Ada Sunmor di Ketandan
Gerbang "baru" Ketandan |
Suasana belum begitu ramai saat saya tiba. Mungkin saat itu sekitar pk. 17.00. Pedagang kerak telor siap menunggu pesanan dari pelanggan. Sementara itu gang Ketandan, tempat berlangsungnya acara Pekan Budaya Tioghoa Yogyakarta, masih belum dipenuhi pengunjung.
Tak terasa ini sudah kedelapan kalinya Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta digelar. Saya mencicipi setidaknya empat kali perhelatan akbar untuk meramaikan Tahun Baru Imlek ini. Tapi suasana yang saya dapatkan di sini tak banyak berubah. Memang ada acara-acara yang tiap tahunnya wajib hadir, seperti tari-tarian, lagu-lagu, pemilihan Cici dan Koko serta wayang potehi. Namun, saya cenderung menilai bahwa pekan budaya ini tak lebih dari kumpulan stand-stand yang menawarkan produk untuk dibeli. Tak ada yang salah dengan itu, tapi ga segitunya juga kali? Acara yang saya harap bisa menambah pengetahuan seputar adat istiadat ataupun kebudayaan Tionghoa di Yogyakarta ini justru terjerumus ke dalam ritual transaksi dagang semata.
Apa sebab? Saya tak sengaja mendengar obrolan dua pengunjung yang berpapasan dengan saya. “Ini yang jualan sosis banyak banget ya,” ucap salah satunya. Saya serasa mendapat sekutu. Pedagang sosis dalam acara kali ini memang terlihat mendominasi. Apakah saya berada di Festival Sosis? Atau kota ini sedang terjangkit virus penggila sosis?
Lalu jika dirunut lagi, sebenarnya sosis itu makanan asli mana? Apakah benar kental dengan budaya Tionghoa sehingga mendapat porsi banyak untuk meramaikan acara ini? Dari 82 stand, 7 stand menjajakan sosis, sementara 11 stand menyajikan kuliner khas Cina. Jika memang benar ini pekan budaya untuk merayakan Tahun Baru Cina, kenapa tidak mengangkat tinggi-tinggi kuliner khas Tionghoa atau peranakan?
Saya bersama seorang teman juga sampai bingung harus menikmati kuliner apa di sini. Hampir sebagian besar kuliner yang disajikan tak ada kaitannya dengan etnis Tionghoa. Ya, meskipun kami sempat mencicipi sate suku Hui dan cakue Medan. Namun, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan stand sosis yang ada. Apa benar kuliner Tionghoa sudah sulit dijumpai di Yogyakarta?
Jika memang benar begitu, tak ada salahnya jika kami disuguhi satu atau dua stand yang bisa menceritakan teknik-teknik kuliner ala Tionghoa. Demo memasak ala Tionghoa juga menarik. Mungkin saja ada nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Tak tahulah, yang penting jangan suguhi pengunjung dengan kuliner yang setiap hari bisa dijumpai di luar sana. Ini membuat festival budaya Tionghoa tak ada bedanya dengan sunmor di UGM. Kenapa tak mengajak pengunjung untuk menjadi konsumen yang cerdas? Pekan budaya Tionghoa ini seperti mengajak konsumen untuk berbelanja ketimbang menikmati acara yang ada.
Stand-stand itu, selain berisi stand makanan ternyata bisa juga disewa oleh dealer motor. Bayangkan, festival budaya Tionghoa tapi ada yang jualan motor di sini. Ya, saya tahu kalau etnis Tionghoa itu identik dengan perdagangan. Tapi ini tidak berarti harus menjual semua barang di sebuah festival kebudayaan, kan? Festival ini harusnya mampu menyebarluaskan pesan-pesan kebudayaan Tionghoa di Yogyakarta. Dan bukan ajang untuk sekedar berjualan. Jika ingin berjualan, maka berjualanlah sesuai tema. Rasanya lebih etis.
Saya percaya masih banyak orang-orang yang berkunjung ke sini justru ingin mencari sesuatu hal yang berbeda. Tentunya bukan stand-stand makanan yang tak ada bedanya dengan yang ada di sunmor. Dari judul acara “Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta”, harusnya ada sesuatu yang khas Tionghoa –selain liong dan barongsai yang memang menu wajib- yang dimunculkan di sini. Tapi bagaimana dengan sisi-sisi budaya Tionghoa yang lain? Bahkan untuk sekedar mengenalkan sejarah kawasan Ketandan kepada pengunjung. Apakah setiap orang yang berkunjung ke Ketandan tahu lokasi apa yang mereka datangi? Mengapa kawasan ini disebut sebagai “ketandan”? Tentunya ada banyak informasi dan pengetahuan yang bisa disebarluaskan ke khalayak ramai saat acara ini berlangsung.
Saya tak berniat mencibir karena bagi saya kehadiran acara ini pasti memberikan warna meriah dalam kehidupan warga Jogja. Acara ini bagus adanya. Hanya saja perlu diperbaiki lagi agar tak terkesan monoton dan malah melenceng dari tema yang diangkat. Semoga tahun depan pihak penyelenggara bisa memberikan angin segar yang mampu mengusir rasa bosan dari acara yang itu-itu saja. Sekali lagi terimakasih untuk memberikan hiburan alternatif bagi warga Jogja :)
(*) Sunmor : Sejenis pasar tumpah yang hadir tiap hari Minggu di UGM (lembah UGM dan sekitarnya).
Comments