“You Cook I Eat”: Sekilas Pameran Museum Anak Kolong Tangga


Seorang pengunjung mengamati display pameran

“You Cook I Eat”, judul tersebut langsung memikat saya. Sebuah pameran yang diselenggarakan oleh Museum Anak Kolong Tangga pada 16-27 Desember 2012 di Taman Budaya Yogyakarta. Wajar saja jika saya kepincut. Bagi kebanyakan orang makan memang terkesan sederhana, mudah, ringan, ecek-ecek. Bahkan sering orang bercanda dengan mengeluarkan slogan “makan untuk hidup” dan “hidup untuk makan”. Slogan pertama dekat dengan orang-orang yang terlalu serius menjalani hidup. Sementara slogan kedua dekat sekali dengan orang-orang yang menikmati hidup. Tapi saya tak hendak bercerita tentang pernyataan-pernyataan yang ringan itu namun bisa cukup sensitif untuk beberapa kasus tertentu. Makan bagi saya sama artinya dengan kotak harta karun yang tak habis untuk dihitung. Terlampau banyak muatan di dalamnya, yang bagus, yang sedang, dan yang jelek. Yang pembuka, yang utama, dan yang penutup.

Seorang pengunjung mengamati display tentang cokelat

Berkunjung ke pameran ini seakan mengingatkan saya bahwa makan, yang bagi sebagian besar orang adalah hal remeh temeh karena dilakukan setiap hari sedari kecil, bukan hal yang singkat atau sederhana atau biasa. Makan mengandung pahit dan manis semua hal yang terkait dengan kehidupan di bumi ini. Makan di satu sisi adalah sebuah kemewahan yang tak kunjung henti disyukuri karena berkah yang menyertainya. Sementara di sisi lain makan menjadi sebuah tragedi yang memilukan.

Makan bukan hanya cerita tentang kenyang

Display yang ditampilkan di ruang pamer mengajak saya berkelana keliling dunia. Ke tempat-tempat dengan budaya makannya tersendiri. Mereka mengolah jagung, daging sapi, sagu, lalu menciptakan api, kemudian membuat peralatan untuk memasak. Di negeri sendiri saya diajak kembali ke abad 8-9 M. Sebuah relief candi yang memperlihatkan seorang petani tampak sedang mengolah sawah. Lalu ada replika pemanggang sagu yang digunakan oleh suku Komoro di Papua.

Alat pembuat api 

Beberapa lagi menyuguhkan cerita cokelat yang menjadi makanan para dewa. Lalu ada sejarah di balik kentang yang kini menjadi salah satu menu favorit kalangan muda jika nongkrong di kafe-kafe. Ada juga kisah tentang kue-kue untuk para dewa. Tak ketinggalan rempah-rempah yang menjadi warna dunia. Saya pun baru tahu bahwa saffron menempati peringkat pertama sebagai rempah-rempah paling mahal sedunia.

Replika kue untuk para dewa

Empon-empon

Ya, rasanya tak cukup waktu satu hari untuk “menyerap” semua informasi yang ditampilkan dalam pameran itu. Semuanya menarik dan semuanya minta untuk dikulik lebih lanjut. Memang tak pernah cukup membicarakan perihal makan. Bahkan ketika hal itu dianggap sebagai sesuatu yang remeh temeh karena terlalu lekat keberadaannya dengan hidup kita. Seperti kita yang juga tak pernah bosan untuk makan. Terserah dengan slogan makan untuk hidup atau hidup untuk makan. Makan dan segala hal yang terkait dengannya selalu mampu menjadi warna dominan dalam kehidupan manusia. Di sanalah terkandung filsafat, ekonomi, geografi, biologi, pertanian, perkebunan, budaya, sosial, pariwisata, dan seluruh cabang ilmu pengetahuan di muka bumi ini. Jadi, ayo makan dan mengulik hal menarik di baliknya :).

Display tentang air

Comments

Popular Posts