Anyer - Panarukan: Perjalanan Menemui Daendels di Anyer (5)

4 Juni 2011

Sekilas Tentang Saya & Motor

Saya sudah mengenal motor sejak SD. Saat berkunjung ke rumah saudara di Jogja, saya merengek minta diajarkan kepada kakak sepupu saya. Dalam pikiran saya, seseorang akan terlihat keren ketika bisa mengendarai motor. Angin jalanan hasil kecepatan tinggi yang menyapu wajah semakin memancing adrenalin. Untuk itulah saya yang masih ingusan tergiur untuk bisa mengendarai motor.
Sepulangnya saya ke Jambi, saya mengendarai motor berkeliling kota bersama seorang kawan. Tentu saja dengan motor miliknya karena keluarga kami hanya punya satu motor butut yang suka mogok.

Mengendarai motor tanpa SIM, tanpa tahu peraturan lalu lintas, di bawah umur pula. Jelas itu contoh yang salah. Dalam hal ini saya menjadi contoh jelek. Untuk menebus dosa masa lalu itu saya kemudian mendaftarkan diri ke sekolah kehidupan. Di sana saya berusaha untuk mengendarai motor dengan bijak. Berada di jalur yang benar, menyalip dengan benar, memasang kecepatan sesuai peraturan, dan yang terpenting menghormati pejalan kaki.

Ujian terberat jurusan “mengendarai motor” di sekolah kehidupan saya alami saat melakukan ekspedisi Anyer – Panarukan ini. Sudah terbayang dalam pikiran saya terkait jalan beserta kondisinya yang akan dilewati. Meskipun jalan-jalan itu sudah diaspal namun faktor manusia ditambah faktor alam seperti perbukitan, suhu, dan angin tampaknya akan berpengaruh pada kemampuan menyetir saya.

Berangkat Menuju Anyer, Tertawan di Tangerang
Perbatasan, satu dari sekian banyak hal yang wajib didokumentasikan
Kami mengawali perjalanan dari Jakarta. Anyer menjadi kota tujuan kami.

Sesungguhnya malas sekali berkendara motor di Jakarta. Jika dilihat dari atas saya bersama pengedara motor yang lain ini tak ubahnya seperti kerumunan lalat. Menyerang ke segala penjuru. Tapi saya mencoba konsisten di kecepatan 40 km/jam untuk dalam kota dan 60 km/jam untuk jalur antar kota.

Perjalanan dari rumah Mbak Mel hingga sebelum memasuki Kota Tangerang dapat dikatakan lancar. Meskipun harus berada di antara motor-motor yang melaju kencang namun semua masih aman terkendali.

Hingga akhirnya kami memasuki Kota Tangerang. Dari arah berlawanan saya melihat puluhan pengendara motor dengan lampu yang menyala.
Saksi bisu "penilangan"
“Heran, pagi begini kok lampu dinyalain?” ujar saya.

Saya pun terus jalan, santai, dengan kecepatan rendah. Tak lama kemudian di depan Taman Makam Pahlawan Taruna, Kota Tangerang, sudah berdiri seorang polisi yang memberi tanda agar saya menepi.

Waduh, ada apa ini? Masak baru berangkat sudah kena masalah?

Polisi : "Pagi, bisa lihat SIM & STNKnya?"
Saya : Mengeluarkan SIM dan STNK sambil masih bingung dengan apa yang terjadi. Pak polisi mengajak saya mendekat ke mobilnya. Sementara itu Mbak Mel sibuk mendokumentasikan proses yang sedang berlangsung beserta lingkungan sekitar.
Polisi : "Tahu apa salahnya?"
Saya : "Nggak Pak" (menjawab dengan polos)
Polisi : "Lampu Anda tidak dinyalakan. Anda melanggar Undang-Undang Lalu Lintas"
Saya : Waduh, saya ga tau Pak ada aturan seperti itu"
Polisi : "Ya udah, ini saya bawa ke pos. Nanti urus di sana." (sambil melihat aktivitas yang dilakukan oleh Mbak Mel)


Mungkin Pak Polisi merasa terintimidasi oleh Mbak Mel yang sedari tadi sibuk dengan kameranya. Jadilah bencana di awal perjalanan ini dimulai.

Polisi : (bicara menyindir Mbak Mel) “Terus aja, foto terus, foto semuanya.”
Mbak Mel : *&*)(*^%*&$&*)*&*
Polisi : “Anda pikir bisa....bla bla bla...” (mulai meradang)
Mbak Mel : (^(*^&$*&*()()_#)@&(^
Polisi : “Ya sudah, ini STNK saya tahan. Silakan Anda ikut sidang tanggal 24.”

Kacau. Bisa gagal semua rencana. Apa jadinya perjalanan ini tanpa STNK? Mana mungkin juga saya ikut sidang tanggal 24. Akhirnya saya mengambil langkah diplomasi.

Pak polisi ngotot menyalahkan tindakan saya yang tidak menyalakan lampu. Padahal saya yakin dia merasa terintimidasi oleh Mbak Mel dengan kameranya. Saya berusaha menjelaskan sebisanya namun selalu dipotong. Akhirnya saya terus menyerang dengan kata-kata. Tujuannya hanya agar didengar oleh si Pak Polisi yang sedari tadi ngomong ngalor ngidul.

Di satu titik saya bisa mengambil alih pembicaraan. Saya menjelaskan bahwa kami hanyalah dua orang mahasiswa yang ingin melakukan napak tilas sejarah. Lebih spesifik lagi saya bercerita bahwa kami sedang menyusuri jalur Jalan Raya Pos Daendels dari Anyer hingga Panarukan. Mungkin karena gaya bicara saya yang sangat memohon-mohon dan tampang saya yang memelas akhirnya Pak Polisi luluh.

Dia mau membebaskan STNK saya dengan syarat kami harus membayar denda sebesar Rp 100.000. Waduh, cobaan apa lagi ini? Baru saja mulai jalan masak harus mengeluarkan uang RP 100.000. Untuk denda pula. Itu jumlah yang teramat besar bagi kami.

Saya pun memohon lagi untuk mengurangi nominal yang harus kami bayarkan.


Saya : "Pak, kalau Rp 100.000 itu terlalu berat. Kami ga punya uang sebanyak itu. Perjalanan kami kan baru dimulai"
Polisi : "Hmmmm, gini-gini saya ini juga pernah jadi mahasiswa. Saya tahu susahnya jadi mahasiswa. Ya sudah, saya bantu kalian membayar separuh denda. Jadi, kalian hanya membayar Rp 50.000 saja"


Saya kemudian memberi kode kepada Mbak Mel. Nasib naas tak bisa ditolak lagi. Yah, daripada melepas Rp 100.000 lebih baik Rp 50.000 saja. Meskipun kami tetap merugi di awal perjalanan.

Eh, tak dinaya. Ketika Pak Polisi mengurus STNK saya beserta surat tilang yang sudah ditandatangani entah kenapa STNK langsung diserahkan kepada saya. Dia bilang bawa saja STNK ini dan berpesan agar langsung menceritakan ide perjalanan ini ketika menjumpai kasus serupa.

Ini seperti dongeng masa kecil saya ketika ikut acara masjid. Kisah Nabi Muhammad yang harus bolak balik untuk menurunkan jumlah rakaat shalat. Dari 50 menjadi 5. Sama seperti kami, dari Rp 100.000 menjadi Rp 0.

Di akhir percakapakan Pak Polisi minta difoto bersama kami berdua.
Saya dan Pak Polisi
Sial, dokumentasi yang dibuat Mbak Mel saat proses tilang berlangsung terlanjur dihapus untuk meyakinkan Pak Polisi. Padahal itu menjadi hal yang sangat menarik. Ya, pepatah lama bilang bahwa memang ada yang harus dikorbankan untuk sebuah perubahan.

Jalur Cilegon – Anyer yang Rusak Parah
Jalanan yang lumayan "kosong" beberapa meter ini bagaikan bonus untuk saya
Lepas urusan dengan polisi di Tangerang, perjalanan kami kembali menghadapi ujian. Kali ini dengan kondisi jalan yang rusak parah. Jalan ruas Cilegon – Anyer ini memang sedang mengalami perbaikan. Hal itu menyebabkan waktu tempuh menjadi bertambah panjang. Rasa capek mengendarai motor pun menjadi berkali lipat. Tak hanya tubuh yang dituntut untuk mengendalikan motor, otak dan perasaan juga diminta untuk berkompromi. Dan itu, melelahkan.

Padahal ini jalur penting. Jalan raya ini banyak dilalui kendaraan-kendaraan besar karena di sepanjang jalur ini terdapat banyak pabrik. Memang tampaknya kita lebih senang memakai tapi enggan merawat. Entahlah, saya hanya berasumsi saja. Mungkin karena terlalu capek dengan kendaraan yang mengular yang ada di depan saya.
Karena macet, bahu jalan pun dipakai
Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Anyer kami hanya mampir di dua pom bensin. Satu di pom bensin Cikonde Kota. Di sana kami bersua dengan rombongan tur motor dari Lampung. Mereka akan berlibur ke Jakarta. Ke Ancol lebih tepatnya. Wow, semangat sekali. Dari Lampung hanya untuk sowan ke Ancol. Pom bensin berikutnya ialah di Cikoneng. Di sini perut saya keram. Ternyata saya kedatangan “tamu”. Pantas ketika melewati Cilegon – Anyer rasanya berat sekali. Tapi Mercusuar Anyer detaknya tak jauh lagi dari tempat kami berhenti ini. Semangat pun terpompa lagi. Mercusuar Anyer, kami datang!

Comments

Popular Posts