Legitnya Wisata Sejarah di Pabrik Gula

Dulu industri gula pernah membawa bangsa ini ke masa-masa emas. Lalu bagaimana kompleks pabrik gula mampu menyuguhkan manis kejayaan gula di masa lampau?

Belajar dari Gondang Winangoen
“Secara historis, museum gula dan pabrik gula memang wah banget untuk diangkat dan dikisahkan. Namun, saat ini semuanya serba minim,” ungkap Indah. Kebetulan Indah pernah bekerja di Museum Gula Gondang Winangoen. Museum ini memanfaatkan salah satu bangunan di dalam kompleks Pabrik Gula Gondang Baru, begitu nama yang melekat pada kompleks pabrik gula itu di masa kini. Dari Indah pula saya tahu bahwa museum ini merupakan satu-satunya museum gula di Asia Tenggara. 


Museum Gondang Winangoen
Saya pun mencoba peruntungan dengan berkunjung ke Museum Gula Gondang Winangoen.  
Memandangi bangunan-bangunan lawas dan lokomotif-lokomotif tua di kompleks Pabrik Gula Gondang Baru dari pinggir jalan, membuat darah saya berdesir dan jantung berdetak cepat. Tak sabar rasanya ingin memasuki kawasan tersebut. “Wah, pasti ada segudang kisah menarik dari masa lalu seputar proses pembuatan gula di sini!” Kepala saya pun langsung liar berimajinasi membayangkan kondisi area ini di masa lalu.

Saya pun segera membeli tiket seharga Rp 5000 di loket yang tampak sepi. Sayangnya museum ini tak menyediakan pemandu bagi pengunjung yang datang sendiri atau dalam kelompok kecil (kurang dari 30 orang).

Baru saja menginjakkan kaki memasuki museum, saya langsung disuguhi informasi dengan kemasan yang mengecewakan. Berhadapan dengan pintu museum, tersedia peta sebaran pabrik gula di Jawa Tengah yang berada di bawah  PTPN IX. Seharusnya ada tombol yang bisa ditekan untuk mengetahui lokasi pabrik-pabrik gula itu. Namun sayang, tombol-tombol itu tak lagi aktif. Peta itu akhirnya tak mampu mengisahkan cerita menarik di balik persebaran pabrik gula di Jawa Tengah.


Display peta sebaran pabrik gula di Jawa Tengah yang tidak berfungsi
Selanjutnya saya harus menerima kekecewaan beruntun. Saya dihadapkan pada diorama berjudul “Bukaan lahan sistem reynoso 1863”. Lagi-lagi tak ada informasi yang mendukung perihal sistem reynoso. Diorama itu pun menjadi kosong tak berkisah.

Berbagai peralatan yang digunakan di ladang tebu yang seharusnya memiliki berbagai kisah menarik dalam proses produksi gula di masa lalu, dipamerkan tanpa diberi keterangan apapun. Begitu juga dengan peralatan yang dijumpai di dalam pabrik. Semuanya hanya diberikan label nama tanpa informasi pendukung. Imajinasi saya tentang pengolahan tebu pun buntu. 

Uniknya, ada sebuah mesin jahit lawas yang diselipkan di antara alat pendukung produksi lainnya. Menjadi pertanyaan untuk pengunjung awam seperti saya tentang penggunaannya di tengah-tengah proses pembuatan gula di masa lalu.


Display koleksi yang tidak "bersuara"
Di ruang yang berbeda, saya pun tertarik memperhatikan foto-foto lama yang memenuhi dinding. Ada foto pabrik gula di beberapa tempat, foto proses penanaman tebu, serta upacara syukuran dengan adat setempat. Namun, sayang sekali foto-foto itu tidak dilengkapi informasi yang jelas, seperti lokasi pabrik gula, keterangan tahun, kegiatan yang sedang dilakukan serta kisah yang tersimpan di balik tiap foto. 

Selain itu, foto-foto yang sesungguhnya menyimpan banyak kisah dan informasi menarik, ditempatkan secara asal saja. Tak ada jalan cerita yang bisa dirangkai oleh para pengunjung. Dari foto pabrik, foto proses penanaman, foto bangunan penunjang pabrik, foto proses peresmian, foto orang-orang yang saya duga pernah menempati posisi penting di pabrik ini, foto Dewi Tebu yang tak terlihat label namanya, hingga foto Mangkunegara IV, benar-benar dibuat bungkam tak bercerita. 


Penempatan koleksi foto yang tidak beraturan serta grafik yang tak bermakna
Di ruang pamer paling akhir saya dihadapkan pada grafik “Hasil Produksi PG Gondang Baru” dan “Curah Hujan PG Gondang Baru” yang tak saya pahami. Sebagai awam yang jauh dari proses pembuatan gula rasanya saya membutuhkan panduan yang detail agar pesan yang ingin disampaikan lewat grafik itu dapat diterima dengan utuh.

Selama menyusuri ruang-ruang pamer, saya seperti disuapi beragam informasi yang berlompatan satu sama lain. Sepertinya pengunjung diberi tugas berat untuk merangkai sendiri sebuah kisah utuh berdasarkan potongan-potongan informasi tersebut. 

Keluar dari ruang pamer, saya masam karena tak mendapatkan wangi gula yang saya impikan sebelum berkunjung. Pun ketika berkeliling melihat koleksi di luar gedung museum. Mesin-mesin raksasa serta lokomotif-lokomotif tua seperti dibuat bisu karena tak ada informasi apapun untuk membantu pengunjung bernostalgia. Belum lagi pemberian cat warna warni yang menusuk mata. Padahal mereka merupakan koleksi yang luar biasa jika bisa dibuat “berceloteh” lewat satu dua kalimat yang informatif. Setidaknya pengunjung dapat dibantu melintas ke masa lampau ketika kompleks pabrik ini masih hingar bingar oleh berbagai aktivitas membuat gula.


Koleksi lokomotif, pedati, dan mesin tanpa informasi
Duduk di salah satu gazebo di depan paviliun utama kompleks Pabrik Gula Gondang Baru, membuat saya berpikir bahwa aset yang dimiliki museum dan pabrik gula ini sungguh luar biasa. Sejarah gula tak dapat dilepaskan dari sejarah kejayaan bangsa ini di masa lampau. Tak pula dapat dipisahkan dari sejarah pahit kehidupan para buruhnya. Pabrik gula menjadi saksi bisu masa manis dan pahit gula di Indonesia. Itu berarti ada pelajaran yang bisa dipetik dari kondisi pergulaan masa lampau. Namun sayangnya pihak museum dan pabrik gula belum menyadari nilai penting aset yang mereka miliki.

Apa Pentingnya Pabrik Gula bagi Indonesia?
Hanya segelintir generasi masa sekarang yang menyadari bahwa Indonesia pernah menjadi raja gula dunia. Bahwa sekitar tahun 1930 Indonesia menjadi eksportir gula terbesar di dunia setelah Kuba. Sekarang semuanya tinggal cerita. Kita kini berada di urutan kedua dalam jajaran negara-negara pengimpor terbesar gula di dunia. 

Lembar sejarah gula di Indonesia diawali di sekitar Batavia pada pertengahan abad ke XVII. Saat itu teknologi yang digunakan masih sangat sederhana. Gula hasil olahan tersebut diekspor ke Eropa oleh VOC sejak 1673. Pada 1710 sudah ada sekitar 130 buah penggilingan di sana.

Selanjutnya pada 1830, industri gula di Jawa mengalami reformasi dengan kedatangan mesin-mesin dari Eropa. Sejak saat itulah bermunculan pabrik-pabrik gula “modern”. Masa kejayaan gula terjadi pada awal 1930an. Ada 179 pabrik pengolahan tebu dengan produksi tiga juta ton gula per tahun.

Namun, sejak 1967 Indonesia resmi menjadi importir gula. Kini jumlah pabrik gula menurun drastis. Sekarang hanya ada 56 pabrik gula aktif di Jawa, empat di Sulawesi, dan delapan di Sumatera.

Ketergantungan Indonesia pada gula dunia saat ini seakan menenggelamkan sejarah Mangkunegara IV dan Oei Tiong Ham. Mangkunegara IV, seorang raja Mangkunegaran sekaligus pengusaha, dengan cerdas mengambil alih lahan-lahan yang disewa oleh para pengusaha Eropa. Lahan tersebut kemudian dikembangkan untuk industri gula, sebuah komoditas ekspor yang menjadi primadona pada pertengahan abad XIX. Industri gula kemudian mengantarkan Mangkunegaran menjadi kerajaan terkemuka. Saat itu orang-orang asing yang berkunjung ke Solo memohon ke Mangkunegara IV agar diperbolehkan untuk melihat-lihat pabriknya, Colo Madu dan Tasik Madu. 


Lukisan Mangkunegara IV (repro dari Museum Gula Gondang Winangoen)
Sementara itu Oei Tiong Ham lebih dikenal sebagai Raja Gula dari Jawa pada awal abad XX. Pengusaha asal Semarang ini memiliki lima pabrik gula di Jawa Timur, yaitu Rejoagung, Krebet, Tanggulanging, Pakies, dan Ponen. Oei Tiong Ham meremajakan peralatan tradisional di kelima pabrik tersebut dengan mesin-mesin modern dari Jerman. Untuk kepentingan pengembangan pabrik ia juga mempekerjakan ahli-ahli dari Eropa dan Cina. Pengelolaan yang baik atas kelima pabrik tersebut mengantarkan Oei Tiong Ham ke dalam jajaran orang terkaya di Asia Tenggara saat itu. 

Dua tokoh itu cukup menjadi bukti bahwa gula pernah membawa Indonesia ke masa-masa jaya. Lalu, dari mana generasi sekarang bisa mengetahui atau mendapatkan bukti-bukti peninggalan mengenai masa kejayaan industri gula nusantara di masa lalu?

Potensi Museum Gula dan Pabrik Gula Sebagai Wisata Sejarah 
Meningkatnya jumlah komunitas yang tertarik pada tinggalan-tinggalan sejarah serta acara jalan-jalan seperti heritage trails mengindikasikan bahwa wisata sejarah menjadi sebuah bentuk wisata yang semakin digemari. Artinya, wisata sejarah merupakan peluang pasar yang potensial untuk dikembangkan.

Bagaimana dengan wisata mengulik sejarah gula di nusantara? Kompleks pabrik gula dapat menjadi titik awal bagi masyarakat Indonesia menilik kembali sejarah gula di nusantara. Jika dilihat dari kelawasan tinggalan fisiknya,  sudah tentu kompleks pabrik gula memiliki nilai  sejarah dan potensi wisata yang tinggi. Dari kompleks pabrik gula inilah banyak peristiwa yang bisa direka ulang. Fisik pabrik gula yang masih bisa dinikmati menjadi media yang ampuh untuk mengantarkan imajinasi ke masa lampau.


Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, yang dibangun pada 1842
Tinggalan fisik yang berlimpah, proses produksi (di pabrik gula) yang masih berlangsung, dan ketersediaan data menjadi modal yang kuat untuk pengembangan wisata sejarah di kompleks pabrik gula. Sayangnya, aset berharga itu nyaris belum “disentuh”. 

Pabrik Gula Gondang Baru sudah mulai memanfaatkan asetnya dengan mengembangkan Museum Gula Gondang Winangoen, pada 1982. Namun, sangat disesalkan museum tersebut tidak dibangun secara serius, salah satunya  dengan tidak diikutsertakannya orang-orang yang memiliki kemampuan di bidang museum dan sejarah. Hal tersebut menyebabkan keberadaan Museum Gula Gondang Winangoen bagai hidup segan mati tak mau.

Menurut hemat saya, berbagai modal dasar yang dimiliki oleh pabrik-pabrik gula di bawah PTPN X merupakan potensi luar biasa untuk menciptakan sebuah museum yang atraktif serta kaya akan nilai sejarah. Terlebih lagi PTPN X termasuk penghasil gula terbesar dan terbaik di Indonesia serta memiliki jumlah pabrik gula terbanyak, yaitu 33 pabrik gula.


Peta sebaran pabrik gula di Pulau Jawa (Sumber: Situs Asosiasi Gula)
Pabrik gula yang masih beroperasi yang berada di kawasan museum menjadi sebuah nilai tambah bagi sebuah museum gula. Dengan begitu pengunjung dapat menikmati bangunan lawas pabrik gula yang rata-rata dibangun pada kurun tahun 1800-1900, sambil berimajinasi tentang proses pembuatan gula di masa lalu. Melalui kunjungan ke pabrik gula, pengunjung juga dapat mengetahui bagaimana proses terciptanya rasa manis yang ditawarkan di dalam segelas cangkir teh.

Belajar dari Museum Gondang Winangoen, semua kekayaan yang telah dimiliki museum dan pabrik gula menjadi sebuah kesia-siaan jika tidak disertai dengan sebuah konsep yang matang. Museum yang asal jadi dengan pengemasan informasi yang membosankan tidak akan pernah dilirik wisatawan. 

Museum Gula Alexander & Baldwin di Pu’unene, Maui, Hawaii, merupakan salah satu museum gula yang bisa dijadikan referensi. Mereka mengemas cerita tentang sejarah gula di wilayah Maui dengan sangat apik. Diorama serta koleksi-koleksi museum dibuat bersuara dan mengisahkan banyak hal kepada pengunjung. Saya yakin bahwa PTPN X mampu untuk mewujudkan museum gula yang tak kalah informatif dan menyenangkan seperti di sana.

Untuk itu, sebagai seorang penikmat museum, menurut saya ada beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan museum pabrik gula. Pertama, pentingnya merancang alur cerita yang matang untuk museum. Alur cerita merupakan roh yang memegang peran utama dalam menghidupkan museum. Apa yang ingin diceritakan di dalam museum gula perlu dipikirkan sejak awal. Informasi yang akan disampaikan bisa jadi meluas atau bisa pula mengerucut. 

Untuk kasus wilayah di bawah PTPN X misalnya, informasi museum bisa dimulai dengan sejarah bahan baku gula secara umum, khususnya bagaimana sejarah masuknya tebu ke Indonesia. Selanjutnya bisa mengerucut pada perjalanan lahirnya industri gula di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. 

Penting juga untuk menampilkan informasi mengenai pabrik gula mana saja yang menjadi pionir di Jawa Timur saat masa-masa keemasan industri gula? Siapakah tokoh-tokoh di balik kesuksesan industri gula di Indonesia, khususnya Jawa Timur? Jadi, mulai dari orang, barang, tempat, dan lingkungan yang terkait dengan gula diungkap di museum ini. 

Museum gula bisa juga menyajikan kisah mengenai manajemen industri gula dari masa ke masa, termasuk dalam hal manajemen perusahaan dan buruh, jenis dan kualitas produk serta strategi pemasaran yang pernah dipraktikkan. Dari sini akan tergambar jelas mengenai faktor-faktor yang melahirkan masa kejayaan gula di nusantara. Alur cerita yang menarik tentang sejarah industri kretek PT. Sampoerna yang disediakan oleh Museum Sampoerna di Surabaya dapat menjadi referensi dalam hal ini.


Perjalanan industri kretek PT. Sampoerna sejak awal berdirinya, termasuk pemasaran produk di luar negeri
Kedua, pentingnya pengemasan informasi yang menarik di museum. Tak ada gunanya menampilkan semua data dan informasi yang dimiliki museum tanpa dikemas menarik dan mudah dicerna oleh pengunjung. Oleh karena itu, museum gula harus didukung dengan diorama yang atraktif, pencahayaan yang ideal, efek suara dan aroma, pola penataan koleksi yang apik, serta koleksi-koleksi yang memungkinkan pengunjung untuk berinteraksi langsung. Dalam hal ini Museum Bank Indonesia di Jakarta dan Museum Sangiran di Sragen bisa menjadi referensi yang cukup baik bagi penyediaan diorama yang tidak hanya informatif tapi juga tidak membosankan.


Tata pamer di Museum Bank Indonesia yang atraktif
Tampilan display Museum Sangiran, Sragen
Penyajian informasi yang menarik di Museum Sangiran, Sragen
 Pengunjung Menangkap Koin di Museum Bank Indonesia

Akan lebih sempurna jika museum gula dilengkapi dengan area khusus untuk pengunjung anak-anak, seperti yang serius disediakan oleh Museum Polri di Jakarta dengan berbagai kegiatan seperti permainan detektif cilik, komputer interaktif, dan asah otak. Pada dasarnya, jika informasi sebuah museum bisa dipahami dan dinikmati oleh anak-anak, sudah pasti juga demikian halnya bagi pengunjung dewasa. 

Pojok Anak di Museum Polri
Anak-anak melakukan interaksi dengan permainan yang tersedia di Museum Polri
Ketiga, pentingnya peran pemandu di tiap museum. Keberadaan pemandu seringkali dipandang sebelah mata oleh pihak museum, padahal mereka adalah pasukan garda depan dalam berinteraksi langsung dengan pengunjung. Selain untuk memandu pengunjung agar lebih memahami alur kisah yang disajikan museum dan menerima masukan komprehensif  dari pengunjung, pemandu juga bertugas untuk mengawasi agar pengunjung tidak merusak atau bahkan mencuri koleksi museum. 

Belum banyak museum di Indonesia yang menyediakan pemandu, namun museum seperti Museum Benteng Heritage di Tangerang, Museum Batik di Pekalongan, Museum Ullen Sentalu di Yogyakarta dan Museum Sampoerna di Surabaya merupakan segelintir museum yang mewajibkan tiap pengunjung untuk didampingi pemandu yang profesional.

Keempat, perlu disediakannya serangkaian aktivitas bagi pengunjung museum, sesuatu  yang selama ini sering dilupakan pengelola museum di Indonesia. Museum Batik Pekalongan , Museum Bank Indonesia dan Museum Polri merupakan sejumlah kecil museum di Indonesia yang menyediakan hal tersebut. 

Museum Batik Pekalongan memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk mencoba semua tahapan pembuatan batik. Sementara Museum Bank Indonesia dan Museum Polri menyediakan fasilitas di antaranya untuk pemutaran film yang ditujukan terutama bagi anak-anak.


Pengunjung mencoba membatik di Museum Batik Pekalongan
Untuk di Museum Gula sendiri, ada banyak kegiatan sederhana namun tetap menarik yang bisa ditawarkan, di antaranya dengan menyediakan area bagi pengunjung untuk mencoba (1) mengangkut tebu dengan kereta lori; (2) menanam tebu  seperti yang dilakukan petani tebu di masa lalu dengan menggunakan peralatan seperti sabit, cangkul, sekop, dan sebagainya; (3) mencoba menggunakan alat theodolit; dan (4) membedakan tebu-tebu yang berkualitas baik dengan tebu yang berpenyakit (5) heritage trail untuk mengetahui kisah sejarah kompleks pabrik gula tempat lokasi museum berada. Selain itu, pengunjung juga bisa diajak melakukan (6) simulasi proses pembuatan gula di dalam pabrik. Di sini bahkan pelajar bisa belajar langsung mengenai proses kimia dalam proses pembuatan gula.

Pada dasarnya ada segudang kegiatan - tentu saja yang relevan dengan sejarah dan kegiatan di pabrik gula - yang potensial ditawarkan pada pengunjung di museum gula. Rangkaian kegiatan tersebut tidak hanya membuat museum gula menjadi sangat atraktif, tapi juga meninggalkan kesan dan pengetahuan mendalam di sanubari, yang bahkan mendorong mereka untuk kembali lagi. 

Kelima, museum sebaiknya rajin mengadakan pameran-pameran temporer yang terkait dengan gula. Ada segudang tema yang terkait dengan sejarah gula yang bisa diangkat pada pameran tersebut. Misalnya saja minggu ini museum gula menggelar pameran gula dan kue-kue tradisional di Indonesia. Di lain kesempatan, pameran tentang gula dan kesehatan pun menarik untuk diadakan. 

Dalam hal ini tak ada salahnya melihat ke Museum Anak Kolong Tangga di Yogyakarta. Museum yang dikelola oleh Yayasan Dunia Damai dan digerakkan oleh para relawan muda. Museum ini pernah beberapa kali mengadakan pameran temporer, seperti pameran celengan “Simpan Satu Rupiah” tentang seluk beluk sistem penyimpanan uang dan pameran “You Cook I Eat” tentang budaya, tradisi dan kepercayaan yang terkait dengan makanan. Pameran temporer tersebut dapat menjadi warna tersendiri di sela-sela tata pamer permanen di museum.


Pameran “Simpan Satu Rupiah” Museum Anak Kolong Tangga di Bentara Budaya Jakarta
Pameran “You Cook I Eat” Museum Anak Kolong Tangga di Taman Budaya Yogyakarta
Keenam, akan lebih atraktif dan menjual jika museum menyediakan produk yang bisa dibawa pulang oleh tiap pengunjung sebagai cinderamata. Lucu saja rasanya ketika berkunjung ke museum dan pabrik gula namun saya tidak bisa menemukan, apalagi merasakan, produk hasil olahan pabrik tersebut. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri jika pengunjung dapat membawa pulang produk dengan label si pabrik yang dikemas apik. Dengan begitu, saya bisa menceritakan kunjungan itu lengkap dengan bukti produk pabriknya. Bahkan saya pun bisa membagikan  oleh-oleh gula buatan Pabrik Gula Tulangan, misalnya, kepada keluarga dan kawan terdekat. Secara tidak disadari hal sederhana ini menjadi sebuah bentuk promosi dan dapat menumbuhkan fanatisme terhadap produk gula pabrik tertentu.


Yang terakhir, terkait dengan poin sebelumnya, wisata sejarah pabrik gula juga perlu dilengkapi dengan toko cinderamata. Ada banyak hal yang bisa dikembangkan sebagai cinderamata menarik bagi wisatawan. Di antaranya miniatur pabrik gula, lokomotif/ lori yang digunakan pabrik tersebut, atau mesin-mesin untuk memproduksi gula. Kemudian juga kartu pos berisi foto-foto koleksi pabrik gula di masa lampau, t-shirt dan mug dengan sketsa/ foto pabrik gula, lokomotif, mesin-mesin pabrik atau ilustrasi tahap pembuatan gula. Cinderamata yang atraktif pada akhirnya akan membantu mempromosikan keberadaan museum gula.


“Kecap Istana”, salah satu cinderamata primadona di Museum Benteng Heritage, Tangerang

Mengundang Semut ke Ladang Gula
Ketika sebuah museum dikonsep dan dikelola secara serius, seperti yang telah diungkapkan di atas, maka bukanlah sebuah perkerjaan sulit untuk mempromosikan museum tersebut. Bahkan media massa dan komunitas online pun akan berlomba-lomba untuk memberitakannya. Begitu pula halnya dengan museum gula. Ibaratnya, “Di mana ada gula, di situ ada semut”, sesuatu yang menarik pasti akan cepat dilirik “pasar”. 

Adapun tugas selanjutnya bagi pengelola museum ialah mempublikasikan dan mempromosikan wisata sejarah museum dan pabrik gula kepada publik. 

Ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk hal tersebut. Pertama, promosi wisata sejarah pabrik gula sebaiknya juga mengikuti zaman, di mana berbagai informasi dan publikasi disebarluaskan dengan cepat melalui media online. Namun, sayangnya sebagian besar museum di Indonesia belum banyak memasarkan “produk”nya melalui media online. Padahal media online saat ini menjadi garda depan untuk media promosi dan pemasaran.

Selama ini museum-museum di Indonesia terkesan belum serius untuk mempromosikan museumnya. Padahal museum sejatinya merupakan lembaga nirlaba yang harus menghidupi dirinya sendiri. Mereka tetap membutuhkan biaya operasional untuk bisa berkembang dan berinovasi. Tak heran jika yang sudah serius melakukan pemasaran terutama melalui media online barulah museum yang dikelola oleh swasta. Di antaranya Museum Benteng Heritage, Museum Ullen Sentalu, dan Museum Sampoerna.

Sebagai upaya museum dan pabrik gula memaksimalkan penggunaan media online, idealnya dilengkapi dengan (1) website yang menjadi pemancing orang-orang untuk berkunjung. Di dalamnya harus tercantum informasi dasar seperti jam operasional, harga tiket masuk, tampilan ruang-ruang koleksi, kegiatan-kegiatan museum dan pabrik gula, serta video. Website Museum Benteng Heritage, Museum Ullen Sentalu dan Museum Sampoerna bisa dijadikan referensi yang baik. 

Ketersediaan video yang akan ditampilkan di website – yang juga diunggah di YouTube - berisi video dokumentasi museum, termasuk di dalamnya diorama atau tampilan informasi yang tersedia dan kegiatan-kegiatan yang ditawarkan. Video ini berfungsi sebagai penarik perhatian untuk mendorong banyak pihak berkunjung ke museum. 

Selain website, pamor (2) media sosial yang sedang naik daun dapat pula menjadi sarana untuk mempromosikan museum dan pabrik gula sebagai salah satu tujuan wisata sejarah. Untuk itu pengelola museum perlu menyediakan akun Facebook dan Twitter sebagai corong informasi pada khalayak ramai tentang kegiatan-kegiatan menarik di museum dan pabrik gula. Kedua jenis media sosial ini terutama diperuntukkan bagi para pengguna smartphone yang juga merupakan pengguna aktif media sosial. 

Terutama di saat musim giling, ini bisa dijadikan momentum untuk mendorong agar pengunjung berkunjung ke pabrik gula. Seperti yang dilakukan oleh Museum Benteng Heritage, Museum Wayang Jakarta, Museum Bank Indonesia, Museum Tekstil, dan Museum Polri yang rajin memberikan informasi dan kegiatan di museumnya melalui akun facebook-nya. Dari kelima museum tersebut, Museum Polri menduduki peringkat teratas dengan  penggemar terbanyak sejumlah 7.344, pada akun facebook-nya. Ini mengindikasikan bahwa semakin banyak kegiatan yang diketahui oleh publik maka museum pun akan semakin dikenal dan ramai dikunjungi. 

Kedua, sembari menggalakkan media online, media offline pun harus tetap gencar dilakukan. Hal pertama, dengan rajin mengundang media massa untuk meliput kegiatan-kegiatan di museum. Ini dilakukan oleh Museum Benteng Heritage. Jauh sebelum museum dibuka, publik sudah mengetahui kehadirannya lewat media massa. Pihak Museum Benteng Heritage memang sengaja melakukan promosi sejak dini untuk memancing keingintahuan publik. Langkah yang baik untuk diadopsi.

Selain itu, pihak museum dan pabrik gula sebaiknya mendatangi langsung target pengunjung, misalnya sekolah-sekolah. Di sini museum dan pabrik gula berperan untuk menjemput bola. Museum harus rajin mengunjungi sekolah-sekolah dengan “museum keliling” dan memberikan program-program menarik untuk anak-anak. Selain itu bisa juga menggandeng biro-biro perjalanan untuk menyebarluaskan keberadaan dan program-program yang dimiliki oleh museum. 

Wisata sejarah pabrik gula melalui bentuk museum dengan pengemasan yang menarik dan hidup akan menarik minat masyarakat untuk berkunjung. Tidak perlu lagi memancing dengan membuat taman-taman permainan air atau sejenisnya yang justru akan mengaburkan tujuan utama dari keberadaan museum gula tersebut. 

Kunci utama pengembangan kompleks pabrik gula sebagai wisata sejarah menurut saya tergantung pada keseriusan PTPN X dan kematangan konsep dalam mengeksekusinya. Pihak PTPN X tak perlu khawatir museum dan pabrik gula yang sepi pengunjung. Justru sebaliknya, pengunjung –baik lokal ataupun mancanegara- akan mendatangi museum yang dikelola dengan serius seperti halnya semut mendekati gula. Jika sudah seperti itu maka manisnya gula akan terasa dimana-mana. 

Catatan: Tulisan ini dibuat untuk Lomba Karya Tulis dan Penyiaran PTPN X dengan Tema: "Pengembangan Wisata Sejarah Pabrik Gula: Potensi Bisnis dan Model Pemasarannya". 

Referensi:



Comments

dhitahc said…
awalnya pengen ikutan...setelah liat tulisan ini jadi jiper sendiri :D. Great work authentic :)
KWA Wardani said…
Hola Dheeta :)

Jiper ngeliat Museum Gula Gondang Winangoen ya....:D. Kudu berkali-kali ke sana, lebih baik pas musim giling. Lho, kok malah promosi.

Salam kenal ya.

Inu

Popular Posts