Wajah Baru Benteng Ontmoeting, Ungaran

Tampak depan Benteng Ontmoeting, Ungaran

Tak ada lagi dinding benteng yang kusam di tepi Jalan Diponegoro, Ungaran. Bak keluar dari salon, kini dinding benteng Ontmoetingbersih, putih, dan mulus.

Ada yang berbeda ketika saya mengenali kembali Benteng Ontmoeting -yang juga dikenal sebagai Benteng Willem II-, Ungaran. Cat putih yang memoles tubuhnya begitu putih dan bersih. Ontmoeting bagai baru keluar dari salon kecantikan saja. Kondisi taman di depannya pun seakan tak mau kalah ikut berpoles. Paving block baru dipasang menggantikan yang lama. Semua terlihat rapi dan teratur.

Berbekal informasi dari juru parkir, saya disarankan untuk masuk ke dalam benteng melalui pintu belakang karena sedang ada acara. Cukup menakjubkan bagi saya bahwa si juru parkir mengetahui kalau pintu utama justru yang menjadi bagian belakang benteng saat ini.

Lokasi Benteng Ontmoeting (Sumber: Google Earth, pencitraan 26/06/2007)

Saya melewati bagian sisi selatan benteng. Dinding benteng sudah diplester semen dan dicat putih. Sebagian dinding benteng yang masih asli –belum diplester- sengaja ditampakkan, berukuran sekitar 70 x 70 cm2. Namun, ketika saya melihat dari jarak yang cukup dekat, spesi dinding itu sudah menggunakan campuran semen dan pasir. Seharusnya spesi yang digunakan merupakan campuran dari tumbukan bata, kapur, dan pasir. Ingatan saya langsung melayang ke tembok makam Kotagede yang direnovasi total sejak 2002. Apakah pekerjaan renovasi ini sudah sesuai dengan kaidah dan prosedur yang berlaku dalam memugar cagar budaya?

Dinding benteng yang masih "asli"

Memasuki halaman belakang benteng saya kaget bukan kepalang. Para pekerja tengah asik dengan tugasnya masing-masing. Ada yang menggergaji kayu, memlester dinding, membuat pondasi, dan memasang keramik. Benteng ini benar-benar bersolek secara modern.

Proses pengerjaan dinding benteng

Dinding diplester dengan campuran semen dan pasir

Separuh dinding benteng yang sudah diplester semen

Saya pun menjelajahi benteng setelah berbincang singkat dengan para pekerja. Saya langsung naik ke lantai dua. Di tiap bastion dipasang tempat duduk yang disponsori Djarum. Lubang untuk tempat prajurit menembak (Embrasure/crenel) diberi palang horizontal. Dan semuanya merupakan warna “baru”. Bahkan pada bastion sisi timurlaut diberi semacam railing (pegangan, biasanya untuk tangga) di pinggir bagian dalam bastion. Jalan patroli dan bastion diberi paving block. Meriam-meriam yang terbuat dari tembaga/kuningan dipasang di tiap embrasure/crenel yang berada di dinding benteng sisi barat. Ukiran Jepara menggantung di bagian langit-langit pintu masuk lantai dua. Pada bagian sisi selatan bangunan turutan sisi barat ditambahkan tangga penghubung antara lantai satu dengan dua. Sementara di lantai satu sebuah pendopo ditambahkan di sisi selatan halaman dalam benteng. Ruang-ruang yang diduga sebagai kamar dilengkapi dengan tempat tidur mewah dan toilet duduk. Semua lantai dikeramik dan diberi batu alam.

Railing pada bastion timurlaut

Embrasure/Crenel yang diberi palang

Ukiran jepara di lantai dua bangunan sisi barat benteng

Bagian bangunan turutan yang terletak di sisi timur sedang dalam proses pengerjaan. Kolom-kolom di bagian atas rencananya akan diperkuat saja –dengan semen tentunya-. Sementara lantai kayu tetap dipertahankan. Lantai ubin semen di bagian bawah sepertinya akan diganti dengan keramik. Menurut pengakuan pekerja, mereka tidak melakukan perubahan apa pun. Semua yang dilakukan semata-mata untuk memperbaiki dan memperkuat bangunan yang berdampak pada semakin panjangnya usia benteng.

Saat tengah asik memotret bagian halaman dalam benteng, saya dipanggil oleh seorang polisi bernama AKP. Bruno (bukan nama yang sebenarnya). Ia menanyakan identitas saya. Untunglah saya membawa lengkap dua KTP. Saya menyerahkan KTP Yogyakarta untuk mempermudah urusan. Lagi-lagi saya mengaku sebagai mahasiswa asal Jogja yang iseng main ke tempat-tempat cagar budaya. Pak Bruno ini jutek sekali. Tatapannya seakan tidak percaya kalau saya datang ke tempat ini murni untuk kepentingan pribadi. Untunglah seorang temannya menyelamatkan saya. Ia menyilakan saya duduk dan memberi sekotak makanan ringan. Sambil menikmati kuwe-kuwe di dalam kotak saya bercakap-cakap dengan si bapak. Ia bukanlah orang yang terlibat khusus di sini. Namun, semua kalimatnya merujuk pada pembelaan -selaku pihak kepolisian- atas renovasi yang sudah dilakukan. Menurut dia banyak pihak yang menentang pengerjaan renovasi ini. Namun, yang terpenting ialah kepolisian mempunyai itikad baik untuk memperbaiki benteng. “Jika diperbaiki semua yang rusak kan harus diganti, kalau hanya ditambal sulam itu namanya bukan memperbaiki,” tuturnya menjelaskan proses renovasi. Ia menyadari bahwa benteng ini masuk kategori cagar budaya. Maka menurutnya renovasi dilakukan tanpa mengubah bentuk asli benteng. Ketika terjadi penambahan pendopo di dalam dan di luar benteng, itu dilakukan semata-mata untuk menjawab kebutuhan di masa mendatang. Mengingat benteng ini akan difungsikan sebagai balai masyarakat.

Pendopo di halaman dalam benteng

Renovasi yang sudah berjalan sekitar 4 bulan ini menurut penuturan kepala proyek belum pernah melibatkan BP3. Konsultan utama atau arsiteknya semua ditangani oleh kepolisian. AKP. Bruno, “arsitek” dari kepolisian yang bertanggungjawab atas keseluruhan proses renovasi Benteng Ontmoeting.

Pro dan kontra terkait renovasi Benteng Ontmoeting pun mengalir. Pihak yang pro dengan renovasi jelas mendukung semua upaya perbaikan benteng, bagaimana pun caranya. Sementara pihak yang kontra terlihat menentang dan menyayangkan tindakan renovasi yang dilakukan dengan tidak mengacu pada kaidah yang berlaku. Menurut saya, itikad baik dari kepolisian harus diberi respon positif. Sekarang bagaimana caranya menemukan itikad baik ini dengan kaidah pemugaran yang pengetahuannya jelas dikuasai oleh pihak-pihak terkait.

Bangunan turutan sisi barat

Perkuatan pada kolom bangunan turutan sisi timur

(Memori Kamis, 21 Juli 2011)

Comments

anneke said…
waduh...sesak napas nih melihat proses renovasi yang kurang tepat ini. Bangunan dari abad lalu harusnya direvitalisasi dan dipreservasi bukan ditumpuk dengan material baru yang kinclong begitu. *sighs*. Kenapa ya tidak melibatkan arsitek yang berkompeten. Bagaimana bata-bata asli nan indah itu malah ditutupin acian semen. Saya pernah ke sana akhir tahun lalu, berharap ada pemugaran memang, tapi tak begini caranya.
KWA Wardani said…
Yepyep, seharusnya memang ada pengawasan langsung dari pihak-pihak yang paham konservasi bangunan lama. Sebenarnya niat dan upaya pihak militer patut diberi apresiasi, hanya saja terkadang mereka tidak tahu harus "berguru" ke siapa agar upaya yang dilakukan tidak menyimpang dari niat semula. Yang harus dicari solusinya ialah bagaimana cara-cara pendekatan yang mampu memberikan pemahaman kepada pihak militer terkait dengan konservasi bangunan lama. Saya pikir ketika keinginan pihak militer dapat direspon dengan baik maka konservasi pun akan berlangsung sesuai dengan kaidahnya.
slamsr said…
tapi mendingan lah ada renovasi, soalnya melihat dari bentuk lama sebelum direnovasi itu malah lebih mirip reruntuhan dan tempat kencing gendruwo pohon beringin.

untuk cagar budaya memang harus dipertimbangkan, tapi terlanjur jadi seperti sekarang..

yg masih ngganjel itu benteng dipergununakan untuk apa, saya juga belum tahu

salam pengamat tempat angker
KWA Wardani said…
Untuk upaya renovasinya memang patut diapresiasi. Yang belum tepat ialah caranya saja. Memang seharusnya ada pengawasan dari pihak terkait seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang menaungi wilayah ini. Ketika sudah direnovasi, biasanya bangunan akan tampak bersih. Hanya saja memang perlu diperjelas mengenai aspek pemanfaatannya. Menurut keterangan dari si bapak baik yang nemenin saya keliling benteng, benteng ini akan dijadikan semacam tempat untuk kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Dengan catatan semua harus seizin pihak berwenang, yaitu kepolisian.
bayu said…
Haah.....Polisi ...???
*buset....dah.....

informasinya mengejutkan....thx

Popular Posts