Saripetojo, Tulang Punggung Tiga Generasi

Gerbang menuju Pabrik Es Saripetojo

Nun jauh di seberang sana, tersebar negeri-negeri dimana rakyat dan penguasa bahu membahu melestarikan tinggalan budayanya. Yang roboh dibangun kembali, yang hampir roboh diperkuat, dan yang masih kokoh dirawat total. Di sini, di negeri yang sohor dengan gemah ripah loh jinawi-nya, tinggalan budaya itu lebih banyak kehilangan makna dan hancur atas nama ekonomi.

Separuh dinding bangunan berdenah persegi panjang itu telah lenyap sehingga bagian dalam bangunan terlihat jelas. Bagian atap tinggal kerangkanya saja sementara genteng-genteng sudah diturunkan. Ubin-ubin ditumpuk tak beraturan dan dijemur di bagian belakang, di lahan yang dahulu digunakan sebagai sarana olahraga. Beberapa unit wisma juga sudah rata tanah. Begitulah gambaran kompleks pabrik es Saripetojo beberapa waktu yang lalu (20/07). Pabrik es ini berada di RT. 02, RW. 15, Jantirejo, Kaliurang Sondakan, Kecamatan Laweyan.

Tumpukan ubin

Saya hanya mengamati pabrik dari luar saja. Tidak ada orang yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya saat itu. Namun, tulisan “Depo Es Batu; Es Saripetojo” berhasil membuat saya menepikan motor. Seorang ibu sedang menyiapkan minyak goreng untuk memasak sesuatu. Dengan sedikit basa basi dan “penolakan” halus di awal percakapan akhirnya saya mampu meyakinkan si ibu untuk bercerita. Tak lama kemudian muncul suaminya, Pak Broto –bukan nama sebenarnya- yang lantas ikut nimbrung bersama kami.

Depot Es Saripetojo

Pak Broto merupakan generasi ketiga dalam keluarganya yang pernah bekerja di pabrik es Saripetojo. Ia mengabdi selama 36 tahun. Sementara istrinya menjadi salah satu distributor kecil es Saripetojo sejak 25 tahun silam. Dari Saripetojo lah keluarga Pak Broto berhasil bertahan hingga sekarang. Bahkan Pak Broto berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang Perguruan Tinggi yang membuka kemungkinan untuk mengukir sejarah baru keluarga ini.

Dengan susah payah saya berhasil mengumpulkan kronologis pembongkaran pabrik es Saripetojo. Menurut Bu Broto pembongkaran dimulai pada 15 Juni 2011. Sementara pabrik resmi ditutup dan tidak beroperasi pada 2 Juni 2011. Saya mencoba memancing Bu Broto perihal sebab penutupan pabrik yang mungkin bisa dikaitkan dengan kerugian perusahaan dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan kebangkrutan. “Nggak, kalo bangkrut nggak, katanya dikontrakkan sama Pak Gubernur, katanya..., ke Ramayana,” tutur Bu Broto. Akibat penutupan pabrik, Bu Broto menyuplai es batu dari pabrik Putri Salju yang dimiliki oleh swasta –Saripetojo adalah BUMN milik pemerintah-.

Kondisi pabrik setelah dibongkar

Menurut Pak Broto sebenarnya pabrik es masih memproduksi es, tetapi dari atasan tidak menghendaki lagi, “ini kan tinggalan Belanda yang masuk cagar budaya,” ujar Pak Broto menekankan nilai penting pabrik es. Mereka kasihan melihat nasib para karyawan setelah pabrik ditutup. Terlebih lagi para karyawan itu masih mempunyai tanggungan anak yang masih membutuhkan biaya pendidikan. “Iya, langsung PHK gitu aja,” tutur Ibu Broto ketika saya bertanya mengenai status karyawan pabrik. Pabrik es ini mempunyai 36 pegawai tetap. Sementara jumlah pegawai hariannya juga termasuk tidak kecil. Menurut Pak Broto seharusnya pemerintah membangun pabrik baru yang dapat menampung karyawan lama. Namun yang terjadi pekerja hanya diberi pesangon saja. Pekerja ini merupakan warga lokal dan warga luar Solo seperti Jawa Timur.

Pabrik dengan dinding yang sudah dihancurkan

Proses penutupan dan pembongkaran pabrik berlangsung sangat cepat. Tidak ada isu yang beredar sebelumnya. Isu pertama muncul sejak dua tahun yang lalu, kemudian menguap. Pada 20 Mei 2011 isu muncul kembali di kalangan karyawan, kemudian pada 25 Mei diadakan rapat. Pada 1 Juni pesangon turun dan pada 2 Juni produksi dihentikan dan pabrik resmi ditutup. Para karyawan yang tinggal di wisma yang berada satu kompleks dengan pabrik juga harus mengosongkan wisma dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Beberapa unit wisma yang sudah dibongkar

Sekarang bangunan sejak 1888 ini tergolek tak berdaya. Protes datang dari warga karena karyawan sudah tidak bisa berkutik lagi. Para pedagang dari pasar tradisional juga turut berpartisipasi dalam demosntrasi menolak pembongkaran pabrik es ini. Karena aksi warga tersebut ditambah lagi dengan kecaman dari berbagai pihak maka pembongkaran pabrik dihentikan sementara sejak setengah bulan yang lalu.

Modal bergerak perusahaan seperti alat-alat, semua "dirongsok", kecuali mobil yang diserahkan ke unit Semarang, Rembang, dan Cilacap yang masih beroperasi. “Sejak mau menggre-menggre gitu ya, jalannya nggak tentu, ya rugi, ya nggak, pusat dimintai bantuan ndak isa,” tutur Pak Broto ketika menyikapi kemampuan pemerintah untuk menyelamatkan pabrik. Menurut beliau sebenarnya pemerintah pusat mempunyai cukup kemampuan untuk membantu. Joko Wi selaku walikota Solo menurut Pak Broto tidak merestui pembongkaran ini. “Dari Joko Wi ga setuju seratus persen, untuk mall sudah banyak di Solo, kota kecil,” tutur Pak Broto.

“Orang kita itu cuman merusak,” tutur Pak Broto sambil menerawang jauh. Inilah ironi di negeri sendiri. Kita seakan malas untuk berurusan dengan hal-hal yang berbau “lawas”. Yang “lawas” itu dinilai tidak bisa menghasilkan manfaat ekonomi sehingga harus kalah dengan kepentingan yang lebih menjanjikan kondisi perut yang lebih terjamin.

Comments

Popular Posts