PARKIR

Parkir (memarkir: kata kerja), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menghentikan atau menaruh (kendaraan bermotor) untuk beberapa saat di tempat yang sudah disediakan. Dari pengertian itu setidaknya saya menangkap ada dua elemen penting di dalam hal perparkiran. Yang pertama ialah kegiatan menghentikan atau menaruh kendaraan, yang kedua ialah masalah tempat. Kedua elemen itu jika bebas nilai ekonomis maka sifatnya gratis atau tidak berbayar. Namun, akan berbayar jika mengandung nilai ekonomis karena melibatkan juru parkir. Juru parkir ini ialah orang yang bertugas membantu kita dalam mengatur tata letak, menjaga, dan mengeluarkan kendaraan kita di satu tempat yang sudah disediakan. Untuk jasa itu maka setiap pengendara yang memarkir kendaraan berkewajiban untuk membayar sejumlah uang ke juru parkir. Ketika si juru parkir tidak melakukan tugasnya berarti kita pun tidak berkewajiban untuk membayarnya. Di beberapa tempat juru parkir biasanya sudah digaji oleh tempat yang bersangkutan, jadi pengendara yang parkir tak perlu mengeluarkan biaya untuk itu.
Tarif parkir memang tidak standar. Kebetulan saya berdomisili di Jogja, dan setahu saya tarif parkir di Jogja sejak 2004 (pertama kali saya merantau ke sini) hingga 2011 tidak pernah mengacu pada satu aturan yang standar, begitu pula mengenai lokasi parkir. Hal itu berbeda dengan yang saya jumpai di Solo. Di beberapa kantong parkir saya menemukan papan informasi mengenai standar tarif sesuai dengan jenis kendaraannya.
Masalah parkir ini terkesan remeh temeh, namun lama kelamaan menjadi monster yang menakutkan. Bayangkan, soal parkir kian hari semakin tidak logis saja. Jika saya berhenti di 10 titik dalam sehari di Jogja, maka saya harus mengeluarkan minimal Rp 10.000 untuk parkir saja. Padahal, saya hanya menaruh kendaraan (motor atau sepeda) saya sebentar sekali di depan sebuah toko untuk keperluan 5 menit. Saya masih dengan jelas dapat mengamati kendaraan saya, memastikan dia aman. Saya pun sebisa mungkin menaruh kendaraan agar tidak mengganggu kepentingan banyak orang. Tapi ketika saya hendak mengambil kendaraan itu, saya harus memberikan uang Rp 1.000 ke juru parkir –yang bisa muncul dari arah mana pun, tak terduga- yang sama sekali tidak membantu saya. Pernah lagi di banyak tempat, saya memarkir kendaraan dan dilarang untuk mengunci setang. Kemudian saya diberi karcis parkir yang di dalamnya memuat informasi bahwa jika kendaraan saya hilang maka itu bukan merupakan tanggung jawab juru parkir. Jiah......bagaimana bisa begitu? Sementara saya dilarang untuk melakukan tindakan pencegahan demi mengamankan kendaraan saya. Belum lagi tarif parkir yang bisa naik berkali-kali lipat sesuai dengan musim liburan.
Kejadian lucu saya alami tadi malam ketika mengantar seorang teman ke atm di daerah kampus Fakultas Peternakan UGM. Saya menunggu di atas motor sementara teman saya masuk ke atm. Saya menepikan kendaraan dan sangat yakin tidak menghalangi jika ada kendaraan yang akan berhenti di dekat atm. Berjarak sekitar 5 m dari atm, seorang juru parkir tengah asyik berkirim pesan singkat melalui telepon genggam di tangannya. Tak lama kemudian datang seorang mas2 dengan motornya dan parkir di depan atm. Dengan sigap si juru parkir menyelipkan kartu parkir ke motor mas2 itu. Kemudian juru parkir ini berjalan ke arah saya dan hendak melakukan hal yang sama.
Juru Parkir: Kian mendekat dan mengambil sepotong kartu parkir.
Saya: Bingung. “Lho Pak, maksudnya apa?”
Juru Parkir: “Ini kartu parkir Mbak.”
Saya: “Iya saya tahu, tapi kan saya nungguin motor saya sendiri Pak.”
Juru Parkir: “Tapi kan temennya Mbak masuk ke atm.”
Saya: “Terus????”
Juru Parkir: “Ya, Mbak harus membayar parkir karena berhenti di atm ini.”
Saya: ?????? “Saya ga mau bayar Pak, wong saya ada di atas motor saya”
Juru Parkir: “Lha ga bisa Mbak, saya kan juga harus nyetor.”
Saya: “Lha, itu urusan Bapak, saya ga merasa harus membayar.”
Juru Parkir: “Saya ga minta Mbaknya yang bayar kok, saya minta temen Mbak yang bayar.”
Saya: “Lho, aneh banget si, temen saya itu datangnya sama saya, saya yang bonceng, saya yang bawa motor, kenapa dia harus bayar. Gini ya Pak, saya kan di atas motor saya, saya ga merasa parkir! Lagian ini area kampus, setiap orang berhak untuk berhenti di mana saja asal ga mengganggu pengguna jalan yang lain dan ga melanggar aturan lalu lintas!!!!”
Juru Parkir: tetep ngotot
Tak lama kemudian teman saya keluar dan saya memberi aba-aba untuk naik ke motor secepatnya. Si juru parkir masih ngotot meminta bayaran. Saya pun tak kalah ngotot. Sangking ngototnya kaki si juru parkir sengaja menahan ban depan saya.
Juru Parkir: dengan tampang super emosi dan mulai mengancam “Ini Jogja lho Mbak.”
Saya: berusaha mundur dan siap-siap cabut sambil mengumpat dalam hati “lha terus hubungannya Pak? Justru harusnya ini Jogja, kenapa yang kecil harus malakin yang kecil juga?!!!”
Seumur-umur saya di Jogja baru kali ini saya ditarik uang parkir sementara saya bersetia menunggu di atas motor. Lucu juga kalau diingat kejadian itu. Bagi saya ini bukan persoalan 1.000 rupiah yang harus saya keluarkan. Saya pasti akan membayar dengan senang hati jika memang si juru parkir melakukan tugasnya dan saya memang berada di area parkir yang semestinya. Kasus seperti yang saya alami itu namanya parkir ilegal. Jika urusannya ingin dibuat rumit bisa saja. Saya akan usut soal bukti retribusinya dan lain-lain. Tapi saya terlalu malas untuk itu.
Saya jadi ingat cerita seorang teman. Ia mempunyai teman Polandia yang sedikit “ngeyel” soal parkir. Si bule ini paling malas membayar parkir di tempat-tempat yang menurutnya bukan lahan parkir legal. Maka, ia pun menjadi musuh seluruh juru parkir di satu kawasan tak jauh dari kampus UGM. Tak jarang ban kendaraannya kempes saat ia meninggalkan kendaraannya hanya beberapa menit saja. Lama-lama saya bakal mengikuti jejaknya. Ketika memang satu tempat itu memang pantas untuk dijadikan parkir dengan nilai ekonomis di dalamnya saya akan terima ketika harus membayar sejumlah uang. Namun, jika parkir itu saya rasa tidak logis maka sampai kapan pun saya tak pernah mau membayar. Coba bayangkan betapa menyebalkan ketika kita sudah membayar sejumlah uang ke juru parkir namun kendaraan kita tidak disentuh olehnya. Ia membiarkan kita mengeluarkan sendiri kendaraan kita dan melengos pergi setelah mendapatkan uang yang diinginkannya. Terlihat seperti preman saja para juru parkir yang seperti itu.
Seandainya saja pihak yang berwenang tidak segera membuat kebijakan yang tepat guna perihal parkir ini maka “kantong-kantong” parkir ilegal akan tumbuh subur. Semakin banyak juga pemalak-pemalak kecil yang menyamar sebagai juru parkir. “Modalnya gampang, rompi oranye bertuliskan juru parkir,” ucap seorang teman yang juga kesal dengan ulah juru parkir gadungan ini.
Tarif parkir memang tidak standar. Kebetulan saya berdomisili di Jogja, dan setahu saya tarif parkir di Jogja sejak 2004 (pertama kali saya merantau ke sini) hingga 2011 tidak pernah mengacu pada satu aturan yang standar, begitu pula mengenai lokasi parkir. Hal itu berbeda dengan yang saya jumpai di Solo. Di beberapa kantong parkir saya menemukan papan informasi mengenai standar tarif sesuai dengan jenis kendaraannya.
Masalah parkir ini terkesan remeh temeh, namun lama kelamaan menjadi monster yang menakutkan. Bayangkan, soal parkir kian hari semakin tidak logis saja. Jika saya berhenti di 10 titik dalam sehari di Jogja, maka saya harus mengeluarkan minimal Rp 10.000 untuk parkir saja. Padahal, saya hanya menaruh kendaraan (motor atau sepeda) saya sebentar sekali di depan sebuah toko untuk keperluan 5 menit. Saya masih dengan jelas dapat mengamati kendaraan saya, memastikan dia aman. Saya pun sebisa mungkin menaruh kendaraan agar tidak mengganggu kepentingan banyak orang. Tapi ketika saya hendak mengambil kendaraan itu, saya harus memberikan uang Rp 1.000 ke juru parkir –yang bisa muncul dari arah mana pun, tak terduga- yang sama sekali tidak membantu saya. Pernah lagi di banyak tempat, saya memarkir kendaraan dan dilarang untuk mengunci setang. Kemudian saya diberi karcis parkir yang di dalamnya memuat informasi bahwa jika kendaraan saya hilang maka itu bukan merupakan tanggung jawab juru parkir. Jiah......bagaimana bisa begitu? Sementara saya dilarang untuk melakukan tindakan pencegahan demi mengamankan kendaraan saya. Belum lagi tarif parkir yang bisa naik berkali-kali lipat sesuai dengan musim liburan.
Kejadian lucu saya alami tadi malam ketika mengantar seorang teman ke atm di daerah kampus Fakultas Peternakan UGM. Saya menunggu di atas motor sementara teman saya masuk ke atm. Saya menepikan kendaraan dan sangat yakin tidak menghalangi jika ada kendaraan yang akan berhenti di dekat atm. Berjarak sekitar 5 m dari atm, seorang juru parkir tengah asyik berkirim pesan singkat melalui telepon genggam di tangannya. Tak lama kemudian datang seorang mas2 dengan motornya dan parkir di depan atm. Dengan sigap si juru parkir menyelipkan kartu parkir ke motor mas2 itu. Kemudian juru parkir ini berjalan ke arah saya dan hendak melakukan hal yang sama.
Juru Parkir: Kian mendekat dan mengambil sepotong kartu parkir.
Saya: Bingung. “Lho Pak, maksudnya apa?”
Juru Parkir: “Ini kartu parkir Mbak.”
Saya: “Iya saya tahu, tapi kan saya nungguin motor saya sendiri Pak.”
Juru Parkir: “Tapi kan temennya Mbak masuk ke atm.”
Saya: “Terus????”
Juru Parkir: “Ya, Mbak harus membayar parkir karena berhenti di atm ini.”
Saya: ?????? “Saya ga mau bayar Pak, wong saya ada di atas motor saya”
Juru Parkir: “Lha ga bisa Mbak, saya kan juga harus nyetor.”
Saya: “Lha, itu urusan Bapak, saya ga merasa harus membayar.”
Juru Parkir: “Saya ga minta Mbaknya yang bayar kok, saya minta temen Mbak yang bayar.”
Saya: “Lho, aneh banget si, temen saya itu datangnya sama saya, saya yang bonceng, saya yang bawa motor, kenapa dia harus bayar. Gini ya Pak, saya kan di atas motor saya, saya ga merasa parkir! Lagian ini area kampus, setiap orang berhak untuk berhenti di mana saja asal ga mengganggu pengguna jalan yang lain dan ga melanggar aturan lalu lintas!!!!”
Juru Parkir: tetep ngotot
Tak lama kemudian teman saya keluar dan saya memberi aba-aba untuk naik ke motor secepatnya. Si juru parkir masih ngotot meminta bayaran. Saya pun tak kalah ngotot. Sangking ngototnya kaki si juru parkir sengaja menahan ban depan saya.
Juru Parkir: dengan tampang super emosi dan mulai mengancam “Ini Jogja lho Mbak.”
Saya: berusaha mundur dan siap-siap cabut sambil mengumpat dalam hati “lha terus hubungannya Pak? Justru harusnya ini Jogja, kenapa yang kecil harus malakin yang kecil juga?!!!”
Seumur-umur saya di Jogja baru kali ini saya ditarik uang parkir sementara saya bersetia menunggu di atas motor. Lucu juga kalau diingat kejadian itu. Bagi saya ini bukan persoalan 1.000 rupiah yang harus saya keluarkan. Saya pasti akan membayar dengan senang hati jika memang si juru parkir melakukan tugasnya dan saya memang berada di area parkir yang semestinya. Kasus seperti yang saya alami itu namanya parkir ilegal. Jika urusannya ingin dibuat rumit bisa saja. Saya akan usut soal bukti retribusinya dan lain-lain. Tapi saya terlalu malas untuk itu.
Saya jadi ingat cerita seorang teman. Ia mempunyai teman Polandia yang sedikit “ngeyel” soal parkir. Si bule ini paling malas membayar parkir di tempat-tempat yang menurutnya bukan lahan parkir legal. Maka, ia pun menjadi musuh seluruh juru parkir di satu kawasan tak jauh dari kampus UGM. Tak jarang ban kendaraannya kempes saat ia meninggalkan kendaraannya hanya beberapa menit saja. Lama-lama saya bakal mengikuti jejaknya. Ketika memang satu tempat itu memang pantas untuk dijadikan parkir dengan nilai ekonomis di dalamnya saya akan terima ketika harus membayar sejumlah uang. Namun, jika parkir itu saya rasa tidak logis maka sampai kapan pun saya tak pernah mau membayar. Coba bayangkan betapa menyebalkan ketika kita sudah membayar sejumlah uang ke juru parkir namun kendaraan kita tidak disentuh olehnya. Ia membiarkan kita mengeluarkan sendiri kendaraan kita dan melengos pergi setelah mendapatkan uang yang diinginkannya. Terlihat seperti preman saja para juru parkir yang seperti itu.
Seandainya saja pihak yang berwenang tidak segera membuat kebijakan yang tepat guna perihal parkir ini maka “kantong-kantong” parkir ilegal akan tumbuh subur. Semakin banyak juga pemalak-pemalak kecil yang menyamar sebagai juru parkir. “Modalnya gampang, rompi oranye bertuliskan juru parkir,” ucap seorang teman yang juga kesal dengan ulah juru parkir gadungan ini.


Comments