkan rumah arwah adalah masa meninggal ke 49 hari, jika dalam budaya jawa bertepatan dengan masa selapanan atau 40 hari. Jika pengiriman dilakukan sebelum masa itu, menurut Pak Ong akan sia-sia saja karena si arwah belum sampai ke alam sana. Ketika disinggung soal desain yang sudah terlalu kontemporer, Pak Ong menjawab bahwa keinginan konsumen kian hari kian berbeda dengan yang dulu. Seleranya sudah mengikuti tren masa kini. Maka, tak heran jika rumah-rumah dengan arsitektur Cina sudah tak dilirik lagi sebagai model rumah arwah. Bahkan rumah arwah masa kini juga dilengkapi dengan parabola. Kendaraan yang dikirimkan pun mulai bergeser, dari tandu menjadi mobil atau vespa.
Oh iya, satu hal yang tak boleh terlewatkan jika mengunjungi Pecinan Semarang. Lunpia Gang Lombok adalah hal yang wajib untuk dicicipi selama di sini. Menurut saya lunpia ini adalah lunpia terenak dari banyak lunpia yang pernah saya coba. Aroma rebung sama sekali tidak terasa di sini. Isinya yang merupakan campuran rebung, telur, dan udang ini begitu pas ketika mendarat di lidah. Mau yang goreng atau yang basah sama saja, sama-sama enak. Jika kondisi warung tidak begitu ramai, kita bisa leluasa melakukan wawancara eksklusif dengan empunya pemilik warung. Sayangnya, saat kami bertandang ke sini sedang ada acara syuting untuk acara Trans TV. Jadi, kami tidak banyak membawa informasi selain rasanya yang sulit dilupakan itu.
Masa-masa yang paling baik untuk mengirimkan rumah arwah adalah masa meninggal ke 49 hari, jika dalam budaya jawa bertepatan dengan masa selapanan atau 40 hari. Jika pengiriman dilakukan sebelum masa itu, menurut Pak Ong akan sia-sia saja karena si arwah belum sampai ke alam sana. Ketika disinggung soal desain yang sudah terlalu kontemporer, Pak Ong menjawab bahwa keinginan konsumen kian hari kian berbeda dengan yang dulu. Seleranya sudah mengikuti tren masa kini. Maka, tak heran jika rumah-rumah dengan arsitektur Cina sudah tak dilirik lagi sebagai model rumah arwah. Bahkan rumah arwah masa kini juga dilengkapi dengan parabola. Kendaraan yang dikirimkan pun mulai bergeser, dari tandu menjadi mobil atau vespa.
Oh iya, satu hal yang tak boleh terlewatkan jika mengunjungi Pecinan Semarang. Lunpia Gang Lombok adalah hal yang wajib untuk dicicipi selama di sini. Menurut saya lunpia ini adalah lunpia terenak dari banyak lunpia yang pernah saya coba. Aroma rebung sama sekali tidak terasa di sini. Isinya yang merupakan campuran rebung, telur, dan udang ini begitu pas ketika mendarat di lidah. Mau yang goreng atau yang basah sama saja, sama-sama enak. Jika kondisi warung tidak begitu ramai, kita bisa leluasa melakukan wawancara eksklusif dengan empunya pemilik warung. Sayangnya, saat kami bertandang ke sini sedang ada acara syuting untuk acara Trans TV. Jadi, kami tidak banyak membawa informasi selain rasanya yang sulit dilupakan itu.
Sepertinya tak cukup waktu satu hari untuk mengulik lebih dalam Pecinan Semarang. Sudah 7 jam lebih saja baru beberapa titik yang mampu kami datangi. Saya yakin masih banyak titik potensial yang mampu membawa kita ke masa-masa awal Pecinan Semarang ini dibentuk. Mungkin, waktunya bisa lain hari lagi. Mungkin juga saya akan datang kembali ke sini hingga malam, melebur bersama merah hangat nuansa SEMAWIS di Gang Warung. Bercengkerama dengan tokoh lokal sambil menikmati segelas wedang jahe.
Referensi:
Joe, Liem Thian. 2004. Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana
Comments
btw, ternyata pergi ke semarang berbarengan bukan sekedear wacana
tanggal semana aku yo ning semarang (bandungan tepatnya) acara kantor wekekekek...