Privatisasi Jembatan Kewek



Jembatan Kewek (Dok. 26 Februari 2013)
Sudah pernah melihat, mendengar, mengetahui warga yang mengokupasi ruang publik yang diprivatisasi? Mungkin ada banyak contoh di dunia terkait hal itu. Namun kali ini saya akan sedikit bercerita tentang satu objek bersejarah di Jogja yang baru saja “direbut” warga dari perusahaan penyedia jasa telekomunikasi.

Jembatan Kewek, begitu jembatan yang melintas di atas Kali Code ini disebut. Nama “Kewek” merupakan metamorfosis dari nama jalan yang melintas di atas jembatan, “Kerk Weg”. Namun, karena pelafalan yang sulit menyebabkan masyarakat menyebutnya sebagai “Kewek”.

Terdiri dari dua jembatan, yaitu jembatan kereta api dan jembatan jalan raya, Jembatan Kewek ini masuk ke dalam kawasan pusaka Kotabaru. Hal itu ditegaskan dalam surat Keputusan Gubernur DIY No 186/KEP/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya.

Kehadiran jembatan kereta api ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Stasiun Lempuyangan pada 1872. Saat jaringan kereta ke arah barat mulai dikerjakan maka otomatis jembatan kereta api ini harus dibangun untuk menyiasati bentangalam Kali Code.

Sementara itu jembatan jalan raya yang menghubungkan Boulevard Jonquire (sekarang Jl. Abu Bakar Ali) di wilayah Kotabaru dengan yang mengarah ke Malioboro ini selesai dibangun pada 1924 (Dingemans, 1926 via Wijoyono, 2013).

Bertahun lamanya saya melintas di Jembatan Kewek ini. Kadang mural-mural yang dibuat di badannya memancing saya untuk tertawa bahkan sampai melakukan instropeksi diri. Sejauh ingatan saya mural yang hadir di badan jembatan ini bersifat kritik.

Sampai pada sebuah cerita baru. Pemilik modal dari sebuah perusahaan telekomunikasi menanamkan uangnya untuk kepentingan iklan lewat jalan mural. Maka Jembatan Kewek pun dihiasi oleh figur-figur ungu dengan jalan cerita yang tak saya mengerti.

Ya, Jembatan Kewek yang sejatinya ruang publik milik negara kini beralih tangan kepada pemilik modal. Dengan dalih telah mengantongi izin dari dinas terkait maka mereka merasa berhak untuk melakukan privatisasi Jembatan Kewek.

Dua kali kiranya jembatan ini “diduduki” warga. Kali pertama aksi tersebut dilakukan warga pada 10 Februari 2013.  Kemudian dalam rangka membawa kembali nafas heroik pertempuran Satu Maret 1949, warga kembali berbondong-bondong mengecat ulang Jembatan Kewek, menjadi putih.

Menurut Mas Sigit, yang aktif di Komunitas Street Art, seni visual itu tak melulu diwujudkan dalam bentuk gambar. Ada kalanya warna polos pun bisa dimasukkan ke dalam kategori seni. Dalam hal ini putih menjadi penetral dari segala carut marut kepentingan di Jembatan Kewek. Putih berarti pencapaian tertinggi. Ini seperti gencatan senjata di mana kedua belah pihak yang berseteru memutuskan untuk membebaskan Jembatan Kewek dari mural. Semua kembali bersih.

Saya kemudian berkesempatan “nimbrung” dalam percakapan di satu sore di kantin Taman Budaya Yogyakarta (10/03/13). Awalnya pertemuan itu dirancang untuk mempertemukan pihak-pihak yang terkait persoalan privatisasi Jembatan Kewek. Namun, pihak dari perusahaan telekomunikasi tak kunjung muncul hingga di akhir percakapan. Mendadak nomor telepon selulernya tak bisa dihubungi.

Maka sore itu saya hanya mendengarkan obrolan di antara teman-teman yang sudah terlebih dahulu berada dalam garis perjuangan “pembebasan” Jembatan Kewek dari privatisasi. Ya, meskipun saya akui lama-lama pusing juga mendengar arus obrolan ini. Semuanya berisi masalah. Hehehe, maklum, otak saya beberapa bulan terakhir tak dipakai untuk memikirkan hal yang berat-berat. Jadi, dalam obrolan itu saya murni jadi pendengar.

Bang Marbun menjelaskan bahwa memang dalam isu pelestarian urusannya lumayan pelik. Joyo pun menambahkan kalau antar instansi biasanya juga malas untuk saling mengecek. Misalnya instansi yang mengeluarkan izin belum tentu mau melakukan pengecekan dengan instansi yang menangani objek-objek bersejarah.

Hal tersebut diperparah lagi dengan kenyataan bahwa semua hal terkait surat keputusan penetapan cagar budaya terhadap suatu objek itu bisa dengan mudah diubah-ubah. Misalnya saja untuk kasus RS dr. Yap. Tiga tahun yang lalu sempat ramai pembangunan kawasan pertokoan di belakang rumah sakit dr. Yap. Sebabnya ialah lokasi calon pertokoan itu masih masuk kompleks RS dr. Yap yang sudah berstatus cagar budaya.

Pengusaha tak mau kalah. Permainan dinaikkan levelnya ke tingkat pusat. Lalu muncul surat keputusan baru yang menyebutkan bahwa calon lokasi pertokoan itu tidak termasuk ke dalam luasan area  cagar budaya rumah sakit dr. Yap. Gampang bukan, semua kemudian diatur oleh uang. Ya, saya sebenarnya tak ingin berburuk sangka soal ini. Tapi fakta di lapangan mengarahkan pikiran saya ke sana.

Hal yang paling lucu dari obrolan sore itu ialah terkait penetapan kawasan cagar budaya. Kenapa lucu? Bahkan pemerintah selaku pihak berwenang yang mengeluarkan aturan penetapan itu ternyata belum mempunyai parameter pasti kenapa satu wilayah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Belum lagi untuk urusan pengelolaan di masa mendatang. Bagaimana pelibatan warga setempat terhadap tempat tinggal mereka yang dijadikan kawasan pusaka. Pemerintah hanya memiliki peta. Itu saja. Peta dengan batas-batas kawasan pusaka. Belum ada pemikiran terkait cara-cara pengelolaan kawasan.

Peta yang harusnya dapat memuat banyak informasi terkesan tidak dioptimalkan fungsinya. Lagi-lagi mengarahkan pemikiran saya kepada sesuatu yang berbau proyek. Semoga saja saya salah. Bahwa munculnya keputusan terkait kawasan pusaka itu bukanlah dalam rangka sebuah proyek. Tahu kan model proyek-proyek pemerintah seperti apa?

Obrolan tentang peliknya masalah cagar budaya memang tak akan pernah habis di Indonesia. Maklum saja, sektor budaya tak seperti sektor tambang yang bisa memberi keuntungan dalam waktu cepat. Ups, mungkin saya salah menggunakan analogi karena sektor tambang hanya menguntungkan bagi segelintir orang saja.

Mungkin lebih tepat dengan analogi seperti ini, sektor budaya mungkin kalah seksi dengan sektor perdagangan misalnya. Untung lebih cepat diraih. Bangunan lama tak akan ada artinya dibandingkan dengan ketika ia dirobohkan dan diganti dengan pertokoan. Lebih cepat uang yang datang lebih bagus. Tak peduli dengan cara “melacurkan” diri untuk melenyapkan sejarah bangsa. Tak hirau juga dengan perpecahan warga.

Comments

Popular Posts