Vastenburg, Siapa Punya?

Gerbang sisi barat benteng

Saya seperti tak mengenali Vastenburg. Benteng itu serupa belantara di tengah kota.


Seorang juru parkir di samping Bank Danamon mengantar saya hingga pintu gerbang benteng sisi barat. Ia kemudian mengenalkan saya dengan Pak Suman, juru pelihara benteng, yang selanjutnya mengantarkan saya ke rumah Pak Carolus -orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga benteng- yang terletak di sisi tenggara benteng.

Bangunan turutan di sisi tenggara benteng, sekarang menjadi tempat tinggal Pak Carolus

Rumah ini merupakan satu-satunya bangunan turutan di luar benteng yang masih utuh. Kami masuk lewat pintu belakang dan menuju beranda belakang rumah. Di sana duduk Pak Carolus dan seorang tamunya. Mereka tampak sedang mengakhiri percakapan. Tak lama kemudian sang tamu pamit pulang. Kini tinggal saya dan Pak Carolus saja bersama beberapa ekor anjing yang duduk manis menunggu tuannya melayani tamu baru.

Pak Carolus hanya mengenakan kaus singlet dan sarung saat itu. Sambil sesekali menghisap rokok yang menyelip di antara jemarinya ia mendongengkan saya tentang Vastenburg. Saya pun tak melewatkan kesempatan emas ini. Selama ini saya selalu dihantui rasa penasaran terkait dengan “raib”nya bangunan turutan yang sangat padat di dalam dan di luar benteng. Mesin pencari Google pun tak mampu menjawab pertanyaan saya. Maka, dengan Pak Carolus lah kemudian saya tumpahkan seluruh pertanyaan yang selama ini mengendap di kepala.

Pak Carolus dapat dikatakan menjadi saksi hidup dari pembongkaran dan penghancuran bangunan turutan di Benteng Vastenburg. Jika kesulitan menggambarkan bangunan turutan di Vastenburg silakan membayangkan bangunan-bangunan yang ada di dalam Benteng Vredeburg. Peristiwa itu terjadi pada 1990 saat Batik Keris berhasil membeli lahan benteng dengan cara tukar guling yang dilakukan pada 1987. Tukar guling antara Batik Keris dan HANKAM itu terjadi lantaran pihak militer membutuhkan tempat tinggal baru bagi para prajurit dan perwiranya. Bangunan-bangunan yang ada dinilai sudah tidak layak huni karena sudah termakan usia. Lahan benteng yang sangat strategis saya pikir menjadi alasan kuat Batik Keris mengambil alih lahan ini dan menukarnya dengan sebidang tanah di Gadingan, Palur. Kemudian dibangunlah asrama Brigif VI KOSTRAD di sana.

Bangunan turutan di dalam Benteng Vredeburg

Batik Keris kemudian “membersihkan” bangunan-bangunan yang sudah uzur itu. Pak Carolus didaulat sebagai mandor atas pengerjaan pembongkaran bangunan-bangunan yang sebagian besar menggunakan kayu jati sebagai material utamanya. Pengerjaan itu terbilang cepat, hanya sekitar 3 bulan untuk bangunan yang ada di dalam benteng dan sekitar 2 bulan untuk bangunan yang ada di luar benteng. Area yang dibongkar juga meliputi lahan tempat Pusat Grosir Solo (PGS) sekarang berdiri. Material hasil pembongkaran di area PGS dilelang oleh Batik Keris. Sementara material di sekitar benteng disimpan di gudang milik Batik Keris. Namun, tak lama kemudian gudang itu terbakar dan memusnahkan semua material bangunan turutan benteng. Ironisnya, ketika pembongkaran ini terjadi pihak yang berwenang dan punya kuasa tidak menunjukkan batang hidungnya.

Bagian dalam Benteng Vastenburg, tanpa bangunan turutan

Sebelum pembongkaran –saya lebih suka menyebutnya dengan istilah “pemusnahan”- terjadi, petugas dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah –saat itu masih Suaka Pelestarian Peninggalan Purbakala- sempat melakukan pendokumentasian benteng. Mereka melakukan pengukuran dan merekam benteng dengan pemotretan. Menurut Pak Carolus, bagi BP3 Jawa Tengah, cagar budaya yang diakui hanyalah benteng dan kanal. Itu saja. Sepertinya saya harus sowan ke BP3 Jateng dan mengklarifikasi mengenai hal ini.

Saya sempat bertanya soal perubahan-perubahan yang terjadi pada benteng, namun Pak Carolus lebih suka saya melakukan observasi terlebih dahulu. Setelah saya selesai mendokumentasikan benteng barulah saya mendapatkan jawabannya. Parit keliling benteng ternyata mengalami reduksi ukuran. Semula parit berukuran 4 m, namun saat direnovasi oleh Batik Keris parit itu sudah tidak berbentuk lagi. Kemudian oleh Batik Keris parit direnovasi, namun dibuat hanya 3 m. Begitu juga jarak antara parit dengan dinding benteng, awalnya 4 m, namun dibuat menjadi 3 m oleh Batik Keris. Itulah salah satu dasar Pak Carolus untuk tidak mempercayai investor. “Mereka hanya peduli soal uang dan keuntungan,” tutur Pak Carolus.

Lahan di dalam dan di luar benteng sekarang statusnya milik banyak orang “berduit.” Lahan itu dikapling-kapling. Robby Sumampouw (PT Benteng Gapuratama) sepertinya memiliki porsi terbesar dari kapling-kapling tersebut. Semua investor yang punya modal itu sekarang tak bisa berbuat banyak. Ibaratnya mereka tidak melakukan gerakan mundur atau pun maju. Rencana-rencana untuk membuat hotel berlantai 15 misalnya, terpaksa disimpan dulu karena kejelasan status yang masih menggantung. Mereka, para investor kemungkinan besar hanya mampu melakukan perpanjangan Hak Guna Bangunan yang akan jatuh tempo pada 2012 mendatang.

Sekarang, benteng mangkrak. Saya kaget sekali melihat benteng dalam kondisi mengenaskan. Tanaman liar, rumput, gulma, lumut, jamur, dan tanaman sebangsa yang lain merayakan pendudukan mereka atas dinding benteng yang mulai dibangun pada 1765 ini. Bastion yang pada 2008 saya lihat sedikit putih dengan beberapa titik dipenuhi lumut, sekarang sudah “menghijau” oleh lumut. Rumput liar berdesak-desakan antar sesamanya memenuhi kanal, jalan patroli, bagian atas bastion, dan halaman dalam benteng. Kotoran kambing menggantikan ubin hias pada bangunan di atas gerbang barat. Benteng ini benar-benar hidup segan mati tak mau, seperti zombie di tengah kota.

Bastion sisi baratlaut

Pintu pada dinding sisi utara

Bastion sisi baratdaya

Ubin hias pada bangunan gerbang barat benteng, tertutup kotoran kambing

Bangkai kambing di dalam ruangan gerbang barat benteng

Tumpukan ubin di sudut utara bangunan gerbang barat benteng

Tangga menuju jalan patroli pada dinding sisi utara benteng

Gerbang sisi timur

Bagian dalam bangunan gerbang barat benteng

Bastion sisi baratlaut

Sambil tersenyum getir dan mata berkaca-kaca, Pak Carolus menceritakan kepada saya betapa pentingnya Vastenburg bagi masyarakat Solo. Saat benteng ini masih ditempati oleh KOSTRAD, tidak banyak warga Solo yang tahu bahwa di tengah permukiman padat dengan bangunan militer ini terdapat sebuah benteng yang menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Solo tempo dulu. “Ada banyak darah yang dikorbankan untuk membangun benteng ini, sebagian besar dari kita tidak melihat sejarah di kepala 17 itu,” tutur Pak Carolus saat menyinggung korban jiwa terkait pembangunan benteng pada 1765. Sejarah perebutan benteng saat kembali diduduki oleh Belanda setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia saja mungkin hanya segelintir orang yang tahu. Dari Pak Carolus pula saya tahu bahwa peran wanita begitu penting. Para Srikandi Solo yang saat itu tergabung dalam Laskar Putri Indonesia Surakarta menyerahkan jiwa raga demi merebut kembali Vastenburg dari tangan Belanda. Mereka membantu staf Komando, menyelenggarakan dapur umum dan Palang Merah, menjadi penghubung, dan turut serta di dalam pasukan pengamanan. Setidaknya terdapat 130 prajurit wanita yang tergabung dalam laskar itu. Dan semua sejarah itu terkesan menguap seiring zaman, terlindas oleh arus kapitalisme semu. “Saya hanya bisa berharap pada Anda-Anda ini, para mahasiswa,” ujar Pak Carolus sambil menatap saya, tajam. Ia tidak bisa berharap banyak pada masyarakat umum terkait dengan Vastenburg. Memang ada masyarakat Solo yang berjuang untuk membebaskan benteng, namun itu hanya golongan kecil saja. Masyarakat yang dimaksud oleh beliau yaitu para sejarawan, budayawan, dan mahasiswa. Sementara masyarakat umum lainnya masih berkutat di urusan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. “Boro-boro memikirkan nasib benteng, perut lebih penting, dan saya maklum,” kata Pak Carolus.

Sejak 1990, Pak Carolus memelihara kambing untuk merawat benteng. Juga untuk mencetak salah satu anaknya menjadi sarjana. Maklum, dana yang dikucurkan dari para investor itu tidak mampu menutup biaya pemeliharaan benteng. Saat ini Pak Carolus mempekerjakan seorang juru pelihara yang bertugas membersihkan benteng dengan bayaran Rp 25.000 per hari. Sebelumnya Pak Carolus mempekerjakan dua orang juru pelihara, namun satu orang lainnya terpaksa diistirahatkan. Selain dari kambing, menurut Pak Suman, Pak Carolus juga mengusahakan dana pemeliharaan benteng melalui uang parkir dan ladang jagung di atas bastion benteng. Meskipun benteng ini sudah ditetapkan menjadi cagar budaya pada 2010 (Peraturan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.57/PW.007/MKP/2010, 22 Juni 2010), namun menurut pengakuan Pak Carolus belum ada tanda-tanda perhatian dari pemerintah.

Sekarang Vastenburg masih menunggu kejelasan dari para pemangku kebijakan dan pemilik modal. Persoalan status benteng cukup jelas karena sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Permasalahan terkait lahan yang dimiliki oleh banyak pihak itu kemudian yang akan menentukan nasib Vastenburg ke depannya. Apakah tetap mangkrak seperti ini, dihancurkan dan diganti dengan bangunan lain, atau justru dilestarikan dan diberi fungsi baru yang lebih dekat dengan masyarakat Solo?

Comments

Popular Posts