Perjalanan Menuju Tiga Benteng Cilacap (Bagian I)

Cilacap, kota kecil di pesisir selatan Jawa Tengah selama ini terkenal dengan pulau Nusa Kambangan tempat para tahanan kelas kakap berada, Benteng Pendem dengan aura mistisnya, mendoan yang maknyus, serta khas dialeg “ngapak” warganya. Cilacap ternyata sejak dulu telah menjadi perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda. Berawal dari surat keputusan pemerintah kolonial pada 4 Desember 1830 yang menetapkan pos Nusa Kambangan masuk dalam garnisun kecil di Pulau Jawa. Pelabuhan yang ada di Cilacap pun dibuka bukan hanya untuk alasan dagang saja melainkan pertimbangan aspek militer-pertahanan. Pada masa perang dulu, pelabuhan Cilacap dirancang untuk keperluan evakuasi ke Australia tanpa melalui Selat Bali dan Sunda. Maka tak heran jika ada tiga benteng di Cilacap, yaitu Benteng Pendem, Benteng Karang Bolong, dan Benteng Klingker (Banjoenjapa). Tiga benteng itu terlalu menggoda untuk dilewati begitu saja. Saya pun sudah lebih dari satu kali kunjungan ke benteng-benteng itu. Biasanya saya menggunakan motor untuk mencapai tiga benteng ini. Namun, kali ini saya ingin menceritakan perjalanan dengan menggunakan transportasi umum.

Bis Efisiensi merupakan pilihan yang tepat untuk mengawali perjalanan menuju Cilacap. Bis ini menyediakan beberapa kali pemberangkatan ke Cilacap dalam sehari. Jadwal paling awal dimulai pukul 06.00 pagi. Saya hampir ditinggal saat pertama kali menggunakan jasa bis ini karena bis berangkat tepat waktu. Jika telat pun hanya dalam hitungan menit (2 atau 3 menit).

Untuk naik bis ini saya harus datang sebelum pukul 06.00 pagi ke terminal Giwangan. Saya langsung menuju bagian bis luar kota. Sebelum naik bis kita akan diberi nomor tempat duduk, sementara tiket dibayar di atas bis. Harga tiket periode 2011 Rp 40.000. Pelayanan pegawai Efisiensi Jogja-Cilacap cukup memuaskan. Namun, untuk tujuan Cilacap-Jogja petugasnya sedikit menyebalkan. Saran saya, berhati-hati dan waspadalah!!!

Kondisi di dalam bis Efisiensi sangat menyenangkan. Bis ini cocok sekali digunakan untuk perjalanan jauh karena kursi didesain untuk membuat penumpang senyaman mungkin. Saya pasti bersedia menetap di dalam bis ini jika terpampang pilihan seperti itu.

Setelah menempuh perjalan sekitar 4 jam (5 jam jika banyak halangan di jalan) maka saya sampai di terminal Cilacap yang cukup sepi untuk hitungan kota seperti Cilacap.

Di dalam terminal terdapat kios-kios yang menyediakan berbagai kebutuhan. Kios pulsa merupakan kios yang paling banyak saya jumpai di sini. Saya iseng saja mengambil gambar ini karena sedikit aneh. Satu kios menaungi dua operator yang sering perang tarif dan layanan.

Selanjutnya saya mencari angkutan yang melewati kawasan wisata Pantai Teluk Penyu. Tarif per orang Rp 2.500. Angkutan yang menuju ke kawasan ini terbilang langka, hanya satu dua armada. Jalannya pun lambat sekali seperti siput. Pak supir akan “ngetem” di beberapa titik. Perjalanan dari terminal Cilacap menuju kawasan benteng Pendem yang normal ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit bisa menjadi 30 menit dengan angkutan ini. Namun, apa daya, hanya angkutan ini yang mampu saya jangkau tarifnya.

Saya turun di pertigaan Kilang Pertamina. Dari sana saya berjalan kaki menuju Pantai Teluk Penyu sekitar 10 menit. Untuk masuk kawasan Teluk Penyu dikenakan biaya sebesar Rp 5.000,-. Tarikan retribusi seperti ini rawan penyimpangan. Awalnya saya hanya disuruh membayar Rp 5.000,- meskipun dua kepala yang masuk. Namun, ketika saya minta bukti fisiknya, mereka tidak bisa memberikan jika uang yang dibayarkan hanya Rp 5.000,-. Saya lebih memilih membayar Rp 10.000,- dan mendapatkan bukti fisik berupa tiket ketimbang membayar separuh harga tapi uang yang saya bayarkan tidak jelas “masuk” ke mana. Ketika saya mendapatkan bukti fisik tiket pun tidak menjadi jaminan uang yang saya bayarkan akan sampai pos yang seharusnya. Menurut saya ini tidak adil. Saya diharuskan membayar untuk masuk kawasan yang sebenarnya hanya merupakan tempat transit saya karena harus menyeberang ke Nusa Kambangan. Tarif yang dipatok bahkan lebih mahal ketimbang masuk ke Benteng Karangbolong yang hanya Rp 3.500,-. Saya bingung dengan peraturan yang cukup aneh ini. Mengapa tidak dibuat tiket jaringan. Artinya, wisatawan membayar tiket sesuai dengan tempat tujuan yang ia inginkan. Dan tiap titik tujuan harus dilengkapi dengan pos petugas pemeriksa tiket. Begitu lebih adil. Yang saya permasalahkan pemberlakuan tiket ini tidak diberlakukan kepada semua pengunjung. Para petugas yang jumlahnya sekitar 5 orang sekali jaga itu mengacak wisatawan yang akan mereka kenakan retribusi. Buktinya saya pernah masuk tidak membayar padahal ada petugas di loket tiket itu. Aneh bukan?

Sumber bacaan:
1. Abbas, Novida. 2001. Dutch Forts of Java: A Locational Study. Thesis Master. Singapura: National University of Singapore.
2. Zuhdi. Susanto. 2002. Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
3. Djamhari, Saleh A. 2003. Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830. Jakarta: Yayasan Komunitas Bambu.

Sumber Citra: earthgoogle.com, pencitraan12 April 2010.

Comments

Popular Posts