Kesan Buku Sukarno Orang Kiri Revolusi & G30S 1965

Sampul buku didapat dari sini
Nama Ong Hok Ham sudah tak asing lagi di telinga saya. Di mata saya, Ong lekat dengan sejarawan yang mengkonsentrasikan kajiannya pada kaum peranakan Tionghoa di Indonesia. Tak banyak buku Ong yang saya lahap. Biasanya saya hanya membaca bab-bab awal saja. Tak jarang bahkan hanya membaca judul serta resensi singkat yang biasanya tercantum di bagian belakang buku-buku terbitan Komunitas Bambu.

Saya menorehkan sejarah dengan membaca khatam buku Ong berjudul Sukarno Orang Kiri Revolusi & G30S 1965. Buku berbentuk e-book itu saya dapatkan dari informasi seseorang di sebuah grup FB. Langsung saja saya unduh dan lahap.

Tidak banyak hal yang saya ketahui tentang Sukarno setelah proklamasi. Mungkin karena doktrin Orde Baru yang cukup memuakkan. Sementara saya sepertinya cukup mengagumi Sukarno. Jadi saya membentuk antibodi sendiri terhadap doktrin-doktrin negatif itu. Alhasil, saya jadi malas membaca Sukarno setelah 1945. Takut tercederai.

Sebuah pengecualian, buku Ong Hok Ham tentang Sukarno bagaikan cinta pada pandangan pertama bagi saya. Meskipun antar bab di dalam buku bukan merupakan cerita yang sambung menyambung. Namun saya tetap bisa menikmatinya. Bahkan enggan melepaskannya hingga benar-benar tuntas.

Ong mengajak saya untuk melihat Sukarno, gerakan kiri, serta G30S 1965 sebagai sesuatu yang harus terus dipertanyakan. Tak pernah berhenti untuk digali. Dan menariknya buku ini membimbing saya untuk mencari referensi-referensi lain tentang hal terkait.

Semisal saja tentang kemerdekaan Indonesia. Saya menemukan sampai tiga versi kemerdekaan. Yang pertama tepat saat proklamasi 17 Agustus 1945. Lalu Desember 1949 saat kedaulatan secara resmi diserahkan kepada Indonesia oleh pemerintah Belanda. Dan versi terakhir pada 1957 saat perkebunan dan pabrik milik orang-orang Belanda dinasionalisasi. Angka tahun dan peristiwanya menarik untuk diuji kebenarannya.

Ong, seperti yang disebutkan oleh JJ Rizal dalam “Catatan Penyunting” digambarkan sebagai seorang yang dekat dengan gerakan kiri namun memosisikan diri sebagai pengamat. Saya mengamini JJ Rizal. Meskipun ada beberapa bagian dalam tulisan yang sedikit menyita sisi emosional Ong sebagai pribadi. Terutama yang paling terasa dalam bab terakhir “Saya, Sejarah dan G30S 1965”.

Analisis Ong terhadap gerakan kiri di Indonesia juga menyita perhatian saya. Mungkin karena saya tertarik dengan gerakan ini. Setelah saya diajak berkelana melewati kelok-kelok sejarah gerakan kiri, saya dibawa ke kesimpulan Ong mengenai runtuhnya gerakan kiri di Indonesia. Menurut Ong, gerakan kiri di Indonesia berstruktur terlalu lepas dan terlalu heterogen seperti suatu gerakan massa rakyat tanpa ciri khusus yang khas (Ham, 2009:115).

Padahal di awal pembicaraan Ong menyuguhkan data yang membuat saya agak bangga. Pada 1913, Lenin di masa pembuangannya menulis tentang suatu gerakan rakyat yang sedang bergelora di Jawa. Ia mencatat, "Gerakan revolusioner didukung pertama-tama oleh massa rakyat Jawa, di antara mereka telah lahir suatu gerakan Islam nasionalis. Kedua (gerakan tersebut) didukung oleh kelompok cendekiawan yang lahir dari perkembangan kapitalisme" (Mcvey, 1965: 7, Ham, 2009:94). Yang dimaksud Lenin jelas Sarekat Islam.

Persinggungan yang cukup banyak dengan Sarekat Islam di dalam buku ini memancing hasrat saya untuk menelusuri jejak fisik Sarekat Islam. Mungkin akan menarik jika perjalanan saya mendatang direncanakan untuk merekonstruksi gerakan Sarekat Islam melalui tinggalan fisik.

Ada juga bagian tulisan yang sedikit menyerempet Tan Malaka. Juga menyadarkan saya bahwa masih ada tiga jilid buku karya Poeze yang harus saya lahap untuk lebih mengenal tokoh idola yang satu ini. Untuk sementara, bravo Tan Malaka :)

Hal menarik lainnya ialah Ong merekam peristiwa-peristiwa yang bagi saya mungkin bisa diperbandingkan dengan masa kini. Misalnya saat Ong melakukan perjalanan keliling Jawa Tengah pada Mei 1965. Waktu itu perayaan Maulid Nabi jauh lebih meriah ketimbang perayaan 17 Agustus.

Diceritakan Ong pada saat perayaan anak-anak kecil berpidato berjam-jam. Pidato yang disampaikan dengan suara tinggi seperti orang kesurupan tersebut berisi tentang kondisi dunia yang jungkir balik yang dicontohkan dengan orang-orang yang memiliki mobil namun tak mampu mengendarainya. Mereka orang berpunya harus mendorong mobilnya karena kehabisan bensin yang memang langka saat itu. Disentil juga tentang moralitas yang bangkrut (Ham, 2009: 169).

Lalu bagaimana dengan masa kini? Apakah ada anak-anak yang berteriak lantang atas kondisi carut marut negara ini? Terlebih lagi disampaikan di dalam perayaan keagamaan? Mungkin saja ada. Atau bahkan tak ada. Mengingat ceramah-ceramah agama (dalam hal ini Islam) bagi saya masih terjebak dengan zaman nabi-nabi dan tak mencerminkan kedinamisan Islam.

Itulah sekilas pandangan saya mengenai buku Sukarno Orang Kiri Revolusi & G30S 1965. Sukarno memang dimunculkan dengan porsi besar di bagian awal. Namun gambaran tentang gerakan kiri tetap mampu menyihir saya untuk bertahan segera menyelesaikan buku ini. Terlebih pengalaman personal Ong di bagian akhir. Tidak hanya menyentuh tapi juga mampu menjadi media untuk introspeksi diri.

Saya memang sengaja tak menuliskan pendapat tentang revolusi yang gagal ataupun tersingkirnya Sukarno dari panggung politik. Biarlah sudut pandang itu diulas oleh teman-teman pembaca yang memang ahli di bidang itu. Bagi saya buku ini merupakan umpan pertama untuk menelaah lebih jauh tentang Sukarno pasca 1945 serta gerakan kiri di Indonesia. Terimakasih Pak Ong Hok Ham :)

Buku bisa diunduh di sini:
Sukarno Orang Kiri Revolusi & G30S 1965

Comments

Popular Posts