Foto, Harta Karun Seorang Pejalan

Perkampungan Cina di Kota Bengkulu, 2012
Ketika sesuatu lenyap tak berbekas maka foto bisa membantumu merekaulang bentuk awalnya.

Dokumentasi menjadi hal yang penting bagi seorang pejalan. Apalagi di era yang serba digital seperti sekarang. Tak perlu punya kamera untuk bisa merekam momen dalam foto berkualitas bagus. Terkadang dengan ponsel yang sedikit cerdas, foto-foto diri dan objek kunjungan bisa terabadikan dengan ciamik. 

Tapi pernahkah sebagai pejalan kita menyadari bahwa di suatu hari nanti foto, video, serta rekaman percakapan yang dibuat akan berguna untuk bahan bercerita? Bahkan untuk merekonstruksi sebuah kawasan, baik desa maupun kota. Baik perorangan maupun kelompok.

Keramaian di depan gerbang Ketandan saat Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, 2013

Terlihat sederhana memang. Seumpama foto. Kita cukup menekan tombol rana selama beberapa detik lalu melepasnya. Selanjutnya objek yang kita bidik sudah berubah bentuk ke dalam format digital. Kita bisa melihatnya kapanpun kita mau selama tempat menyimpan data foto tersebut dalam keadaan sehat wal afiat.

Lalu, terbayang jika kita mendokumentasikan –dalam lingkup yang paling mikro- sebuah bangunan lama di kota yang kita kunjungi. Selang berapa waktu kita kembali lagi ke kota itu, bangunan lama tersebut sudah tak ada lagi. Maka foto yang kita punya menjadi bahan untuk menceritakan kepada orang lain tentang bangunan malang yang bersangkutan.

Sebagai contoh, saya pernah merekam bagian muka bangunan di kawasan Malioboro. Waktu itu 2009. Papan reklame masih menghiasi muka bangunan tersebut. Kemudian pada 2013 saya kembali mengabadikan bangunan itu. Namun, kali ini muka bangunan bersih tanpa papan reklame.

Gable huis di Jl. Malioboro (Kiri: 2009, Kanan: 2013)
Kemudian foto-foto tersebut saya gunakan untuk menceritakan polusi visual pada bangunan lama. Foto-foto yang merekam perkembangan itu dapat pula dijadikan bahan perbandingan untuk menentukan sikap terhadap suatu isu. Misalnya saja sikap terhadap polusi visual yang menimpa banyak bangunan lama.

Contoh yang lain, beberapa waktu yang lalu saya melakukan trip bersama beberapa kawan di kawasan Malioboro. Kami pun sempat mendokumentasikan beberapa bangunan di dalamnya. Tak berselang waktu, salah satu bangunan yang kami kunjungi sudah berpagar seng. Rumor yang beredar bangunan tersebut akan disingkirkan guna kepentingan lahan parkir :(. Saya pun kembali mendokumentasikannya. 

Saya yakin tak berapa lama lagi bangunan itu akan segera dirobohkan. Bangunan itu secara fisik akan hilang. Lalu, kita mau apa lagi? Apakah cerita juga akan hilang?

Tidak. Saya berani mengatakan itu karena sudah mengantongi rekaman berupa foto tentang bangunan itu dalam beberapa waktu dan situasi yang berbeda. Kehancuran yang tak dapat saya cegah itu setidaknya masih menyisakan sedikit cerita lewat foto.

Perubahan pada kawasan atau bangunan lama merupakan bagian dari sejarah. Lewat foto cerita tentang perubahan tersebut dapat terawetkan. Foto membantu mengarahkan ingatan kita kepada hal-hal yang sudah tiada.

Intinya foto membantu kita untukmembaca masa lampau. Tanpa itu rasanya akan sulit untuk menggabarkan kawasan atau bangunan yang sudah hilang tertelan zaman. Contohnya saja air mancur yang pernah “manggung” di perempatan kawasan nol km Yogya. Foto air mancur itu sangat sulit ditemukan. Bahkan hingga hari ini saya belum pernah melihatnya. Saya hanya mendengar dari cerita lisan warga kota yang pernah mengalami zaman-zaman keemasan air mancur itu. 

Dokumentasi berupa foto terdengar sepele, bukan? Hanya memainkan tombol rana dalam hitungan detik. Namun, hasilnya bisa digunakan untuk memelihara kisah tentang tempat dan manusia.

Tradisi mengantar teh untuk Sultan di Keraton Yogyakarta, 2013
Seorang pejalan yang gemar mendokumentasikan tempat tujuannya tak ubahnya seorang arkeolog. Kegiatan ekskavasi untuk memperoleh data seyogyanya merupakan aktivitas yang merusak. Namun dapat ditebus dengan melakukan perekaman data ekskavasi secara sistematis. 

Begitu juga pejalan. Kegiatan berwisata yang kita lakukan sedikit banyak meninggalkan dampak negatif bagi tempat yang kita tuju. Namun dokumentasi akan tempat, orang, dan perilakunya menjadi data berharga di kemudian hari. Kita memotong realita untuk masa tertentu dalam bentuk foto. Di masa mendatang potongan realita itu menjadi pemantik nostalgia, pemancing keingintahuan, dan pijakan awal untuk mempelajari kawasan beserta masyarakat pendukungnya. 

Untuk masa sekarang foto-foto yang dibuat oleh seorang pejalan mungkin belum bisa berbicara banyak. Namun, ketika tingkat kebutuhan ruang serta kehidupan bergerak ke arah yang sangat dinamis, maka hasil dokumentasi seorang pejalan bisa menjadi harta karun yang luar biasa.

Suasana pagi di Pasar Mbongawani Ende, 2012

Bagi yang terbiasa mampir ke web kitlv pasti akan segera paham dengan maksud saya ini. Saya terkagum-kagum dengan arsip yang mereka kumpulkan. Foto-foto koleksi mereka sangat membantu saya untuk merekonstruksi kehidupan sosial budaya kota tempat tinggal saya sekarang. 

Dengan kata lain, pejalan ternyata bisa berkontribusi dalam pelestarian sebuah kawasan bersejarah. Ya, meskipun upayanya merupakan langkah paling akhir, namun jika tak dilakukan kita akan kehilangan ingatan untuk selamanya. Jadi, lebih baik jepret saja. Fotomu akan “berbicara” suatu saat nanti. Pun tak jadi masalah jika itu berupa foto narsismu. Mengutip pendapat seorang teman, “Asalkan ga cuman mukanya doang,” yang mendominasi dalam satu bingkai.  

Terkait dengan istilah foto mewakili seribu kata. Menurut saya tak selamanya benar. Setidaknya dari kacamata saya yang bukan fotografer. Bagi saya yang awam ini, foto yang dipublikasikan tanpa mencantumkan atribut dasar seperti keterangan objek, lokasi, dan waktu pengambilan foto, sungguh sangat menyiksa. Menurut saya foto yang bisa dinikmati oleh orang banyak hendaknya memiliki atribut dasar tersebut. Karena awam pastinya bukan cenayang yang bisa menerawang kejadian yang diabadikan dalam sebuah bingkai. Jadi, siapkan data diri foto ketika kita yakin akan membaginya ke khalayak ramai.

Mungkin itulah hal paling kecil yang bisa dilakukan oleh seorang pejalan untuk berkontribusi terhadap daerah tujuan wisatanya. 

Jadi, jangan lupa untuk mendokumentasikan setiap perjalananmu :). 

Comments

maulanarch said…
Catatan yg menarik!, Foto memang bisa bicara seribu makna; tergantung yg motret, mau lebih diarahkan kemana makna nya. Salam Jepret!
KWA Wardani said…
Terimakasih Mas Maulana, udah mau mampir :D

Sepakat untuk itu. Yang penting, jepret terus :). Tapi tetep inget etika :D. Salam Jepret!

Popular Posts