Anyer - Panarukan: Berkenalan dengan Jalan Raya Pos (2)*

Daendels di Jalan Raya Pos (lukisan sekitar tahun 1920, koleksi: kitlv


Ingatan-ingatan Tentang Jalan Raya Pos

Nyaris membosankan, itulah kesan kanak-kanak saya saat pertama kali melewati jalur Pantura. Medannya yang lempeng dan tak banyak kelokan memang memancing rasa kantuk datang lebih cepat ketika duduk manis menjadi penumpang sebuah bis Sumatera menuju Yogyakarta di era 1990an. Belasan tahun kemudian baru saya ketahui bahwa jalan yang membosankan di wilayah Pantai Utara Jawa itu merupakan bagian dari jalan bersejarah bagi bangsa Indonesia.

Perkenalan pertama dengan istilah “Jalan Raya Pos” saya alami ketika mencicipi bangku kuliah. Kalau tidak salah saat itu mata kuliah Arkeologi Militer. Saat itu jalan yang memanjang 1000 km dari Anyer di barat hingga Panarukan di timur Pulau Jawa ini tidak banyak dibahas. Hal yang disinggung hanya tentang aktor di balik perencanaannya serta perannya dari sisi pertahanan.

Tanpa sadar pula, saat kuliah saya kembali melakukan serangkaian perjalanan menyusuri sebagian jalan raya pos bersama kawan-kawan seangkatan. Alas Roban menjadi salah satu tempat yang paling lekat di ingatan. Saat itu awal 2006. Seorang teman yang berasal dari Batang menyampaikan cerita dengan bumbu-bumbu “mistis” tentang Alas Roban. Tak ada yang berani melewati kawasan ini malam hari jika hanya seorang diri. Saat itu saya pikir wajar saja. Bukan hanya Alas Roban, melainkan tempat-tempat yang masih dilingkupi hutan yang rapat pasti menjadi tempat yang dihindari saat malam hari. Ternyata saat melewatinya di siang hari, saya banyak melihat pengemis di tepi jalan sepanjang Alas Roban. Namun, pemandangan yang sedikit berbeda saya jumpai saat melakukan ekspedisi di 2011.

Warung-warung makan tepi jalan juga menjadi pemandangan yang jamak saya jumpai. Saya sempat mencicipi makan di beberapa warung makan tersebut. Ada juga warung remang-remang yang tak saya ketahui komoditas yang diperjualbelikan di dalamnya. Karena saya tidak pernah mampir. Semarak kehidupan di sepanjang jalur Pantura ini begitu terasa.

Kondisi jalan yang rusak di beberapa ruas menjadi ingatan paling abadi dalam benak saya. Setiap melintasi jalan ini di jalur Pantura saya pasti mengalami kemacetan karena perbaikan jalan. Rasanya jalan ini selalu diperbaiki sepanjang tahun. Selalu saja ada kerusakan. Pertanyaan yang sama pun selalu bersarang di kepala. Apakah pemerintah serius dalam mengelola jalan raya ini? Saya pun baru tahu kalau jalan raya pos ini belum dicatat sebagai aset negara (detik finance, 01/11/2012). Padahal menurut Menteri Keuangan, nilai asetnya mencapai 240 – 260 Trilyun. Jadi, mungkin ini alasan kenapa perawatan jalan seperti hidup segan mati tak mau.

Aktor di Balik Jalan Raya Pos

Pram menulis dalam bukunya “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” bahwa jalanan ini memang termasuk terbaik dan terpanjang di dunia pada masanya. Namun, faktanya bukan Daendels yang membuat seluruhnya. Sebelum Daendels menginjakkan kaki di tanah Jawa, berabad lamanya, sebagian besar jalan itu sudah ada. Daendels hanya memerintahkan untuk melebarkan jalan sampai 7 meter. Daendels memermak jalan itu dengan super efektif dan efisien hingga menciptakan –apa yang disebut Pram sebagai- sebuah genosida yang bukan awal dan bukan akhir.

Lalu siapa sebenarnya Daendels ini? Seseorang yang di masanya dan masa kemudian menjadi sosok yang kontroversial akibat membangun jalan sepanjang 1000 km hanya dalam waktu satu tahun saja. Seseorang yang disebut sebagai Jenderal Guntur, Tuan Besar Guntur, Mas Guntur, Marsekal Besi, atau Mas Galak karena perbuatannya “menghilangkan” nyawa ribuan orang (Toer, 2005: 130).

Marsekal Herman Willem Daendels berlayar menuju Batavia dengan menumpang kapal Amerika. Ia menggunakan nama istrinya, Van Vlierden (Toer, 2005:20). Tujuannya ke Jawa dalam rangka memanggul tugas penting sebagai Gubernur Jenderal Hindia (1808-1811). Ia diangkat oleh Lodewijk Napoleon, adik Napoleon Bonaparte. Saat itu Belanda berada di bawah jajahan Prancis. Dan sebuah kebetulan jika Daendels ini begitu menggilai Prancis. Di negerinya sendiri ia sampai memberontak namun gagal dan harus melarikan diri. Meskipun demikian, pada akhirnya ia berhasil mempersembahkan negerinya, Belanda, kepada Napoleon tercinta (Toer, 2005: 16).

(*draft sementara, yang penting nyetor :D)

Comments

Popular Posts